Opini

Gizi Masyarakat dan Ketimpangannya

Anak-anak di Kabupaten Asmat tengah menderita KLB Campak dan Gizi Buruk. Foto: Puspen TNI
Anak-anak di Kabupaten Asmat tengah menderita KLB Campak dan Gizi Buruk. Foto: Puspen TNI

Oleh: Annas Sholahudin*

NUSANTARANEWS.CO – Untuk sekian kalinya, kita akan kembali menyongsong pesta demokrasi. Rentetan persoalan dan peristiwa mengiringi perjalanan Indonesia menjelang Pemilu 2019, mulai dari bencana alam dan beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh pelaku politik. Namun dari persoalan-persoalan tersebut, perlu juga menilik kembali kebutuhan gizi masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin. Dalam kampanyenya, Petahana gencar menyuarakan swasembada pangan menjadi prioritas utama. Salah satu titik kritisnya adalah gizi buruk.

Defisiensi (kekurangan) gizi pada masyarakat, ini menjadi tolak ukur seberapa efektif dan efisien kinerja pemerintah dalam memberangus defisiensi gizi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan gizi ini sangat penting. Produktivas masyarakat ditentukan oleh gizi yang cukup, terutama untuk tubuh kembang anak. Pada umumnya, masyarakat yang mengalami defisiensi gizi akan mengalami penurunan kesehatan. Berimbas pada penurunan kecerdasan.

Baca Juga:

Biasanya masyarakat yang rawan terhadap defisiensi gizi adalah masyarakat miskin. Selain ada faktor lain, seperti latar belakang pendidikan yang rendah, lingkungan yang kurang sehat dan ketidaktahuan tentang gizi.

Dampak dari defisiensi gizi juga berdampak negatif bagi ibu hamil. Ada beberapa zat gizi yang dibutuhkan oleh ibu hamil, untuk pembentukan sel otak pada janin. Hal ini sangat membutuhkan asam folat. Selain itu, penyakit anemia pada ibu hamil, berakibat sangat buruk,  bahkan menimbulkan potensi kematian bagi keduanya, karena kekurangan zat besi.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Anak-anak menjadi aset berharga untuk regenerasi selanjutnya, namun masih banyak anak-anak yang terancam defisiensi gizi. Dalam hal ini, kecerdasan dan daya imun anak menurun, akibat kekurangan zat gizi mikro, seperti vitamin, kalsium, protein, dll. Data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 9 juta anak mengalami gizi buruk.

Segala aktivitas akan terhambat, jika kekurangan zat gizi— cepat lelah yang diakibatkan oleh kekurangan protein dan karbohidrat. Upaya meningkatkan gizi pada masyarakat menjadi tindakan wajib bagi kita semua, khususnya pemerintah. Fortifikasi gizi adalah salah satu cara yang tepat untuk mengurangi masalah defisiensi gizi di masyarakat. Tujuannya untuk meningkatkan kadar gizi yang dikonsumsi. Dengan demikian, pemerataan kecukupan gizi bisa terpenuhi. Fortifikasi gizi merupakan pengayaan atau pencampuran zat gizi tertentu, agar bisa dikonsumsi oleh tubuh sehingga kebutuhan gizi tercukupi.

Salah satu bahan pokok pangan yang sudah terfortifikasi yaitu beras. Ini sudah menjadikan kebijakan Kementerian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahwa fortifikasi beras untuk bantuan (raskin) dapat ditambahkan zat gizi (zat besi). Tentu, harus dilakukan secara menyeluruh antar daerah. Artinya beras raskin secara umum sudah terfortifikasi mengandung zat gizi dan pengujian standar pangan meliputi aroma, rasa, tekstur. Selain itu, harga yang terjangkau bagi masyarakat kelas rendah bisa menjadi andalan untuk ketahanan pangan, dari pada harus membeli beras premium.

Baca Juga:  Apa Arti Penyebaran Rudal Jarak Jauh Rusia Bagi Skandinavia?

Namun nyatanya, kualitas raskin, dari segi kenampakan dan rasa, masih menjadi keluhan masyarakat. Mulai dari bentuknya yang agak remuk, berbau dan warnanya yang agak pucat kehitaman-hitaman. Bahkan jika dimasak jauh dari yang diharapkan dibandingkan beras premium. Yang menjadi persoalan, apakah beras sudah melalui persyaratan fortifikasi, atau sudah melalui seleksi persyaratan layak konsumsi? Tentu, butuh penguraian yang detail untuk menelusuri persoalan ini. Dalam hal ini, butuh keterbukaan dari pihak-pihak bersangkutan.

Program Raskin yang Cacat

Salah satu kebijakan yang sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan adalah pendistribusian raskin. Dengan kemajemukan latar belakang masyarakat, raskin wajib ada, sebagai pertolongan pertama untuk permasalahan pangan dan ekonomi. Kebijakan ini sudah berjalan saat Rezim Orde Baru masih berkuasa. Tetapi kebijakan ini belum mampu berbicara banyak, untuk mengentaskan kemiskinan dan ketahanan pangan.

Ada beberapa hal yang menjadi kendala pendistribusian raskin. Raskin belum tepat sasaran. Banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan jatah atau sebaliknya. Selain itu raskin harus ditebus dengan harga tertentu, sehingga masyarakat yang benar-benar miskin merasa terbebani dengan hal itu. Kualitas raskin pun, belum bisa memenuhi kriteria Angka Kecukupan Gizi (AKG). Pendistribusian akses raskin juga belum sepenuhnya didapat oleh masyarakat-masyarakat tertentu atau daerah-daerah terpencil. Selain itu, ancaman yang  menakutkan adalah terjadinya kecemburuan sosial di kalangan masyarakat, karena pembagian yang kurang tepat.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

India salah satu negara yang membuat kebijakan revolusi pangan dengan sistem distribusi pangan atau Public Disribution System (PDS). Sistem ini berfungsi sebagai langkah antisipasi ketersediaan pangan, dalam arti sebagai lumbung pangan (Eraiah, 2009) Dalam mewujudkan ketahanan pangan, selain aspek stabilitas, raskin merupakan elemen penting dalam membantu ketahanan pangan nasional.

Setidaknya ada tiga elemen penting dalam membangun ketahanan pangan. Pertama adalah pertanian dan ekonomi pedesaan. Perspektif Makro dalam ekonomi pangan membantu mengintegrasikan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dengan pasar pangan nasional. Ketahanan pangan dalam tingkat rumah tangga dan nasional akan meningkatkan prospek perkembangan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan dengan standar kehidupan yang lebih layak (Timmer, 2004). Selebihnya, mari kita menyongsong tahun politik dengan aman dan damai. Siapa pun yang nantinya yang mengemban amanah, semoga dapat mengemban tugasnya dengan baik.

*Annas Sholahudin, lahir di Bojonegoro. Menempuh pendidikan prasarjana di Universitas Nahdhlatul Ulama Yogyakarta, Program studi Teknologi Hasil Pertanian. Aktif di Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta.

Related Posts

1 of 3,150