Hukum

FSP BUMN Minta KPK Usut Dugaan Korupsi di PTDI

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua Harian Federadi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara (FSP BUMN), Prakoso Wibowo, menduga adanya potensi kerugian negara yang diakibatkan tidak profesionalnya direksi PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dalam mengurus perusahaan.

Menurut Prakoso, dugaan potensi kerugian negara tersebut mencapai Rp8 miliar dalam 24 proyek di PTDI. Selain potensi kerugian negara sebesar Rp8 miliar, Prakoso mengungkapkan, perusahaan plat merah itu juga akan terus merugi lantaran adanya kewajiban PTDI membayar denda akibat keterlambatan dalam pekerjaan.

“Dimana pada audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tahun 2015 ditemukan denda keterlambatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa di TNI AL (Angkatan Laut),” ungkapnya kepada wartawan, Jakarta, Kamis (9/3/2017).

Pada tahun 2011 lalu, Prakoso menjelaskan, TNI AL memberikan pekerjaan pengadaan Helikopter Bell 412EF tahap II dengan nilai Rp220 miliar ke PTDI. Dalam pekerjaan ini, PTDI sudah dibayar sebesar Rp212.415.954.199 atau sudah 96%. “Tetapi pekerjaan atau kemajuan fisik baru 20%,” ujarnya.

Menurut Prakoso, dari kontrak kerja sama pengadaan Pesawat Terbang atau Helikopter yang berasal dari Dana APBN untuk pemesanan Helikopter Bell 412 EP oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan), terdapat perbedaan penentuan imbalan (fee) kepada mitra penjualan PTDI. Padahal, helikopter yang dipesan berjenis sama dan pembelinya juga sama, yaitu Kemenhan, tetapi untuk pengguna memang berbeda, yaitu TNI AD dan TNI AL.

Baca Juga:  Mantan Guru PMP-Kn SMP Negeri Sapat Desak Kepsek Pelaku Pungli Dicopot dari Jabatannya

Yakni PTDI memberikan fee kepada BTP sebesar 5% dari total kontrak Helikopter Bell 412EP beserta perlengkapannya untuk TNI AD. Namun untuk fee pengadaan Helikopter Bell 412EP dan perlengkapan TNI AL, PTDI memberikan fee kepada BTP sebesar 7% dari total kontraknya. Akibatnya, denda yang harus dibayar oleh PTDI sebesar Rp.3.357.999.942.

“Uang negara mereka (PTDI) ambil atau terima, tapi seperti males-malesan untuk menyelesaikan pekerjaan pesanan TNI AL dan pada saat yang sama TNI AU juga memesan Helikopter Super Puma untuk memenuhi rencana strategis (renstra) pertahanan tahun 2009-2014. Tetapi realisasinya, TNI AU baru menerima sembilan dari 16 unit helikopter Super Puma yang dipesan,” kata Prakoso.

Walaupun TNI AU telah menerima 9 Helikopter Super Puma dari 16 unit yang dipesan, lanjut Prakoso, tapi pengirimannya tidak tepat waktu, sehingga mengganggu proses operasional. Sedangkan untuk sisa 7 unit lagi, TNI AU pun membiarkan saja hingga saat ini.

Prakoso menuturkan, tindakan Direksi PTDI yang memberikan fee kepada mitra penjualannya itu telah menimbulkan biaya lebih besar terhadap harga unit helikopter yang dibeli oleh Kemenhan dengan dana APBN. Sedangkan Kemenhan seharusnya dapat membeli langsung ke PTDI tanpa adanya perantara atau mitra penjualan, karena diduga harga yang ditawarkan ke Kemenhan itu sudah termasuk biaya fee untuk mitra penjualan PTDI.

Baca Juga:  Viral!!! Wartawan Geruduk SMAN 01 Tulungagung Ketua AWASI Angkat Bicara

Kemudian, Prakoso juga menyayangkan adanya perbedaan besaran biaya fee yang ditetapkan oleh PTDI untuk mitra penjualannya, karena seharusnya itu tidak terjadi. “PTDI semestinya memilih mitra penjualan yang menetapkan fee lebih rendah, terlebih untuk produk yang sama,” ungkapnya.

Dengan tindakan Direksi PTDI yang demikian itu, maka menurut Prakoso, patut diduga telah memberi keuntungan kepada orang lain, atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara.

“Direksi PTDI adalah Penyelenggara Negara, sebagaimana dikualifikasi oleh ketentuan Pasal 2 UU 28/1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,” ujarnya tegas.

Bahwa sangat jelas Direksi PTDI masuk pejabat lain yang penyelenggara negara dalam penjelasan Pasal 22 UU 28/1999, “Yang dimaksud dengan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis adalah   pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara,” katanya.

Baca Juga:  Tentang Kerancuan Produk Hukum Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden

Jika dugaan tersebut terbukti benar dan telah meyebabkan kerugian negara serta diduga telah terjadi tindak pidana korupsi, maka Prakoso menyebutkan, Direksi PTDI bisa dijerat dengan pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 5 angka 4 juncto Pasal 21 UU 28/1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

“Karena itu Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu mendesak KPK dan aparat penegak Hukum untuk turun dan menginvestigasi adanya dugaan tindak pidana korupsi di PTDI yang merugikan negara. Dan untuk menunjukan desakan ini, Kemarin pengurus FSP BUMN Bersatu sudah bertemu dengan KPK Terkait dokumen dokumen dugaan korupsi di PTDI,” ungkapnya menambahkan.

Reporter: Rudi Niwarta

Related Posts

1 of 419