NUSANTARANEWS.CO – Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menyebut Agus Martowardojo yang kini menjabat Gubernur Bank Indonesia sebagai salah satu aktor yang diduga berperan penting memuluskan dugaan korupsi e-KTP.
Menurut Nazar saat usai diperiksa KPK saat itu, Agus menandatangani proyek e-KTP dengan sistem kontrak tahun jamak atau multiyears. Tanda tangan itu rupanya tidak gratis, Agus diduga menerima fee. Argumentasi Nazar saat itu diperkuatnya dengan kemunduran Sri Mulyani menjadi menteri keuangan.
Perihal tersebut Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo membantahnya. Agus menjelaskan bahwa dirinya menjabat sebagai menteri keuangan menggantikan Sri Mulyani pada 20 Mei 2010. Di dalam file kata dia, tidak ada penolakan dari Sri Mulyani terkait pengajuan multiyears contract.
“Yang ada ketika multiyears contract mau diajukan ke menkeu diajukan 21 oktober 2010 dan di tanggal 13 Desember 2010 ditolak oleh saya. Karena yang diajukan bukan multiyears contract tapi multiyears anggaran,” katanya.
Penolakan kata dia lantaran di dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang sistem keuangan negara anggaran tidak boleh multiyears dan harus ada persetujuan menteri keuangan.
“Jadi saya tegaskan mungkin ada pembahasan atau diskusi tapi kalau mengatakan multiyears pertama kali ditolak oleh saya sebagai menkeu pada 13 desember 2010,” katanya.
Sebenarnya lanjut dia jika bicara perihal multi years contract tidak ada yang salah. Hal tersebut boleh saja disetujui oleh menteri keuangan, karena memang menteri keuangan memiliki kewenangan untuk itu.
“Asal pengguna anggaran menerima mata anggaran dan merasa mata anggaran ini kalau dia mau kerjakan itu tidak bisa selesai dalam waktu satu tahun dan projectnya satu kesatuan yang tidak bisa dipecah-pecah jadi dia mengajukan multiyears contract dan mengajukan ke menteri keuangan,” katanya.
Kemudian saat terima kontrak itu menteri keuangan akan mengevaluasi antara lain didukung oleh adanya pandangan dari kementerian atau lembaga yang memahami teknis proyek itu, yang bisa menyatakan proyek itu lebih dari 12 bulan.
“Kemudian kementerian yang minta multiyears itu harus meyakini bahwa selama kontrak berlangsung akan menyediakan anggaran dan bahkan ada tanda tangan surat tanggung jawab mutlak bahwa selama periode kontrak akan disiapkan anggarannya dan dalam ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 PMK 02 tahun 2010. Kelihatan bahwa betul-betul semua itu adalah tanggung jawab dari Kementerian/lembaga dan minta persetujuan menteri keuangan karena setelah disetujui multiyears baru dilakukan pengadaan, tender, pengikatan, pembayaran,” jelasnya.
“Jadi yang mau saya titipkan, multiyears contract bukan hal yang salah beda dengan pelaksanaan anggaran karena multiyears contract justru untuk proyek yang tidak bisa selesai satu tahun dan indonesia sedang mengejar pembangunan infrasktruktur dan semua tidak bisa selesai dalam waktu 1 tahun. Kalau kementerian/lembaga takut selesaikan dalam multiyears, nanti proyek yang harus diselesaikan dalam waktu 2-3 tahun dan diselesaikan 1 tahun nanti kualitasnya jelek,” katanya.
Dalam PMK no 56, PMK 02 tahun 2010 tambah dia jelas diatur tentang pengguna anggaran atau kementerian/lembaga. Dimana kalau mau mengajukan multiyears harus mengajukan ke Menteri Keuangan dan saat disetujui setelah dievaluasi ada pasal 8 dan jelas ditulis kalau disetujui menteri keuangam tidak berarti menteri keuangan menyetujui proses pengadaan yang akan dijalankan kementerian/lembaga.
“Bahkan dijelaskan kalau mau ajukan multiyeas contract tidak boleh dituliskan penggunanya dan kementerian pengguna anggaran bertanggung jawab formal dan materill dalam pelaksanaan anggaran,” tukasnya.
Meski demikian dia mengaku mendukung penuh kegiatan penegakan hukum dalam pengadaan e-KTP.
“Saya hadir untuk memberikan kesaksian sebagai menkeu dan saya apresiasi dalam penjelasan kepada penegak hukum, langkah-langkah yang dilakukan dengan baik. Dan jangan negatif terhadap multiyears contract nanti orang akan takut padahal pembangunan indonesia butuh multiyears contract,” katanya.
KPK kini mulai membuka kembali kasus e-KTP kepada publik pada 22 April 2014 silam. Terhitung sejak saat itu, KPK sudah dua tahun lebih menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan ini.
Kala itu, KPK menetapkan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan pada Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto sebagai tersangka. Dia berperan sebagai pejabat pembuat komitmen dalam proyek senilai Rp 6 triliun.
Dalam catatan KPK, proyek tersebut tidak memiliki kesesuaian dalam teknologi yang dijanjikan pada kontrak tender dengan yang ada di lapangan. Proyek, sesuai perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), merugikan negara sebanyak Rp 2 triliun.
Dalam perkembangnya, mantan Dirjen Dikcapil Irman juga ditetapkan jadi tersangka. Irman dan Sugiharto dikenakan Pasal 2 ayat 2 subsider ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 dan 64 ayat 1KUHP.
Kemudian KPK pun sudah beberapakali memeriksa Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Nazaruddin sendiri adalah salah satu pihak yang memberikan informasi adanya masalah pada pengadaan e-KTP kepada KPK.
Ia menyebut antara lain mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum turut terlibat dalam skandal proyek tersebut.
Dia juga sempat menyebut, adanya keterlibatan Setya Novanto yang saat ini menjadi Ketua Umum. Novanto bersama dengan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, disebut mengatur jalannya proyek e-KTP.
Novanto, kata Nazar, kecipratan fee 10% dari Paulus Tannos selaku pemilik PT Sandipala Arthaputra yang masuk anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia. Konsorsium ini memenangi tender proyek e-KTP.
Kemudian, Nazaruddin menyebut mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi terlibat kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP. Menurut dia, Gamawan turut menerima gratifikasi.
Terakhir Nazaruddin mengatakan ada aliran dana ke kantong Mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Sebab dalam proyek multi Years ini harus ada persetujuan dari menteri keuangan, jadi tanpa ada persetujuan dari Menteri Keuangan tidak akan ada program tersebut.
Justru Sri Mulyani kata dia tidak terlibat dalam kasus ini, sebab dia menolak untuk menandatangani anggaran Multi Years itu dan memilih risegn dari jabatannya sebagai menteri daripada ditunggangi kepentingan politik. (Restu)