Globalisasi dan Perang Asimetris
Karakter perang abad 21 telah berkembang dan mengalami perubahan sejalan dengan mengemukanya konsep Revolution in Military Affairs (RMA). Globalisasi dan kemajuan teknologi telah mendorong berkembangnya konsep keamanan yang lebih kompleks dan multidimensional, yang tidak hanya mencakup dimensi militer semata, melainkan juga dimensi yang bersifat non-militer.
Oleh: Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin
Peperangan generasi keempat (fourth generation warfare), telah mengaburkan batas antara perang dan politik termasuk kombatan dan warga sipil. Perang asimetris (asymmetric warfare) kini telah menjadi bagian integral dalam transformasi pertahanan di banyak negara sehingga mempengaruhi berbagai dimensi dalam kehidupan militer – mulai doktrin, organisasi, peralatan, pelatihan hingga penggunaan kekuatan.
Globalisasi tidak mungkin dibendung sehingga perlu direspon secara cerdas, kreatif dan kritis. Negara Republik Indonesia, dengan luas wilayah 1.922.570 Km2, 17.504 pulau, dan dihuni oleh lebih dari 300 etnik yang memiliki perbedaan agama dan adat istiadat – mengakibatkan Indonesia sangat rentan menghadapi munculnya bahaya Perang Asimetris.
Apalagi kondisi politik dalam negeri Indonesia yang penuh tantangan konflik, belum tuntasnya pembongkaran jaringan terorisme, dan masih eksisnya separatisme di beberapa daerah, sangat memengaruhi situasi keamanan dalam negeri.
Tipologi Perang Asimetris, seperti telah diungkapkan sebelumnya, pihak militer tidak hanya berhadapan dengan aktor negara, melainkan juga aktor non-negara, seperti kelompok teroris, separatis, dan kelompok lainnya. Kelompok-kelompok ini memanfaatkan kemajuan teknologi dan globalisasi untuk melakukan aksinya tanpa batas wilayah.
Dalam perang asimetris, kita diserang oleh lawan dari berbagai bidang yang meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan militer baik dari luar (internasional) maupun dalam negeri (domestik). Selain bentuk-bentuk ancaman yang sudah ada sebelumnya, seperti separatis, teroris, konflik komunal (SARA), kita juga akan menghadapi bentuk ancaman lain yang lebih halus dan sulit diidentifkasi, yang disebabkan oleh perbedaan politik, keresahan sosial, pengangguran, kelaparan, kemiskinan, kekecewaan, dan rasa ketidakadilan yang dieksploitasi oleh lawan.
Dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman tersebut, baik yang bersifat aktual maupun potensial, pada prinsipnya diperlukan adanya antisipasi dini, inisiatif dan respon yang proporsional, serta kemampuan lebih/khusus dalam penguasaan metode perang asimetris yang mungkin digunakan oleh pihak lawan, baik menyangkut teknologi, informasi, psikologi, dan lainnya. Untuk dapat berhasil mengatasi ancaman-ancaman tersebut, kolaborasi dan kerjasama, serta pola pikir perang non-konvensional (unconventional war) senantiasa harus dikedepankan. Hal ini diperlukan untuk meniadakan asymmetric enemy.
Konsepsi Menghadapi Perang Asimetris
Bagian Operasi Militer dalam merespon perang asimetris terdapat empat kecenderungan pola menghadapi perang asimetris: Pertama, pencapaian mission orders akan cenderung semakin banyak ditentukan oleh aksi organisasi level bawah. Karena itu pengertian akan tujuan dari misi harus dimiliki oleh organisasi level terbawah sehingga mereka merespons perkembangan dengan secepatnya bertindak tanpa harus mengompromikan mission orders yang lebih besar diperlukan inisiatif dan motivasi yang cepat.
Kedua, pergeseran unit terkecil harus mampu beroperasi secara mandiri dan tidak bergantung pada logistik terpusat. Setiap unit harus dapat hidup dari sumber daya alam dan sumber daya musuh yang berhasil dikuasai. Di sini perlunya kemampuan perorangan yang tinggi dalam menjalankan suatu operasi khusus. Ketiga, semakin pentingnya kemampuan manuver, dibandingkan jumlah frepower, mengingat konsentrasi massa dan frepower justru membuat semakin mudah untuk diserang. Di masa yang akan datang, pasukan yang kecil, berkemampuan manuver yang tinggi, cepat dan lincah akan mendominasi pertempuran, karena perang asimetris sangat tidak normatif.
Keempat, kecenderungan untuk penetrasi menyerang anatomi lawan secara internal dengan menghancurkan kekuatan fisiknya. Hal ini bisa dicapai, antara lain dengan menekan basis politik, finansial dan material lawan agar tidak lagi memberikan dukungan pasukan lawan, atau bahkan menekan basis tersebut untuk menghentikan perang dengan memutuskan garis logistik dan komunikasi suatu tindakan yang melumpuhkan kekuatan lawan.
Keempat kecenderungan ini membuat perang asimetris akan menjadi perang tanpa bentuk yang jelas. Garis pemisah antara perang dan damai semakin menipis, dengan front non-linear, bahkan mungkin tidak ada medan tempur yang dapat didefinisikan dengan jelas. Garis pemisah antara rakyat sipil dan militer semakin tidak jelas. Perang akan terjadi dalam seluruh dimensi, termasuk pada dimensi kultural, maka perang psikologis menjadi salah satu dimensi yang sangat dominan untuk dikembangkan dalam perang asimetris.
Pada level strategis, target peperangan asimetris adalah melemahkan motivasi pembuat kebijakan di pihak lawan, sehingga kemenangan strategis diperoleh dengan serangkaian serangan terkoordinasi dan simbolik melalui ragam cara untuk menghancurkan infrastruktur ekonomi, sosial budaya dan politik negara, yang akan meruntuhkan semangat perlawanan pemimpin politik negara.
Akhirnya dalam era perang asimetris di abad 21 ini ada kecenderungan “Si-lemah” tidak perlu takut menghadapi “Si-kuat” sepanjang ada kemampuan untuk mengolah skill-level dan kualitas intelijen serta yang paling utama kemauan keras untuk menang. Tetapi yang paling penting sebaiknya kita menjaga jangan sampai timbul asymmetric enemy.
Dalam konteks pertahanan menghadapi perang asimetris, yang paling efsien dapat dilakukan adalah diplomasi antara pihak yang berhadapan. Hal ini lebih produktif daripada tindakan kekerasan yang menggunakan kekuatan militer, walaupun upaya diplomasi belum pasti dikehendaki oleh mereka yang sangat fanatik dan fundamentalis. Kuncinya memenangkan hati dan pikiran lawan.[***]