Full Day School Bisa Timbulkan Kekerasan Terhadap Anak di Sekolah Semakin Tinggi

Diskusi publik FDS, di Kantor YLBHI/Foto nusantaranews/Fadilah
Diskusi publik FDS, di Kantor YLBHI/Foto nusantaranews/Fadilah

NUSANTARANEWS.CO – Baru-baru ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyampaikan gagasan sistem ‘Full Day School’ (FDS) untuk pendidikan dasar (SD dan SMP) di Indonesia, baik sekolah negeri maupun swasta. Alasannya, sistem ini dinilai cocok mengurangi kesempatan anak mendapatkan pengaruh negatif, saat mereka tak dalam pengawasan orang tua sepulang sekolah. Terutama di masyarakat perkotaan.

Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia, Retno Listiyanti menolak di terapkannya FDS di Indonesia. Setidaknya ada dua alasan yang cukup kuat. Alasan pertama lantaran masih tingginya angka kekerasan terhadap anak di Indonesia. Berdasarkan hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah tergolong tinggi. Sebanyak 87 persen anak menjadi korban, dan 76 persen anak mengaku sebagai pelaku kekerasaan. Bentuk kekerasaan tersebut bervariasi mulai dari ejekan hingga fisik yaitu perkelahian atau tawuran. Sebagian besar pelakunya merupakan korban kekerasan di lingkungan rumah, sehingga implementasinya ke temannya di sekolah.

“Kenapa demikian? Karena semakin dia menjadi korban maka akan semakin mendapat tekanan, akibatnya dia akan menjadi korban, dimana nantinya dia akan melampiaskan hal tersebut ke adik kelas atau teman kelasnya,” kata Retno dalam diskusi publik, di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, (18/8/2016).

Bahkan tidak sedikit juga anak murid yang menjadi korban bullying dari kakak kelasnya kemudian setelah dia menjadi kakak kelas, dilampiaskan ke adik kelasnya. Kekerasan yang terjadi antar anak disekolah biasanya terjadi di jam-jam istirahat. Salah satunya seperti yang terjadi pada salah satu murid di SMP di kawasan Jakarta Timur, dia meninggal karena di pukul oleh seniornya di jam sekolah, pemukulan tersebut berawal dari pemalakan yang dilakukan oleh kakak kelasnya itu namun si korban enggan memberikannya. Artinya di jam-jam itu ada kelalaian pihak sekolah dimana peristiwa ini terjadi.

“Kejadian berikutnya terjadi di salah satu SD di Kebayoran lama, disana anak ini sedang lomba menggambar, kemudian terjadi pertengkaran dan si salag satu anak melakukan smack down kepada si korban. Kemudian anak yang menjadi korban itu di rawat di rumah sakit dan meninggal,” ungkapnya.

Melihat dua kasus tersebut, Retno menyimpulkan di hadapan guru saja, kekerasan bisa terjadi, apalagi ketika jam sekolah di tambah. Sebab jika jam sekolah ditambah, jam istirahat pun secara otomatis akan ditambah.

“Lalu apakah ketika jam istirahat di tambah, si guru akan ikut mengawasi? Belum tentu, guru juga manusia dia butuh istirahat juga tentunya,” katanya.

Alasan yang kedua tambah Retno, banyak sekolah di Indonesia yang belum memiliki fasilitas untuk mendukung kebijakan tersebut. Fasilitas yang diperlukan, mencakup sarana tempat anak-anak belajar, seperti lapangan, lab, dan lain sebagainya.

“Kalau kita mencontoh beberapa negara di Eropa. Belajar itu sampai jam 16:00 istirahatnya 5 kali. Ganti pelajaran istirahat, ganti pelajaran istirahat, Jam-jamnya juga itu diatur, kalau pelajaran matematika, fisika, kimia atau yang berat-berat itu di awal. Kalau jam pelajaran ke dua seperti PKN Sejarah, kalau yang jam siang itu pelajaran ringan seperti seni. Dan disana fasilitas lengkap, ruang seni ada, ruang teater ada, ruang musik, ruang olahraga ada, nah sedangkan di Indonesia belum memadai fasilitas sekolahnya pun,” katanya membandingkan.

“Lalu kalau Perancis makan siang gratis, karena disediakan oleh negara, kalau di Indonesia ini kan tidak, banyak jajanan di Indonesia berdasarkan riset membuktikan kalau makanan di kita itu tidak sehat, dan kalau mereka sekokah sampai sore mereka harus bawa bekel, artinya ada tambahan biaya yang harus di  keluarkan oleh orang tua. Kalau orang tuanya mampu, kalau tidak gimana ? Lagipula tidak semua anak memiliki orang tua lengkap,” katanya membandingkan lagi.

Dia juga menyoroti sekolah yang selama ini menerapkan dua shift, pagi dan siang karena keterbatasan ruang kelas. Di sekolah seperti ini, full day school tak akan bisa diterapkan. “Masa shift kedua harus belajar sampai tengah malam, kan tidak mungkin,” katanya.

Oleh karena itu, Retno meminta Mendikbud mengkaji terlebih dahulu kebijakan untuk memperpanjang waktu belajar di sekolah ini. Kajian yang dilakukan termasuk meneliti kesiapan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. “Karena jika tidak, full day school bukan jawaban menyelesaikan persoalan di Indonesia,” tandasnya. (Restu)

Exit mobile version