Inspirasi

HAPI 2017, YSTC Fokus Perhatikan Anak-Anak Disabilitas

NusantaraNews.co, Jakarta – PBB mendeklarasikan Hari Anak Perempuan Internasional (HAPI) pada tahun 2012, untuk merespon kebutuhan spesifik anak perempuan di seluruh dunia. Setiap hari anak perempuan mengalami tantangan berkaitan dengan hak dasar, akses pendidikan, ketidaksetaraan, diskriminasi, kekerasan dan termasuk perkawinan anak.

Ketidakadilan gender adalah isu yang digarisbawahi oleh banyak organisasi kemanusiaan, termasuk Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC). Hak atas pendidikan terhadap anak-anak perempuan khususnya masih harus terus diperjuangkan. Menurut UN Women, ketidakseimbangan gender masih banyak terjadi di level pendidikan menengah dan tinggi di berbagai negara.

Pada program YSTC, Family Based Care for Children with Disabilities yang didukung oleh IKEA Foundation di Jawa Barat tahun 2012 – 2015, ditemukan banyak anak perempuan dengan disabilitas yang tidak mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas.

Direktur Advocacy & Campaign YSTC Tata Sudrajat menyatakan bahwa Masyarakat –bahkan termasuk pendidik- masih memiliki pemikiran bahwa anak dengan disabilitas sebaiknya bersekolah di SLB. Sementara kenyataannya di setiap kecamatan hanya ada satu SLB, dengan sekolah umum terdekat yang tidak dapat menerima anak dengan disabilitas.

“Anak-anak dengan disabilitas berada di dalam kelompok paling rentan untuk menjadi korban. Ketidakmampuan mereka melindungi diri sendiri, menambah kerentanan menjadi korban kekerasan, pengabaian dan eksploitasi. Akses mereka untuk mendapatkan pendidikan berkualitas juga semakin berkurang.” ungkap Sudrajat, di Jakarta, Selasa (10/10/2017).

“Tanpa pendidikan yang berkualitas, maka lingkaran kemiskinan dan lingkaran kekerasan menjadi semakin sulit untuk diputus,” imbuh Sudrajat.

Pada peringatan HAPI ini, YSTC kembali mengingatkan kita semua untuk mendorong anak-anak perempuan kita untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Menurut data UNICEF, pada tahun 2012 46,7 persen anak Perempuan yang tidak bersekolah atau tidak pernah menyelesaikan SD menikah sebelum usia 18 tahun. Dengan menyelesaikan SMP, prevalensi perkawinan anak turun dari 40,5 persen menjadi 26,5 persen. Sementara anak yang bersekolah sampai SMA prevalensi perkawinan sebelum 18 tahun turun sampai 5,0 persen.

Tidak ada bukti bahwa pernikahan anak dapat menyelesaikan masalah kemiskinan yang menjadi salah satu alasan melepaskan anak untuk “mandiri.” selain itu, juga masih ada persoalan disabilitas yang berhubungan erat dengan kemiskinan. Jawaban dari kedua masalah ini terletak pada pendidikan. Memastikan anak-anak perempuan tanpa terkecuali agar mendapatkan pendidikan berkualitas, dapat mencegah mereka menjadi korban perkawinan anak, dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan potensi ekonomi yang lebih baik di masa yang akan datang. (red02)

Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 4