NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Banguntapan Utara dan Kepala Sekolah MA Muhammadiyah Yogyakarta Abdul Quddus Zoher menilai ada kekuatan besar yang sengaja membenturkan lintas golongan dalam hal menanggapi sistem pendidikan yang terdapat dalam peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 th. 2017 (Pemendikbud). Seperti diketaui, Permen tentang hari sekolah itu telah menuai polemik di kalangan di masyarakat. Permen yang dimaksudkan sebagai penerjemahan Program Penguatan Pendidikan Karakter yang tercantum dalam Nawa Cita, dianggap berpotensi menimbulkan dampak buruk dan merugikan bagi Madrasah Diniyah serta tidak sesuai dengan kultur pendidikan yang telah berjalan selama ini.
“Kita memang sejak dulu terkotak-kotak, karena kita terjebak dalam hal simbol tertentu yang diklaim milik kelompok tertentu. Aku miris kondisi bangsa hari ini, kita selalu disibukan hal-hal yang tidak produktif seperti bicara soal perbedaan pendapat. Selalu kelompok tertentu mencari celah kesalahan kelompk lain dengan tujuan mengamankan kepentingan dan eksistensi organisasi dan golongan,” kata Zoher saat menjadi pemateri dalam Workshop Pendidikan “Memperbincangkan Kembali Pendidikan Indonesia: Upaya Memperkuat Peraturan Presiden No. 87 th. 2017 Tentang Pendidikan Karakter” yang diselenggarakan Jaringan Pemuda Nusantara (JPN) di Yogyakarta, Rabu (20/9).
- Mendikbud Akui Permen Full Day School Bisa Batal dengan Terbitnya Perpres
- Apa Itu Full Day School?
- Full Day School Bagus, Tapi Masih Terlalu Dini
- DPR Setuju Full Day School
- FDS Lumpuhkan Madrasah, Din Syamsuddin: Itu Salah Paham
- Rais Syuriyah PBNU Australia: FDS Jangan Bikin NU-Muhammadiyah Bertengkar
- Menteri Muhadjir: FDS untuk Menjadikan Bangsa Indonesia Mampu Bersaing
Menurut Zoher, pendidikan karakter dimulai dari rumah karena dalam hadits disebutkan orang tuanyalah yang akan menjadikan anaknya Yahudi, Majusi dan Nasrani (….faabawahu yuhawwidanihi, yumajjisanihi aw yunash-shiranihi, red). Jadi, kata Zoher, semua tergantung orang tuanya akan menjadikan anaknya penjudi, koruptur, suka tawuran dan perbuatan negatif lainnya.
Wacana tentang 5 hari sekolah dan 8 jam belajar yang kemudian dikenal dengan istilah full day school mendapat penolak luas dari masyarakat. Kebijakan Kemendikbud, Muhadjir Effendy ini dinilai sebagai upaya untuk menghapus madrasah diniyah yang selama ini telah berlangsung baik di seluruh penjuru negeri. Ormas NU sangat getol menolak kebijakan full day school.
“Ada tradisi mengajar di Jepang yang sangat menarik dan belum diterapkan di Indonesia. Setiap 10 menit sebelum mulai pelajaran semua anak ditanya kebaikan apa yang sudah dilakukan kemarin. Semua siswa menjawab: saya menemani ibu ke pasar, saya menemani kakak bersih rumah dan lain-lain. Hal ini menunjukan dan menuntut siswa harus berbuat baik setiap hari, semua anak mempunyai satu kata melakukan perbuatan baik setiap harinya, karena merasa punya tanggung jawab terhadap guru setiap hari harus menyampaikan perbuatan baik,” terang Zoher.
- PBNU Instruksikan Pengurus di Daerah Tolak Kebijakan Sekolah 5 Hari
- PBNU Tegaskan Kebijakan Full Day School Bergesekan Dengan NU
Menurutnya, implementasi menjadi poin penting yang harus dimaksimalkan pemerintah agar amanat yang terdapat dalam Perpres bisa berjalan maksimal.
“Konsep sudah terlalu banyak untuk kita diskusikan secara terus menerus, lihat saja pergantian kurikulum menyebabnya guru-guru dalam mengajar menyesuaikan kemampuan murid. Sekarang terpenting adalah bagaimana kebersamaan lintas golongan merealisasikan isi dari Perpres tersebut sehingga nilai pendidikan yang diterapkan sesuai cita-cita para pendiri bangsa ini,” sebutnya. (ed)
(Editor: Eriec Dieda)