ArtikelBerita UtamaFeatured

Di Balik Konflik Etnis Rohingya di Rakhine

NUSANTARNEWS.CO – Perhatian media kini mulai diarahkan pada kekerasan etnis di Myanmar. Cerita dalam pers barat, bahwa Muslim Rohingya diperlakukan tidak adil, diusir dan dibunuh oleh masa Budhis dan tentara di negara bagian Rakhine dekat perbatasan dengan Bangladesh. Dan sebuah aliansi yang aneh terbentuk antara Human Rights Watch (HRW) dan Presiden Turki Erdogan yang berjuang bersama membela penderitaan Rohingya.

Konflik etnis di Rankine sebenarnya sudah sangat tua dan berlangsung lama. Namun belakangan ini, berubah menjadi perang gerilya Jihadis yang dibiayai oleh Arab Saudi di kawasan yang memiliki kepentingan geo-strategis, terutama bagi kepentingan geo-ekonomi Cina.

Letak geografis Rakhine menjadi penting karena merupakan jalur pipa minyak dan gas yang menghubungkan zona ekonomi Cina di Pulau Ramree dan Pelabuhan Kyaukphyu yang bernilai miliaran dolar dengan Yunnan, di Provinsi Kunming. Rakhine juga merupakan jalan keluar menuju ke Samudra Hindia.

Oleh karena letaknya yang strategis di mata Cina, Rakhine menjadi penting dalam pembangunan proyek One Belt One Road (OBOR). Jalur pipa dari pantai barat Myanmar ke arah timur ke Cina memungkinkan jalan pintas impor hidrokarbon dari Teluk Persia ke Cina tanpa perlu melalui Selat Malaka dan wilayah yang disengketakan di Laut Cina Selatan.

Baca Juga:  Korban Soegiharto Sebut Terdakwa Rudy D. Muliadi Bohongi Majelis Hakim dan JPU

Dalam konteks geostrategi kepentingan Barat adalah menghambat proyek-proyek Cina di Myanmar. Untuk mencapai tujuan itu, adalah dengan menghasut kelompok Jihad di Rakhine. Secara historis, ada preseden terkait dengan perang proxy di Burma. Selama Perang Dunia II pasukan kekaisaran Inggris menghasut Muslim Rohingya di Rakhine untuk memerangi umat Buddha nasionalis Burma yang bersekutu dengan imperialis Jepang.

Sebagai informasi, etnik Rohingya berimigrasi ke bagian utara Arakan, negara bagian Rakhine, Myanmar saat ini, sejak abad ke-16. Gelombang besar terjadi di bawah pendudukan kekaisaran Inggris sekitar satu abad yang lalu. Imigrasi ilegal dari Bangladesh berlanjut terus dalam beberapa dekade terakhir. Total sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Myanmar. Dengan angka kelahiran Rohingya yang lebih tinggi, menjadikan umat Buddha Arakan setempat merasa tertekan di tanah mereka sendiri.

Populasi ini kemudian bercampur di beberapa kota, bahkan ada banyak dusun yang 100% dihuni etnis Rohingya. Memang ada sedikit integrasi Rohingya di Myanmar, tapi secara resmi tidak diterima sebagai warga negara. Selama berabad-abad, hingga satu dekade terakhir telah terjadi beberapa tindak kekerasan di wilayah tersebut. Konflik Muslim-Budha terakhir berkecamuk pada tahun 2012.

Baca Juga:  Belgia: Inisiatif Otonomi di Sahara Maroko adalah Pondasi Terbaik untuk Solusi bagi Semua Pihak

Sejak saat itu muncul kelompok gerilya Rohingya yang bernama Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), dipimpin oleh Attaullah Abu Ammar Junjuni, seorang Jihadis dari Pakistan. Attaullah lahir di komunitas Rohingya, dan besar di Karachi, Pakistan. Ia dibesarkan dan dididik di Arab Saudi. Dia menerima pelatihan militer di Pakistan dan bekerja sebagai Imam Wahabi di Arab Saudi sebelum dia datang ke Myanmar.  Sejak kehadirannya, Attaullah telah mencuci otak, dan melatih tentara gerilya lokal sebanyak 1.000 personil. Pada saat yang sama, sebuah komite yang terdiri dari 20 anggota senior Rohingya mengawasi kelompok tersebut, yang berkantor pusat di Mekah, kata ICG.

Menurut laporan tahun 2015 di koran Pakistan, ada lebih 500.000 orang Rohingya di Karachi. Mereka berasal dari Bangladesh selama tahun 1970-an dan 1980-an atas perintah rezim militer Jenderal Ziaul Haq dan CIA untuk melawan Soviet dan pemerintah Afghanistan.

Sementara Reuters mencatat bahwa pada akhir 2016, kelompok Jihadis dilatih, dipimpin dan dibiayai oleh Pakistan dan Arab Saudi. Dan serangan terhadap pos penjaga perbatasan Myanmar pada bulan Oktober, dipimpin oleh orang-orang yang memiliki hubungan dengan Arab Saudi dan Pakistan, demikian dilaporkan International Crisis Group (ICG) pada hari Kamis lalu, mengutip anggota kelompok tersebuat.

Baca Juga:  DPC PDIP Nunukan Buka Penjaringan Bakal Calon Kepala Daerah Untuk Pilkada Serentak 2024

Pemerintah Myanmar menuduh Attaullah dan kelompok ARSA-nya ingin mendirikan sebuah negara Islam yang merdeka. Pada bulan Oktober 2016, ARSA mulai menyerang polisi dan pasukan pemerintah lainnya di daerah tersebut. Pada 25 Agustus tahun ini, ARSA menyerang 30 kantor polisi dan pos militer serta membunuh 12 polisi. Dan seperti biasa, tentara dan polisi menanggapi kekerasan tersebut dengan membakar kota Rohingya yang dicurigai menyembunyikan pasukan gerilya.

Tentara Myanmar sendiri telah memerintah negara tersebut selama beberapa dekade. Di bawah tekanan ekonomi, negara tersebut berusaha membuka diri terhadap “barat” dan melembagakan “demokrasi”. Meski kekuatan Barat berhasil menempatkan Aung San Suu Kyi sebagai State Counsellor di Myanmar, dan partainya memenangkan pemilihan – namun kekuatan sesungguhnya tetap masih dipegang oleh militer. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 53