Puisi

Hampir Gelap, Jarum Langit dan Puisi-puisi Rofqil Junior

hampir gelap, jarum langit, puisi, puisi-puisi, rofqil junior, kumpulan puisi, nusantaranews
Menjelang maghrib. (Foto: Dok NUSANTARANEWS.CO)

Hampir Gelap

goyang anggrek hitam dan akar bakau
menjuntai melengkapi sepi hingga larut
burung-burung malam bersayap angin
membidik petang dari barat ke timur

matahari yang mengubur dirinya
dalam-dalam
sedalam ketakutan masa silam
kupastikan esok bangkit dengan pakaian
serba baru dan dari jalan biasa

sedang yang kukutuk sebagai kenangan
adalah bekas pijakan anak-anak
seusia jagung di sekat pembatas
bibir pasir dan lidah ombak.

temaram tandang, gugusan bintang
tenggara sempurna menyatu
dengan gelap. berjalan bersama-sama

lalu burung-burung lain
berekor lilin, memperpanjang kicau.

Gapura, 2019

 

Sebuah Pagi

sementara pendar fajar kedua tersangkut
di ujung pohon kelapa sekitar halaman berumput
pagi mencair seperti patung lilin,
kujemput diam-diam. di luar hening mengalir
terulang kembali

jalak putih gegas melintas
di persimpangan langit lurus di atas kepala
mencari bahan untuk menenun sarang
atau sekadar membidik penawar lapar
anak-anaknya

gigil semakin nyaring berkepanjangan
tiada matinya
menyatu dengan embun, menyapa
daun ranggas sebelum akhirnya luruh

betapa mungkin angin lebih semilir
dari yang kau dan aku rasakan

takut-takut mekar kembang api
tak tertunaikan dan mati dihajar terik
lantas putri malu semakin kuncup saja

Gapura, 2019

 

Desa Terbakar

aku melayat desa mati dibakar terik matahari
tinggal desau kepodang di pohon kedongdong
yang condong dan hampir roboh
suaranya ringkih sekali

langit biru bercermin pada selokan pematang
sengau lumbung kian lesat tajamnya
akar-akar tembakau meminta lepas satu-perastu.
berjalan menyibak padi kuning setengah runduk
ujungnya mencucuk dasar kaki

bunga angin yang kupetik tiap kedatangan ke sini
tempat puisi-puisi itu lahir lalu mengeram
dan menetas sendirinya
adalah teduh yang rutin kuburu, hingga
tak satu pun tersisa gerah di kepala

betapa luka akan sangat basah
kalau tiba-tiba jarum jam tak gegas
lebih gila

sedang desa kita
hanya kutaburi kembang berupa-rupa
sekadar penenang kenang yang kian semarak.

Gapura, 2019

 

Jarum Langit

jarum-jarum gerimis mematuk sepi
gigil mendidih mendaratkan tubuhnya
di pinggul menjalari setiap bukit
dan lembah tubuhku
sesekali mendekapku begitu erat
sangat erat

untuk kali ini dan seterusnya
jendela itu tidak akan pernah kosong
bulan dan matahari yang ikut mencair
langit begitu tua bentuknya
mudah berubah-rubah

pohon akasia sudah lama tengadah
satu akarnya ke bumi
satu tangkainya ke langit

tanah retak, hanya jarum gerimis sesak
menyentuh sudut-sudut ladang
dan tanggul tambak

tak sampai memancing tanah
mengeluarkan aroma asing bertaring
menerobos lorong hidung kita yang gelap

Gapura, 2019

 

Koran Pagi

sedang secawan kopi yang tetap mengepul
di rongga meja
menyulut lara berderai yang sudah menahun
bapak memulai ritual bersepi-sepi dengan kursi

abjad di dasar koran, penghantar kabar asing
dan sekian banyak tepi dan ruang
di perut bumi

mula-mula ia membetulkan duduk kacamatanya
lantas, menyibak lapis-lapis halaman
hingga sampai pada kabar kematian.

dibayangkan kematiannya sendiri
dengan upacara yang tak begitu sepi

dan mungkin muncul di lembar pertama
koran besok pagi

sekali-kali ia akan berseru, jika pandangannya
tertuju pada lembar terakhir
sementara kopi sudah tinggal ampas
seperti pagi yang kehilangan dingin
dan aku yang memburu ingin

Gapura, 2019

 

Pohon Hayat

ranting setengah gigil dan sudah menua
bentuknya
ada sulur sulur baru yang tidak pernah
menolak untuk jatuh

segalanya tergantung pada angin,
derap musim yang bebas melintas

lalu kau tidak perlu bertanya
siapa di antara kita yang jatuh
lebih dulu. dan mati sebelum waktu

sebab nasib kerap terbalik

akar yang kokoh enggan menolak roboh
bila sampai pada waktunya,
betapa kematian begitu menyakitkan

demi masa dan ranting ranggas
dimakan usia
kau dan aku daun
menanti kabar untuk tanggal

sambil menikmati jalan terpenggal

Gapura, 2019

 

 

 

 

 

 

Penulis: Rofqil Junior adalah nama pena dari Moh. Rofqil Bazikh. Lahir di pulau Giliyang kec. Dungkek kab. Sumenep Madura pada 19 Mei 2002. Berdomisili di Gapura Timur Gapura Sumenep.Aktif di Kelas Puisi Bekasi dan Komunitas ASAP Merupakan alumnus MA. Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur Gapura Sumenep dan MTs. Al-Hidayah Bancamara Giliyang. Tempatnya memulai berproses menulis. Esssainya mendapat juara 1 dalam lomba Creative Student Day 2018. Puisinya mendapat juara 1 dalam lomba yang diadakan oleh PT Mandiri Jaya Surabaya sekaligus terangkum dalam antologi Surat Berdarah di Antara Gelas Retak (2019). Puisinya juga termaktub dalam antologi Dari Negeri Poci 9; Pesisiran (KKK;2019), Bulu Waktu (Sastra Reboan;2018), Banjarbaru Festival Literary (2019), Sua Raya (Malam Puisi Ponorogo; 2019), Dongeng Nusantara Dalam Puisi (2019). Saat ini sudah menulis puisi di berbagai media cetak dan online antara lain Bangka Post, Suara Merdeka, Banjarmasin Post, Malang Post, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Radar Cirebon, Radar Madura, Rakyat Sumbar, Radar Pagi, Kabar Madura, Takanta.id, Riau Pos, NusantaraNews, SerikatNews, dll.

Related Posts

1 of 3,053