Hak Asasi Manusia Sebagai Moral Bersama (Renungan Akhir Tahun 2017)

Denny JA. Ilustrasi Foto: NusantaraNews.co

Denny JA. Ilustrasi Foto: NusantaraNews.co

NUSANTARANEWS.CO – Madeline Albright, yang pernah menjabat sebagai menteri luar negri Amerika Serikat dan dikenal kualitas negarawannya, suatu ketika berkata. “Tak penting pesan apa yang akan kau bawa, apakah kau sedang mencari sekutu, atau akan menegaskan ketidak setujuanmu, dalam meja perundingan, mereka yang duduk di sebrangmu juga manusia. Karena itu carilah common group. Carilah persamaan untuk hidup bersama.”

Apa yang dikatakan Albright itu sebuah prinsip. Di dunia yang sangat beragam agama, filsafat hidup, keyakinan, kepentingan, hanya bisa damai jika kita bisa temukan kesepakatan sebuah moral untuk hidup bersama.

Di ujung tahun 2017, di era peradaban milenial, agaknya yang paling mungkin menjadi moral bersama di ruang publik adalah prinsip Hak Asasi Manusia. Pemimpin di Indonesia ataupun calon pemimpin harus pula mulai membuka mata.

Statistik di bawah ini semakin pula mencengangkan kita.

***

Ada tiga alasan, mengapa prinsip Hak Asasi Manusia harus dipertimbangkan sebagai moral hidup bersama, termasuk kita di Indonesia.

Pertama, setiap individu ingin dihormati filsafat hidupnya, termasuk keyakinan agamanya dan interpretasinya atas agama. Ada 4200 agama yang kini terdaftar hidup di planet. Di antara 4200 agama itu, ada sekitar 20 agama atau non agama yang penganutnya puluhan juta.

Yang terbesar saat ini adalah Kristen (2,1 milyar penganut) dan Islam (1.3 milyar pemeluk). Yang ketiga justru apa yang disebut non-religius (secular, agnostik, atheis sebanyak 1,1 milyar). Keempat Hindu (900 juta), Agama tradisional Cina (394 juta), Buddha (376 juta), kepercayaan lokal (300 juta), dan seterusnya.

Bahkan agama terbesar juga terpilah dalam aneka sekte yang bukan saja berbeda, tapi saling bertentangan. Kristen selaku agama yang paling banyak pengikutnya terpilah menjadi lebih dari 30 ribu denominasi yang otonom, berdiri sendiri-sendiri. Islam juga terpilah ke dalam aneka kelompok yang juga tak jarang bertentangan: Sunni, Syiah, Ahamadiyah, Nation of Islam, Bahaisme, dan sebagainya.

Semua keyakinan itu tentu saja tak bisa dipaksa harus tunduk pada keyakinan pemeluk lainnya.

Hak asasi manusia bisa menjadi common ground hidup bersama di ruang publik. Dalam hak asasi manusia, semua keyakinan dan interpretasi dibolehkan hidup. Yang dilarang hanya melalukan pemaksaan dan kekerasan.

Kedua, de facto, pengambil kebijakan negara modern tak lagi dituntun oleh ortodoksi agama. Mereka lebih digerakkan oleh perkembangan terbaru ilmu pengetahuan, akumulasi riset dalam membuat kebijakan.

Satu saja contohnya. Semakin banyak negara yang melegalkan perkawinan sejenis. Ini sesuatu yang dulu sangat ditentang oleh banyak ortodoksi agama. Tapi de facto: mereka meyakini penemuan ilmu pengetahuan mutakhir yang didukung oleh asosiasi psikologi, psikiater dan dokter tingkat dunia yang berhasil meyakinkan bahwa homoseks itu sejak tahun 1970 diyakini bukan penyimpangan.

Pertama kali Belanda yang melegalkan seks sejenis di tahun 2011. Kini sampai tahun 2017, sudah 20 negara yang melegalkannya. Antara lain: argentina, Australia, Brazil, Amerika Serikat, Afrika Selatan. Dalam waktu dekat Taiwan akan mengikuti. Lengkap sudah di lima benua, aneka negara mulai melegalkannya: Eropa, Amerika, Australia, Afrika, dan sebentar lagi Asia.

Pemicunya justru penemuan yang dikemukakan oleh mereka yang dianggap kompeten di dunia kejiwaan dan kedokteran. Kini PBB secara resmi megakui hak memiliki orientasi seksual yang berbeda adalah bagian hak asasi.

Yang dimaksud dengan hak asasi, pihak lain tak harus setuju dengan prinsip itu. Itu hak bukan kewajiban. Namun pihak lain tak boleh memaksa dan menghalangi individu yang secara sadar memilih haknya

Defacto, dalam kebijakan mutakhir, elit politik dunia lebih mendengar prinsip Hak Asasi Manusia ketimbang interpretasi agama. Dua puluh negara yang melegalkan LGBT itu suka atau tidak, adalah negara yang kini secara ekonomi paling kaya, secara militer paling kuat, secara ilmu pengetahuan paling banyak menghasilkan Nobel.

Dalam riset muthakhir indeks kebahagiaan warga negara, 20 negara itu termasuk negara yang paling top soal kebahagiaan individu warga negaranya.

Ketiga, prinsip hak asasi manusia juga membolehkan dissenting opinion dan menjadi “open society.” Segala hal bisa diubah sejauh berdasarkan argumen yang kuat reasoningnya, dan diperjuangkan secara demokratis. Individu tak boleh dihukum karena fantasinya.

Dalam prinsip moralitas Hak Asasi Manusia, siapapun tetap dibolehkan memperjuangkan keyakinannya: misalnya ia merindukan diterapkannya negara agama. Setiap individu boleh bermimpi dengan cita cita sosialnya.

Sangat mungkin fantasi yang aneh di satu masa menjadi realitas di masa berikutnya. Sejarah peradaban adalah sejarah begitu banyak keanehan menjadi realitas.

Di tahun 1900an, sangat aneh ada wanita yang berfantasi seharusnya wanita dibolehkan memilih dan dipilih dalam pemilu. Bahkan pejuang emansipasi wanita itu banyak yang dipenjara. Kini kita tahu betapa benar perjuangannya.

Di tahun 1930an, sangat aneh kulit hitam punya hak yang sama dengan kulit putih. Mereka yang memperjuangkan persamaan itu banyak masuk penjara. Kini kulit hitam ada yang menjadi presiden di Amerika Serikat.

Bahkan di tahun 1950, homoseks dianggap tabu di Amerika Serikat. Sempat ada “executive order” dari presiden yang melarang mereka yang homoseks bekerja untuk aneka projek pemerintahan federal. Kini presiden AS sendiri yang ikut memperjuangkan pernikahan sejenis.

***

Akankah menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai moral bersama membatasi individu menjalankan agama dan keyakinannya? Tidak sama sekali. Justru hak asasi dibuat untuk melindungi kebebasan individu memilih gaya dan keyakinan hidupnya.

Yang dilarang hanyalah pemaksaan menyeragamkan pihak lain dengan kekerasan. Dakwah tentang apapun dibiarkan karena itu bagian dari hak asasi.

Namun tiga prinsip di bawah ini penting bagi setiap warga untuk hidup nyaman di zaman baru.

Pertama, memisahkan pilihan moral pribadi dan moral bersama. Memisahkan salah dan benar berdasarkan keyakinan pribadi dengan salah dan benar ruang publik.

Misalnya, umat Islam tahu bahwa makan babi itu salah (dilarang) dalam moral pribadinya. Namun umat Islam sepenuhnya menerima bahwa dalam moral bersama (ruang publik), negara tak bisa melarang pihak yang berbeda untuk tak makan babi.

Soal babi ini bisa diperluas ke soal lain. Apa yang berdosa menurut paham agama tidak otomatis harus juga menjadi kriminal berdasarkan hukum negara. Walau tetap saja akan lebih banyak yang salah dalam moral pribadi juga salah dalam moral bersama seperti: pembunuhan dan tindak kriminal lainnya.

Pemisahan moral pribadi dan moral bersama akan memudahkan individu memahami prilaku negara yang seharusnya. Negara harus melindungi keberagaman itu tapi sangat keras kepada mereka yang melakukan pemaksaan dan kekerasan.

Kedua, mengembangkan kultur “agree to disagree.” Kitapun harus ikhlas menerima bahwa setiap orang tak bisa dipaksa bersetuju dengan kita. Yang bisa dikembangkan agar hidup damai adalah “sepakat untuk tidak sepakat.” Sambil juga mengakui hak setiap orang untuk berbeda.

Hak setiap orang untuk memperjuangkan gubernur muslim, atau walikota wanita, atau bupati asal daerahnya. Sebaliknya, hak setiap orang pula jika ia ingin menjadi liberal, dan menentang semua itu. Sejauh ia warga negara, ia memiliki hak yang sama. Silahkan dipertarungkan di ruang publik secara demokratis, tanpa paksaan, tanpa kekerasan.

Ketiga, prinsip perubahan gradual. Di indonesia, goresan agama sangat dalam di batin warga. Itu adalah berkah. Dengan sendirinya, resistensi atas prinsip hak asasi manusia berdasarkan keyakinan agama perlu selalu dipertimbangkan.

Namun dipertimbangkannya tidak dengan menggugurkan prinsip hak asasi itu. Tapi menerapkannya secara gradual berdasarkan kesiapan kesadaran kolektif masyarakat.

Misalnya, jangan paksa pemerintah RI melegalkan perkawinan sejenis dalam waktu dekat. Itu akan merusak semua karena publik belum siap. Tapi mereka yang LGBT tak boleh dianiaya dan dikurangi haknya selaku warga, sesuai konstitusi UUD 45.

Kitapun harus menyadari bahwa Indonesia mustahil pula dikembangkan menjadi sejenis Amerika Serikat di Nusantara. Indonesia dapat secara bertahap menerapkan hak asasi dengan campuran budaya dan keyakinannya sendiri. Biarlah semua berjalan secara bertahap.

Biarlah “lambat asal selamat.” Yang penting kita tahu kemana peradaban bergerak. Dan para intelektual, pejuang, politisi harus juga punya kesabaran memperjuangan apa yang dianggap baik, dengan prinsip: “pada waktunya, semua akan indah.”

Penulis: Denny JA

Exit mobile version