Penyidik bagi-bagi 86, sampai bongkok pun takkan pernah perkara korupsi Condensat (minyak mentah) naik ke P21 (penuntutan). Itu asumsi terakhir, sejak saya bertemu Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Aditio, yang orang Sumenep, bersama Irwansyah Nasution, Dewan Penasihat LPBH PBNU, bulan lalu.
Tadinya saya pikir Jampidsus yang korup, sehingga berkas itu tak kunjung P21. Tapi ketika saya tanyakan ke Aditio, yang baru menjabat sebulan, malah tegas sangat siap mengeksekusi berkas itu jika dilimpahkan oleh Bareskrim.
Ia menunjuk berita yang diangkat Kisman, wartawan Majalah Forum. Kisman sendiri menyerang Jampidsus yang korup, bukan Bareskrim sebagai biang tak naiknya kasus yang ditangani Jenderal Buwas 2,5 tahun lalu itu ke pengadilan. Sudah 5 kali dikembalikan berkasnya oleh Jampidsus, katanya. Dramaturgi main pimpong, besar sekali 86 di situ! Hitung saja dari nilai kerugian keuangan negara tadi. Waow, kaya raya penyidik.
Negara memang hanya dihadiahi bangkrutnya, dengan jumlah kerugian Rp 35 triliun, 16 kali lebih besar daripada kerugian keuangan negara pada korupsi e-KTP. Inilah kerugian korupsi terbesar yang pernah ada di Indonesia, lebih dari cukup untuk biaya nyapres dua kali.
Kapolri Jenderal Profesor Tito Karnavian harus turun tangan. Ini bukan soal Perkap, KUHP, KUHAP, dan teknik UU Tipikor, Tapi korupsi raksasa yang didramaturgi. Perlu diingat gara-gara masalah begini Densus Tipikor ditolak tiga bulan lalu. Yaitu, korupsinya pindah dari pelaku ke penyidik.
Sinyalemen Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman bahwa tersangka Honggo Hendratmo sengaja dibiarkan Bareskrim melarikan diri agar kasus itu tak bisa P21. Dan, P21 tapi tak dilimpahkan.
Korupsi condensat berangkat dari persetujuan jatah condensat untuk kilang TPPI tanpa proses tender, ditetapkan dengan keputusan Kepala BP Migas bernomor KPTE – 20 / BP00000/2003- SO tertanggal 15 April 2003. Terang benderang delik korupsinya. Berkas buktinya di Pidsus Kejakgung, tersimpan di sejumlah troli sekamar penuh lapis dua. Bukti lebih dari cukup. Arminsyah, Jampidsus sebelumnya, menundanya hingga 5 kali, yang ketika itu Honggo belum minta izin berobat ke Singapura. Nyapres saja Pak Bro.
Belakangan Honggo Wedratmo yang berasal dari Kanton Cina ini, dinyatakan menjalani perawatan di Singapore. Kemarin ketahuan, otoritas Singapura menyatakan tak ada Honggo di Singapore. Jadi, Bareskrim dan Kejakgung bohong besar. Honggo disuruh kabur dikatakan berobat. Dikatakan di Singapore padahal disuruh sembunyi. Lalu dibuat alasan menunda pelimpahan kasus itu ke pengadilan.
Dua tersangka lainnya ialah Raden Priyono dan Djoko Harsono, orang Jawa. Belum disuruh kabur. Mau kabur kemana? Tapi berkasnya displit dengan Honggo, toh juga tak dilimpahkan ke Kejakgung. Jelas, yang korup adalah penyidik!
Secara hukum, tak ada alasan karena Honggo sembunyi, lalu berkas tak dilimpahkan. Sebenarnya KPK memiliki hak mengambil alih kasus itu. Cuma kuatir KPK tak menemukan mens rhea (niat jahat) di situ seperti dalam kasus Ahok. Lebih konyol.
*Djoko Edhi Abdurrahman, penulis Anggota Komisi Hukum DPR, Wasekjen DPP KAI, Wasek Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum, PBNU