Budaya / SeniEsaiKolom

Esai Sejarah: “Devide Et Empera ala Kolonial di Era Digital”

Devide Et Empera ala Kolonial di Era Digital. (ILUSTRASI: NUSANTARANEWS.CO)
Devide Et Empera ala Kolonial di Era Digital. (ILUSTRASI: NUSANTARANEWS.CO)

Oleh: Bagas Adi Ristanto

NUSANTARANEWS.CO“Indonesia adalah sekeping surga yang diturunkan Tuhan ke muka bumi. Terbentang antara Sabang sampai Merauke, antara Miangas sampai Pulau Rote, dengan 18.306 pulaunya.

Jika setiap pulau kita kunjungi, perlu 150 tahun untuk menjelajahinya-atau selama dua kali lipat usia harapan hidup orang Indonesia. Jadi, setidaknya butuh hidup dua kali untuk bisa menamatkan, menelusuri seluruh pulau di negeri ini, yang di dalamnya hidup 250-juta manusia yang terdiri dari 1,342 suku bangsa.

Jaga dan rawat keutuhannya agar tak pecah berkeping-keping. Karena kekayaan yang paling besar di Indonesia adalah kebhinekaanntya. Bhineka (beragam), bukan untuk diseragamkan.

Jadi, sekali lagi, Indonesia itu mahal dan teramat berharga karena kebhinekaannya. Sebab, tidak bhineka, bukan Indonesia.”

(Maman Suherman)

Catatan di atas memberikan gambaran romantis mengenai betapa kaya dan berharganyanegeri kita tercinta. Kekayaan alam kita sejak dahulu telah menjadi magnet, yang kemudian mengantarkan kita pada kolonialisme Belanda. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya,salah satu cara yang paling efektif adalah dengan memanfaatkan kebhinekaan yang ada di nusantara melalui strategi devide et impera.

Baca Juga:

Strategi tersebut diterapkansebagai upaya untuk mencegah terjadinya persatuan, yang merupakan momok menakutkan bagi Belanda. Kekhawatiran Belanda kemudian terbukti,  persatuan di nusantara telah menciptakan kekuatan besar yang diimplementasikan dalam bentukpergerakan nasional yang sangat merepotkan pemerintah kolonial Belanda. Ironisnya, politikdevide et impera, yang dahulu hanya dipergunakan oleh bangsa asing untuk menciptakan perpecahan di tanah jajahannya, saat ini justru dilakukan oleh bangsa sendiri. Indonesia, sekeping surga yang tercipta dari kebhinekaan yang disatukan, sedang dihadapkan pada sekelompok kepentingan yangtega menciptakan “neo devide et impera” di tanahnya sendiri, hanya untuk kepentingan egois dari golongan dan kelompoknya. Jika dibiarkan, fenomena ini dapat menghancurkan sendi-sendi kebhinekaan yang merupakan kekayaan paling berharga yang dimiliki oleh bangsa ini. Untuk itu, marilah kita menggalidevide et impera dari akarnya, sehingga kita bisa menemukan cara untuk melawanya.

Devide Et Impera Era Kolonial Belanda

Istilah devide et imperaatau yang lebih dikenal sebagai politik adu dombaini mucul pertama kali ketika bangsa Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di Indonesia.KataDevide et Impera dapat diartikan sebagai kombinasi dari strategi politik, militer,dan ekonomiyang bertujuan untuk mendapatkan dan memperoleh kekuasaan dengan cara memecah belah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga lebih mudah untuk ditaklukan. Cara ini ternyata memang cukup efektif, terbukti Belanda mampu bertahan menguasai Indonesia hingga 350 tahun lamanya.Efektifitas pelaksanaan politik devide et impera di nusantara bukan terjadi secara kebetulan, melainkan karena seluruh prosesnya dilakukan secara sistematis dan terencana. Banyak ilmuan, ahli riset, dan juga ahli di bidang sosiologi terbaik dari Belanda yang telah dipekerjakan untuk meneliti watak atau pun ciri khas dari masyarakat Indonesia sehingga Belanda pada akhirnya memilih strategi tersebut untuk dapat menguasai Indonesia.

Baca Juga:  Mengulik Peran Kreator Konten Budaya Pop Pada Pilkada Serentak 2024

Cerita kelam yang lahir dari politik devide et impera Belanda terjadi di tanah Minangkabau pada awal dekade 1800an. Perang Padri tercatat sebagai salah satu perang  saudara terbesar di Nusantara yang terjadi sebagai akibat perbedaan paham dan pandangan agama dan tradisi yang kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk merebut Minangkabau secara keseluruhan. Selanjutnya, nasib yang sama juga menimpa Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Setelah wafatnya Sultan Agung tahun 1645, Kerajaan Mataram berada ditangan raja yang tidak cakap, situasi ini dimanfaatkan VOC menanamkan kekuasaannya melalui Perjanjian Giyanti, yang membagi Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakart dan Kesunanan Surakarta. Selain itu, Kerajaan Banten Juga berhasil dikuasai Belanda, setelah Sultan Ageng Tirtayasadi diadu domba dengan putranya, Sultan Haji. Kerajaan Goa Tallo jugabernasib sama,  setelah Sultan Hasanuddin diadu domba dengan Aru Palaka (Raja Bone), melalui perjanjian Bongaya, akhirnya Makasar jatuh ke tangan Belanda. Setelah merdeka, Belanda masih kembali ke Indonesia dan sekali lagi menerapkan siasatdevide et imperadengan membentuk RIS, yang terdiri dari BFO dan RI. Akan tetapi upaya tersebut  mengalami kegagalan, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menginginkan agar RIS dibubarkan dan kembali ke NKRI. Hal ini menunjukan, sebesar apapun upaya yang dilakukan oleh pihak asing untuk memecah belah bangsa, tidak akan pernah berhasil jika masyarakatnya memiliki komitmen yang kuat untuk mempertahankannya. Namun , bagaimana jika upaya devide et impera justru dilakukan oleh bangsa sendiri?

Neo Devide Et Impera

Devide et impera era Belanda memang sudah berlalu sejak puluhan tahun yang lalu, namun saat ini Indonesia justru dihadapkan pada devide et impera era baru (neo devide et impera) yang ironisnya dilakukan oleh bangsa sendiri denganmemanfaatkan kemajuan teknologi digital, sehingga menimbulkan dampak yang lebih luas dalam waktu yang sangat cepat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghilangkan batasan-batasan teritorial, sehingga informasi dapat menyebar keseluruh penjuru dunia dalam hitungan detik. Jika informasi yang disampaikan adalah informasi yang benar, maka hal itu akan sangat bermanfaat. Namun bagaimana jika informasi yang bisa tersebar dalam hitungan detik itu justru berita bohong (hoax) yang mengandung ujaran kebencian (hate speech), dan pendeskriditan SARA? Tentu itu akan menjadi hal yang sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa Indonesia.

Ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain yang meliputi berbagi aspek seperti ras, warna kulit, gender, kewarganegaraan, agama dan lain lain. Biasanya Ujaran kebencian penyebarannya bisa melalui perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang sehingga dapat menimbulkan munculnya tindakan kekerasan ataupun prasangka yang datang dari pihak pelaku ataupun korban atas adanya tindakan ujaran kebencian tersebut. Kebanyakan dari penerapan ujaran kebencian biasanya menggunakan media sosial. Selama ini ujaran kebencian dianggap hanya berdampak pada pelanggaran hukum saja, akan tetapi jangan salah bahwa ujaran kebencian itu efeknya sangat dahsyat yaitu dapat menggerakan massa hingga memicu konflik dan juga pertumpahan darah.

Baca Juga:  Budaya Pop dan Dinamika Hukum Kontemporer

Pada era kolonial politik devide et impera dilakukan dengan cara  mengikat perjanjian dengan salah satu pihak yang bertikai untuk memperdalam jurang perpecahan, untuk kemudian menguasai secara keseluruhan, dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Berbeda dengan saat ini, dimana para pelaku devide et impera memanfaatkan kemajuan teknologi digitalberupa media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter sebagai sarana untuk mengadu domba.Tuntutan globalisasimemang telah menempatkan internet dan media sosial sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat modern. Hal ini terlihat dari hasil survei APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) yang menyatakan bahwa jumlah pengguna Internet di Indonesia tahun 2016 adalah 132,7 juta user atau sekitar 51,5 % dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 256,2 juta.  Sedangkan konten media sosial yang paling banyak dikunjungi adalah Facebook sebesar 71,6 juta pengguna atau 54 % dan urutan kedua adalah Instagram sebesar 19,9 juta user atau 15 %,  selanjutnya  jumlah pengguna Twitter sebanyak 7,9 juta pengguna atau 5,5 %.

Melihat banyaknya pengguna internet dan media sosial di Indonesia maka tidak mengherankan apabila media inilah yang dipilih oleh pelaku devide et impera untuk menciptakan perpecahan, sehingga saat inidi berbagai media sosial begitu mudah dijumpai konten-konten hoax, hate speech, maupun SARA dalam berbagai bentuk, yang sengaja disebar luaskan oleh kelompok kepentingan tertentu. Media sosal merupakan sarana yang mudah dan murah untuk menciptakan perseteruan, dengan sekali unggah jutaan orang dapat mengakses konten yang berpotensi untuk merusak kebhinekaan dalam hitungan detik. Kelompok ini berusaha untuk meracuni pikiran masyarakat dengan berbagai informasi yang sangat mencederai kebhinekaan kita, dan dapatberujung pada munculnya sikap intoleransi. Intoleransi merupakan sikap yang sangat mengganggu, apalagi di sebuah negara yang terbentuk dari kebhinekaan, seperti Indonesia. Berdasarkan hasil survei melalui sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2010, jumlah penduduk indonesia adalah 237.641.334 jiwa. Banyaknya jumlah penduduk di Indonesia yang dilatar belakangi oleh keanekaragaman suku bangsa, adat istiadat, dan agama sebenarnya merupakan kekuatan tak tertandingi. Namun ternyata kekuatan kata-kata, yang memelintir kebhinekaan menjadi sebuah konflik,  mampu merusak dan menghancurkan itu dengan sangat mudah. Terlebih  jika upaya pengerusakan itu dilakukan secara sistematis dan terencana.

Sistematika devide et impera melalui media sosial baru diketahui secara gamblang oleh masyarakat luas setelah terungkapnya sindikat Saracen yang begitu menghebohkan. Saracen merupakan sindikat penyebaran berita hoax, konten tulisan berbau SARA, dan juga ujaran kebencian. Dari hasil penyelidikan forensik digital, terungkap bahwa sindikat kelompok Saracen ini beraktivitas dengan menggunakan grup facebook. Diantara yang pernah terungkap adalah Saracen News, Saracen Cyber Team, dan Saracen News.com yang telah beroperasi untuk menggalang lebih dari 800.000 akun. Selanjutnya pelaku mengunggah konten provokatif bernuansa SARA dengan mengikuti perkembangan trend di media sosial. Biasanya unggahan tersebut dapat berupa kata kata, narasi ataupun meme (gambar lucu) yang tampilannya mengarahkan opini pembaca untuk berpendapat negative terhadap kelompok masyarakat lain. Selain saracen, dari data yang telah dirilis oleh kementerian Komunikasi dan Informatika, di Indonesia setidaknya terdapat sekitar 800 ribu situs penyebar berita hoax.

Baca Juga:  Dampak Budaya Pop Pada Ekosistem Ekonomi Kreatif

Pabrik informasi sesat yang  yang dibuatoleh para aktordevide et impera dengan media digital saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Meskipun pemerintah telah berupaya untuk memberangus akun-akun tersebut dengan terbitnya UU IT, faktanya saat ini akun-akun sejenis masih tumbuh subur di berbagai media sosial. Untuk itulah, kita sebagai pengguna media sosial harus membekali diri dengan pengetahuan yang cukup supaya tidak menjadi korban penggiringan opini. Jangan sampai kita terpengaruh, bahkan menjadi bagian dari sindikat, hanya dengan ikut memposting konten yang mereka buat tanpa berpikir.Kita harus menjadi warganet yang cerdas dan bijak, sehingga tidak terjebak pada ketidaktahuan yang bisa berujung celaka. Agar mengetahui rambu-rambu dalam menggunakan internet dan media sosial,setidaknya pelajarilah UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU atas UU No. 11 Tahun 2006 tentang informasi dan transaksi elektronik agar kita lebih berhati-hati saat menerima, menanggapi, serta menyebarkan segala informasi yang kita jumpai. Ketika kita mendapatkan informasi dari media sosial dan ingin menyebarkan kembali, maka pastikan informasi tersebut benar dan bermanfaat,meskipun benar jika itu tidak bermanfaat jangan sebarkan. Karena menurut hadist Bukhari Muslim “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, katakanlah kebaikan atau diamlah”. Selanjutnya, kita dapat melaporkan situs-situs di website ataupun akun-akun dimedia sosial yang di dalamnya mengandung konten yang terindikasi sebagai gerakan devide et impera yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

Devide et imperatelah berkembang mengikuti zaman, baik dalam segibentuk media, maupun dampaknya. Era Belanda, devide et impera hanya berdampak pada daerah yang menjadi sasaran kekuasaannya dan membutuhkan waktu yang lama. Berbeda dengan devide et impera di era digital, dimana dampaknya jauh lebih dengan waktu yang sangat singkat. Saat inidevide et imperadilakukan dengan cara menyebarkan produk berita bohong yang dibumbui dengan ujaran yang mengandung ujaran kebencian dan diskriminasi SARA, kemudian disebarkan secara sistematis melalui berbagai media sosial. Ironis memang, karena kemajuan teknologi yang seharusnya dimanfaatkan untuk hal yang produktif justru dipergunakan sebagai alat untuk melemahkan sendi-sendi kebhinekaan. Untuk itu mari kita lawan hoax, hate speech, dan diskrimanasi SARA dengan menjadi warganet yang cerdas, yang tidak mudah terhasut oleh opini yang menyesatkan. Make sure before sharing, karena“Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tetapi satu telunjuk (tulisan) sanggup menembus jutaan kepala”(Sayyid Quthb).

*Bagas Adi Ristanto atau sering di kenal dengan panggilan Bagas, lahir di kota Purbalingga, 03 Agustus 1999. Sekarang ini di tahun 2018 ia genap berusia 19 tahun dan sekarang sedang menempuh pendidikan S1 nya di jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Purwokerto.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,153