Opini

Hoax: Antara Nalar dan Iman

NUSANTARANEWS.CO – Hoaks (hoax) adalah istilah yang belakangan sering muncul untuk menampik suatu pemberitaan atau informasi lainnya. Ketika suatu informasi dikatakan hoaks, itu artinya informasi tersebut adalah palsu atau bohong. Situs KBBI Daring mengartikan kata hoaks sebagai berita bohong. Hoaks belakangan muncul setidaknya untuk dua hal: menebar kebencian; kejahatan; keburukan, dan sesuatu yang dipandang baik. Sejatinya kedua hal ini adalah satu, yaitu kebohongan.

Hanya saja, terkadang penebar hoaks kerap menggunakannya untuk sesuatu yang ia pandang akan menyulut semangat, kebaikan, bahkan meningkatkan keimanan. Sederhananya, mungkin ia bermaksud menggunakan hoaks (berbohong) demi kebaikan. Sementara itu, hoaks sendiri lebih sering memicu amarah, perpecahan, adu domba, dan keburukan-keburukan lainnya.

Apa yang dilakukan oleh sindikat Saracen adalah bentuk penggunaan hoaks yang massif. Hoaks tidak sekadar menjadi kesenangan bagi mereka, melainkan ladang bisnis yang menghasilkan pundi-pundi keuntungan. Mantan Menkominfo, Tifatul Sembiring juga diberitakan telah menebar gambar palsu terkait dengan peristiwa yang terjadi di Rohingya.

Meski ia telah meminta maaf, kita bisa bayangkan betapa hoaks ternyata tidak sekadar menyelimuti orang awam, nyatanya telah pula mempengaruhi intelektual bangsa ini. Itu artinya, orang yang melek teknologi dan informasi bukanlah garansi tidak menggunakan hoaks atau sekurangnya termakan oleh berita bohong. Justru, kecerdasan terkadang malah disalahgunakan oleh mereka yang pintar untuk mengibuli orang awam. Saracen adalah contoh nyata dalam hal ini.

Hoaks kini bukan sekadar peristiwa, justru layak disebut sebagai fenomena yang mendesak untuk ditanggulangi. Di sini penulis berpandangan bahwa nalar dan iman adalah problem yang menjadi akar dalam persoalan ini. Maksudnya, hoaks di satu pihak mampu mempengaruhi karena ketidakberdayaan akal kita dalam menganalisis suatu informasi, sedang di pihak lain adalah akibat dari kemerosotan iman kita.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Asumsi demikian menerangkan bahwa akal dan iman adalah dua masalah yang terpisah di mana hoaks terjadi karena dangkalnya nalar, bisa pula karena kurangnya iman. Di sini penulis lebih senang melihat nalar dan iman sebagai sesuatu yang berkaitan dan menunjukkan pada suatu fase atau tahapan. Dengan kata lain, hoaks hanya akan terjadi atau mudah diterima bila seseorang rendah imannya. Rendahnya iman itu sendiri diakibatkan dari kurangnya pengetahuan atau dangkalnya nalar seseorang.

Tesis di atas menuntut kita untuk mempertajam analisis supaya semakin pintar sekaligus menjadi sadar. Penggunaan nalar bukan hanya sekadar agar kita tahu akan sesuatu, tapi dapat mempertimbangkan baik buruknya sesuatu tersebut. Di Indonesia yang Berketuhanan ini, pendidikannya bukan semata untuk mencerdaskan, tapi juga agar kecerdasan itu menjadi alat yang menghantarkan bangsa ini bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan begitu, setelah seseorang beriman, maka ia tidak akan mudah menebar atau menerima hoaks. Sebab, pertama ia tahu bahwa hal tersebut adalah hoaks, dan kedua ia sadar bahwa hoaks bukan untuk ditebar atau sekadar diterima. Sekalipun terkadang dirasa meningkatkan amalan tertentu—seperti ahli ibadah yang beramal karena iming-iming pahala dari hadits lemah lagi palsu.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Islam tegas menolak hoaks dalam hal apapun. Persoalan ibadah, aqidah, dan hal-hal yang bersifat ghaib misalnya, harus didasarkan pada dalil yang benar (shahih), bukan berita yang dikarang oleh manusia. Sedangkan persoalan-persoalan yang dapat ditelusuri (diteliti), maka Islam memerintahkan kita untuk bertabayyun atau mencari kejelasan dan kebenaran berita tersebut (al-Hujarat: 6).

Sebab, berita bohong atau hoaks yang tidak diperiksa secara teliti—menurut Islam, dapat menjadi musibah yang akibatnya akan disesali di kemudian hari. Jika hal ini telah diterangkan jauh-jauh hari, pertanyaannya, mengapa di era yang semakin mudah melakukan pemeriksaan malah semakin langka orang-orang yang sekadar mengkonfirmasi suatu berita (informasi)? Benar dikatakan, belakangan ini, jari (menekan tombol share) lebih cepat dari akal sehat.

Nah, untuk menjadikan nalar ini kritis, dahulu telah ditawarkan dua model analisis. Pertama kritis terhadap sumber (kritik sanad), dan kedua kritis terhadap isi (kritik matan). Dengan mengecek suatu sumber, kita akan terlatih menjadi orang yang tidak asal ngomong. Selain kuat akan referensi, kita juga sulit menipu.

Orang-orang akan curiga sekiranya kita mengutip pendapat orang lain sedangkan kita tidak hidup di tempat dan bukan pula semasa. Di era ini, agar informasi tersebut tidak disebut hoaks, kita harus menyebut dari mana informasi tersebut kita dapat. Selanjutnya, kita juga harus mampu menangkap mana informasi yang logis dan dapat dibuktikan (empiris), dan mana informasi yang sulit diterima akal. Sehingga, hal-hal yang berbau mistis, mitos, atau jauh dari kemungkinan benar akan dibuang dengan sendirinya sampai hal tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Sejauh tidak ada klarifikasi, maka ia akan ditinggalkan begitu saja karena dianggap hoaks.

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Alhasil, yang perlu dan mendesak dibenahi adalah cara berpikir kita. Hal ini dapat dimulai dari pendidikan kita yang sifatnya indoktrinisasi, beralih menjadi pendidikan yang mempertanyakan terus menerus akan kebenaran sesuatu. Model pendidikan semacam ini tentu akan menolak Pancasila dan hal lainnya sebagai sesuatu yang final. Meski sulit diterima, pendidikan memang untuk mempertanyakan, bukan menerima begitu saja atas hal-hal yang disajikan. Tapi, pemerintah belakangan malah semakin gencar mendoktrin. Hal ini tentu sejalan dengan pendekatan yang mereka lakukan di mana penebar hoaks diberangus dengan semangatnya.

Untuk sementara mungkin jalan ini ampuh mengurangi hoaks, namun, untuk masa yang akan datang, kita malah semakin irasional, dan boleh jadi hanya menjadikan sabda pemerintah sebagai satu-satunya kebenaran. Sebab, hoaks tidaknya sesuatu, sulit dibedakan karena informasi hanya akan mengalir satu arah. Tapi, jangan khawatir! Tetaplah belajar guna mengasah nalar yang dengannya kamu akan terhindar dari menebar dan menerima hoaks. Bukankah Allah pernah berkata, “Orang yang paling takut—yang dengannya akan selamat—di antara hamaKu adalah mereka yang paling banyak ilmunya?” (Fathir: 28). Nah!

*Khairil Akbar, Penulis adalah warganet (netizen) yang sedang kuliah di program pascasarjana pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Related Posts

1 of 9