NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa, pada prisipnya di era revolusi keempat, perubaha yang dibawa adalah peningkatan efisiensi yang setinggi-tingginya dalam setiap tahapan rantai nilai proses industri. Setiap tahapan manufaktur di era digital saat ini, tambahnya, harus menghasilkan nilai tambah yang tinggi.
“Jika tidak, maka tahapan tersebut harus dihilangkan. Sehingga di era Industri 4.0 memiliki rantai nilai yang seramping-rampingnya dengan peningkatan nilai tambah produk yang setinggi-tingginya dan dengan kualitas yang lebih baik,” kata Airlangga dalam keterangan tertulisnya, sebagaimana dikutip NUSANTARANEWS.CO, Jakarta, Selasa (17/4/2018).
Baca:
- Ketum PPP Sebut Revolusi Industri 4.0 Bukan Ramalan Menakutkan
- Inkubasi ‘Startup’ Berbasis Inovasi Kemenperin Perkuat Kesiapan Memasuki Industri 4.0
- Ekonomi Digital Menjadi Persiapan Indonesia Masuki Revolusi Industri 4.0
- Revolusi Industri 4.0, Jokowi: Semuanya Akan Berubah
- Indonsesia Sudah Berkemas Hadapi Revolusi Industri 4.0
Airlangga menyampaikan, dalam setiap tahapan revolusi indutri mulai dari yang pertama hingga saat ini memiliki tantangan dan dampak berbeda. Revolusi industri pertama pada abad ke-18 misalnya, ditandai dengan penemuan mesin uap untuk upaya peningkatkan produktivitas yang bernilai tambah tinggi.
“Misalnya di Inggris, saat itu, perusahaan tenun menggunakan mesin uap untuk menghasilkan produk tekstil,” kata Airlangga.
Tetapi di Indonesia, lanjut dia, saat ini masih ada yang menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Selain itu, di perusahaan rokok kretek, masih menggunakan mesin lintingan tangan.
“Jadi, semua itu menggunakan teknologiyang bersifat padat karya. Pemerintah mempunyai keberpihakan untuk melindungi teknologi tersebut, terutama untuk menyerap tenaga kerja,” jelas Airlangga.
Pada revolusi industri kedua pada tahun 1900-an, terangnya, ditandai dengan ditemukannya tenaga listrik. Menurut Menperin, pada fase ekonomi ini, beberapa industri di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup signfikan, seperti sektor agro dan pertambangan. “Jadi, revolusi yang kedua ini terkait dengan teknologi di lini produksi,” ucapnya.
Selanjutnya, kata Airlangga, di era revolusi industri ketiga, saat otomatisasi dilakukan pada tahun 1970 atau 1990-an hingga saat ini karena sebagian masih berjalan.
“Jadi pada saat memasuki revolusi industri ketiga, memang penyerapan tenaga kerja masing-masing di industri sudah berbeda. Sehingga, ini kita bedakan ada yang kelompok industri labour intensive,” ujar Airlangga.
Sedangkan revolusi industri keempat, sambung Airlangga, efisiensi mesin dan manusia sudah mulai terkonektivitas dengan internet of things. “Hari ini kita berbicara otomatisasi yang berbasis pada data dan internet, dan ini yang dilakukan di era Industri 4.0,” ungkapnya.
“Kalau dahulu, di dalam manufaktur, produsen dan konsumen terpisah. Tetapi saat ini, memungkinkan adanya co-creation antara pembeli dan produsen yang dapat menumbuhkan mikromanufaktur,” imbuhnya.
Airlangga juga menjelaskan, perbedaan penerapan Industri 3.0 dengan Industri 4.0 adalah dari faktor penggeraknya. Industri 3.0 digerakkan oleh profit, sedangkan 4.0 lebih didorong oleh harga dan biaya. “Bedanya Industri 3.0 dengan 4.0 adalah value chain-nya. Banyak produk-produk yang dari cost itu tentunya berujung pada value added dan supply chain,” terangnya.
Pewarta: Roby Nirarta
Editor: M. Yahya Suprabana