NUSANTARANEWS.CO – Media sosial telah berhasil menelanjangi kebobrokan. Bagaimana tidak, buah karya kemajuan teknologi informasi tersebut secara tidak sengaja telah menggugah emosi banyak orang. Sampai pada akhirnya orang memposting beragam kata dan kalimat, bahkan tak jarang membuat orang lain yang melihatnya marah, terprovokasi dan tersinggung. Apakah itu suatu kesalahan?
Seorang penulis dan editor kesehatan dan masa depan empati, Kaitlin Ugolik menulis ulasannya terkait dengan kemarahan orang terhadap media sosial dan ekspresi marah ketika orang memposting konten-konten di media sosial. Ugolik bercerita kalau dirinya pernah sangat marah ketika melihat banyak pengguna media sosial tampak seperti setan; marah-marah dan provokatif. Ugolik merasa jengah.
Namun, Ugolik lalu menyimpulkan bahwa kemarahan orang di media sosial sebetulnya hanya bermaksud menghiba perhatian dan dukungan semata. “Seseorang meminta perhatian pada pengakuan saya terhadap emosi negatif yang saya sendiri menganggapnya sesuatu yang cacat dan membuat jengah orang-orang yang berkepala dingin,” kata Ugolik dalam sebuah tulisannya di Establishment.
Menjadi seorang pengkritik lewat media sosial tentu bukanlah ide buruk. Mungkin, kita sendiri bahkan telah turut andil pula menuliskan kritik-kritik diberbagai bidang seperti pendidikan, politik, hukum dan lain sebagainya. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan fenomena tentang ketidakadilan sosial. Bahkan tak jarang, orang melakukan kritik dengan cara membuat meme-meme menohok. Hebatnya, pada saat yang sama industri hoax menyeruak ke permukaan.
Menurut Ugolik, semakin banyak orang melakukan protes, boikot, kritik dan berbagi meme yang mencerminkan kemarahan tentang permasalahan sosial-politik. Pada waktu bersamaan, tak sedikit pula yang berakhir perdebatan, konflik dan pertikaian. Bahkan, tak jarang tindakan provokatif di media sosial membawa orang ke jeruji besi karena dianggap melakukan tindakan penyebaran kebencian.
“Melalui saluran berita dan informasi, anda akan dengan mudah menemukan perkelahian di media sosial tentang kebijakan pemerintah,” kata dia.
Derasnya arus informasi, Ugolik menuturkan, membuat hampir setiap orang pernah marah ketika menegok media sosial. “Jika Anda adalah generasi milenial, kemungkinan itu akan menjadi identitas diri Anda, tergantung apakah Anda mengindentifikasikannya secara pribadi ataukah tidak,” jelas Ugolik.
Ugolik berkata, fenomena itu masih dalam taraf wajar. Pasalnya, generasi milenial dianggapnya sebagai generasi paling pemarah, malas, merasa paling benar dan berhak, serta paling sensitif atau mudah tersinggung. Bahasa infotainment-nya, generasi bersumbu pendek. Namun di balik itu, generasi milenial justru dipandang beda oleh penulis seperti Jonathan Haidt dan Greg Lukioanoff, bahkan pakar budaya seperti Piers Morgan. Generasi milenial, kata mereka, justru mereka menunjukkan kemauan keras dan punya ide unik dan kreatif meskipun generasi tersebut cenderung kecanduan marah.
Fakta lain, generasi milenial sebanyak 56 persen menganggap diri mereka aktivis dalam beberapa hal. Sebagian lain menganggap diri mereka adalah sosok paling berhak dan benar. Ini erat kaitannya dengan aksi kritik dan berbagi kemarahn di media sosial tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mengusik rasa keadilan. Bahkan, tak sedikit kebijakan pemerintah dan ulah politisi yang tidak mendukung nilai-nilai kehidupan sosial, malah melahirkan hal-hal yang bersifat diskriminatif.
“Saya merasa seperti kita memiliki lebih banyak media untuk menanggapi peristiwa budaya, dan kita terbiasa mengeposkan, berkomentar, dan menghasilkan pemikiran dengan cepat,” kata Ebony Murphy-Root, seorang yang mengaku dirinya generasi milenial.
Kemarahan (kritik) yang diumbar di media sosial tentu saja merangsang orang lain untuk berkomentar. Bahkan tak sedikit yang terprovokasi dan terpengaruh. “Kecenderungan semacam ini membentuk orang lain terangsang karena kemarahan yang bercampur, dan jaringan sosial memperburuk hal ini, membuatnya lebih mudah untuk berkomunikasi dengan kelompok lain yang lebih besar yang berpikiran sama,” kata Dean Burnett, penulis The Idiot Brain: A Neuroscientist Explains What Your Head Is Really Up To.
Jika ada sesuatu yang berbeda tentang hubungan milenium dengan kemarahan, mungkin saja kita memiliki waktu lebih mudah mengenali dan mengungkapkannya. “Kemarahan adalah emosi yang sangat sosial. Seseorang yang marah mendorong reaksi yang sesuai di otak orang-orang di sekitar mereka,” tambah Burnett.
Namun begitu, marah bukanlah sifat unik generasi milenial. Sebab yang benar adalah mengekspresikan kemarahan dengan cara yang unik, atau lebih baik lagi ialah menahan kemarahan tersebut sebagai wujud kepedualian kita terhadap orang lain yang kerap gusar dan marah dengan aksi kemarahan yang diumbar di media sosial.
Pewarta: Eriec Dieda
Editor: Romandhon