NUSANTARANEWS.CO – Semasa kecil Aida kerap bermimpi masuk ke dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia nyatanya. Dunia yang indah, menyenangkan, penuh petualangan, leluasa tanpa aturan-aturan yang membelenggu jiwanya, dan terutama di sana adalah dunia yang ajaib. Satu-satunya dunia yang dapat meredakan hal-hal yang berputar-putar di dalam kepalanya sebagai anak kecil.
Di dalam dunia itu, Aida dapat berlarian dengan puas di dalam hutan yang sunyi, yang hanya dipenuhi kupu-kupu warna-warni di antara pepohonan dan bunga-bunga cantik yang tumbuh liar. Juga tupai yang berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.
Aida juga senang bermain tanah di bawah rumah pohon. Tanah yang dicampurnya dengan air itu membuat tangannya lengket. Pada saat seperti itu, Aida akan melihat tangannya dengan teliti dan lumpur itu sedikit demi sedikit akan meleleh dan berganti dengan gambar seorang lelaki tersenyum kepadanya. “Papa…” Aida memanggilnya lirih.
Sesekali, jika mau, Aida bahkan bisa melompat lalu terbang dari hutan ke sungai, melompati gunung-gunung yang tinggi, lalu melompat lagi agar dapat mencapai bibir pantai di ujung lautan luas yang di mata Aida sedikit menantang karena gelombangnya yang kadang naik bergulungan.
Tapi toh Aida tahu, di dunia ini dia bisa melakukan apa saja. Tinggal mengatur dan mengalahkan pikirannya sendiri, Aida dapat melompati lautan di dunia ini dengan sangat mudah. Entah sejak kapan, Aida mulai tahu di dunia ini semuanya tergantung pada pikirannya.
Dan semenjak berhasil sampai ke bibir pantai dengan pasir putih itu, Aida terbangun dalam keadaan kamarnya yang kacau. Daun-daun, tanah, akar-akar pohon yang berada di hutan, juga bunga edelweis yang dilihatnya saat melompati gunung dalam mimpinya tadi berserakan di atas lantainya yang berwarna putih.
Kedua bola matanya yang kebiruan itu juga menangkap air menggenang di samping ranjangnya. Gadis dengan rambut hitam kecoklatan mengombak itu sedikit terlonjak kaget menemukan kedua kakinya yang kecil juga penuh dengan pasir. Pasir putih. Pasir yang sama saat kedua kakinya itu menjejak bibir pantai itu. Bibir pantai di dalam mimpinya. Di dalam dunianya yang ajaib. Di mana tidak ada suara mama yang kerap memarahinya.
Mama masuk tanpa menggedor pintu saat pikiran Aida belum selesai mengurai semua itu. Aida melihat mamanya marah lebih dari biasanya. Sambil menunjuk-nunjuk lantai yang penuh dengan daun, akar pohon, tanah dan buraian bunga edelweis. Juga air yang menggenang di samping ranjangnya. Tapi mulut mamanya langsung membisu, saat melihat pasir putih memenuhi kedua kaki Aida, putri semata wayangnya.
Mama mendekati Aida dengan mata yang penuh penasaran. Lalu cepat-cepat memeluk Aida sambil berbisik pelan: “Ceritakan apa yang kau lihat, Sayang. Ceritakan pada mama, Sayang!”
Mama menciumi wajah Aida rata lalu menggendongnya pergi dari kamar menuju kamarnya sendiri. “Aida janji tidak akan meninggalkan mama ya?” Aida mengangguk, meski sesungguhnya tidak mengerti. Lalu Aida memerhatikan kedua mata mama yang sembab menatap bingkai lukisan pohon yang menggantung di dinding kamar.
“Mama, apa papa akan pulang?”
“Mama tidak tahu, Sayang. Mama tidak tahu.”
Mama terus terisak dan memeluk Aida semakin erat. Semenjak itu, mama tidak pernah menjadi pemarah lagi.Tapi Aida belum mengerti.
***
Semenjak malam itu pula, Aida tidur dengan mama. Tidak seperti dirinya yang akan terbangun sepanjang malam, mama cepat sekali tertidur. Dalam malam yang sunyi itu, Aida sangat tertarik menatap pohon lebat dalam bingkai lukisan yang tergantung di dinding kamar. Aida menatap bingkai lukisan pohon itu lekat-lekat sampai tertidur.
Malam ini Aida juga bermimpi. Dalam mimpinya, Aida melihat dari pohon di dalam bingkai lukisan di dinding kamar itu muncul seekor tupai yang sangat lucu. Aida terkejut saat tupai itu berbicara padanya. Tupai dengan suara yang menggemaskan itu bertanya apakah Aida ingin bertemu papa?
Aida melihat dirinya duduk di pinggir ranjang dan mengangguk mantap kepada si tupai. “Ke sinilah!” kata si tupai lagi sambil memasukkan tubuhnya ke dalam rerimbun dedaunan pohon besar itu dan menghilang begitu saja. Aida melangkah meninggalkan ranjang dan masuk ke dalam bingkai.
Ternyata, pohon itu adalah pintu masuk menuju hutan belukar yang selama ini dilihatnya dalam mimpi-mimpinya. Pelan-pelan, di antara akar belukar di bawah pohon yang sangat tua itu kaki kecil Aida melompat-lompat masuk ke hutan. Gaun tidurnya yang berwarna putih bunga-bunga, naik-turun seirama lompatan ceria gadis kecil itu.
Aida lekas naik ke rumah pohon yang berada di bagian tengah hutan. Aida girang dan sedikit terkejut melihat buku-buku banyak sekali di rumah pohon. Di dalam rak yang mengililingi dinding-dinding kayu rumah, juga berserakan di lantai.
Mata Aida berganti memayar sebuah bingkai lukisan yang menggantung di salah-satu sudut. Aida mendekat pelan. “Itu rumahku,” gumamnya melihat lukisan rumah di dalam bingkai. Aida mencoba menyentuhnya, dan segera menarik tangannya kembali karena tangan kanannya menembus lukisan yang ternyata juga ajaib itu. Dada Aida berdebar menatap lukisan itu. Matanya cemerlang memikirkan suatu hal. Merasa senang, Aida masuk ke dalam lukisan itu sambil memikirkan kamar mama.
“Aida!” mama berteriak dan segera memeluk tubuh Aida yang muncul dari bingkai lukisan pohon di dinding kamar.
“Kamu tidak apa-apa, Sayang?” mama terlihat cemas sambil memandangi wajah Aida dan seluruh tubuhnya.
Aida mengangguk. “Jangan pergi lagi, Sayang. Jangan pergi lagi!”
“Aida tidak bermimpi, Ma?”
“Tidak, Sayang. Aida tidak bermimpi.”
“Apa papa juga pergi ke sana?”
“Iya, Sayang. Papa pergi ke sana dan tidak pernah kembali lagi.”
“Tapi Aida kembali, Mama. Aida pulang.”
“Tapi suatu saat, Aida tidak akan diijinkan kembali.”
“Siapa yang tidak mengijinkannya, Mama?”
Mama menjawab pertanyaan Aida dengan tangisan sambil terus memeluk Aida erat.
***
“Apa yang kamu tahu dari pikiran Albert Einsten bahwa imagination more important than knowedge?”
“Ya, aku rasa seperti itu. Imajinasi memang bisa membawa kita mengelilingi dunia daripada pengetahuan.”
“Ya, sedikit lagi!”
“Maksudmu?”
Suara bayi menangis. Perempuan itu mengangkat bayinya dari box ke kedalam pelukannya.
“Aku tidak hanya akan mengelilingi dunia. Aku akan masuk ke dunia yang belum pernah dijejaki seorang manusia pun,” lelaki itu berhenti sebentar tampak berfikir, “Oh, tentu saja selain Einstein sendiri.” Lelaki itu tersenyum. Matanya bersinar.
“Apa yang kau katakan, Sayang?” bayi itu telah berhenti menangis. Matanya cemerlang di malam yang sangat larut.
“Ya. Apa yang dikatakan Einstein tidak sedangkal apa yang ditangkap oleh manusia selama ini. Sesungguhnya Einstein memberi kode kepada kita.”
“Kode? Kita?”
“Ya, kita. Kita manusia. Dan aku telah memecahkan kodenya.”
“Jadi, Kamu?” suara perempuan itu tercekat, matanya seakan keluar. Sementara sang lelaki terus saja menyungging senyum.
“Tapi aku tidak mau kamu pergi tanpa pamit seperti tiga hari yang lalu,” akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut perempuan itu setelah sedikit dapat menguasai diri.
Lelaki itu mendekat dan mencium kening perempuan itu, juga bayi mereka. “Ya, maafkan aku. Aku benar-benar lupa segalanya karena harus sangat fokus,” katanya sambil menunjuk-nunjuk kening dengan jari telunjuknya sendiri.
“Dan….liontin menara Eiffel itu benar-benar kau beli dari Paris?”
Lelaki itu tersenyum dan mengangguk berkali-kali.
“Berapa tempat yang telah kamu datangi?”
“Baru tiga ratus enam puluh tempat dari seratus dua puluh satu Negara”
“Apa?” perempuan itu terkejut sampai berdiri dari ranjang. “Hanya dalam tiga hari?”
Lelaki itu tersenyum dan berbisik di telinga istrinya, “Dan aku telah menemukan dunia itu. Sedikit lagi aku bisa menembusnya…”
***
“Hanya dua hari dari itu, papamu berhasil menembusnya. Semenjak itu dia sangat jarang di rumah. Setiap kali dia kembali, dia akan membuat rumah kotor dan kacau.”
“Terkadang dia akan kembali dengan membawa tanah dan semak belukar. Terkadang dia kembali dalam keadaan tubuhnya penuh pasir putih. Pernah juga, dia membuat rumah ini banjir dan semua perabot rumah mengambang di atas air seperti mengambng di atas lautan!”
“Mama tidak pernah bisa ikut dengannya karena mama payah untuk fokus, apalagi mengatur pikiran dalam satu titik pusat seperti kata papamu. Setiap mama berusaha, mama selalu gagal. Tapi tidak dengan Aida.”
Ruang tamu yang hangat dengan penerangan berwarna orange itu hening sekejap.
“Ma, dua malam lalu aku bertengkar dengan Aida.”
“Kau bertengkar dengan istrimu?”
Lelaki itu hanya menunduk dalam, “dan semenjak malam itu Aida pergi dari rumah dan aku kira dia berada di sini. Aku melihatnya malam itu Aida masuk ke rumah ini!”
“Dua hari ini Aida tidak ada di sini!” suara mama mulai cemas.
Lelaki itu semakin menunduk. “Semua teman-temannya tidak mengetahui keberadaannya. Aida juga tidak membawa handphonennya, Ma…”
Air mata perempuan itu mulai jatuh.
“Ma, aku akan membawa pulang Aida. Ma, katakan bagaimana caranya.”
“Kau harus membawa anakku pulang!”
“Aku berjanji akan membawa anak dan cucu mama kembali pulang! Katakan, Ma.”
“Cucuku?”
“Ya, Aida hamil, Ma…”
Perempuan itu hening di tempat duduknya. “Pikiranmu!” suara mama pelan tapi tegas.
“Jangan kalah dengan imajinasimu. Kendalikan imajinasimu. Temukan anak dan cucuku segera!”
Perempuan itu meninggalkan ruang tamu, menaiki tangga menuju kamarnya.
Malang, 23 November 2016
Halimah Garnasih, lahir di Malang. Membaca dan menulis adalah kekasih. Jatuh cinta pada sastra, filsafat, wacana perempuan, dan kemanusiaan. Sedang sibuk mengurai misteri jodoh di muka bumi.
_____________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.