Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini kembali melakukan oprasi tangkap tangan (OTT) pada sejumlah Hakim dan panitera Pengadilan Negeri (PN) Medan, pada hari, Selasa (28/8). Mereka adalah Marsudin Nainggolan (ketua PN), Wahyu Prasetyo Wibowo (wakil ketua PN), Sontan Merauke Sinaga (hakim), Merry Purba (hakim), Elpandi (panitera), Oloan (Sirait) (panitera).
Dengan melangkah pada tahap pemeriksaan oleh aparatur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dugaan pelaku tindak pidana korupsi itu. Tentu sudah melenyapkan kredibilitas masyarakat terhadap dinamika yang terjadi, termasuk institusi peradilan sebagai instrument terdepan dalam menegakkan hukum dan keadilan yang hidup pada masyarakat.
Karena itu, prilaku koruptif itu tidak sekadar hanya merugikan keuangan dan perekonomian negara, tetapi juga menggerogoti harta negara, sehingga pantas diistilahkan kejahatan extra ordinary crime.
Di sisi lain, mampu meruntuhkan kehormatan, marwah dan martabat institusi pengadilan umumnya, terutama pada integritas, kapabilitas, etika, dan moralitas diri seorang hakim dan panitera. Hanya demi keuntungan sesaat.
Catatan krusial pada reformasi 1998 seharusnya tidak hanya ditandai oleh eksistensi suburnya kehidupan negeri demokrasi, tetapi era reformasi juga penting dipikirkan kembali soal masa penegakan hukum demi terselenggaranya prinsip good governance. Yaitu, pemerintahan yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Apabila korupsi terjadi bukan karena dampak di atas, maka pelaku korupsi dapat melakukan perbuatan disebabkan lemahnya kesadaran individu serta kesadaran kolektif, mulai dari diri seorang hakim serta panitera yang dilibatkan dalam persoalan hukum ini. Jadi peristiwa tersebut, aparatur pengadilan penting agar dapat memulihkan citra serta kewibawaan hakim sebagai penegak keadilan masyarakat.
Sungguh dilema ketika aparatur pengadilan mudah terperangkap ke dalam kegalapan moral, sehingga dapat mengganggu dan mempengaruhi regulasi serta jalan terjal penegakan hukum. Terutama putusan-putusan hakim, yang kerap dianggap mempunyai kualitas tinggi secara keilmuan hukum. Padahal, di atas hukum ada etika dan moral sebagai pedoman bagi profesional hukum, khususnya para hakim, dan lain sebagainya.
Memulihkan Integritas
Lantas bagaimana menanggapi persoalan korupsi masif di Pengadilan? Seperti pada lembaga pengadilan lainnya membutuhkan Badan Pengawas Hakim (Bawas) yang ada di Pengadilan tertinggi. Yaitu, Mahkamah Agung, badan itu yang berfungsi untuk mengupayakan pengawasan internal-eksternal, khususnya apabila aparatur Pengadilan melakukan penyalahgunaan wewenang. Seperti hal-Nya, melakukan perbuatan melawan hukum alias korupsi atau gratifikasi.
Dalam konteks negara hukum modern ini, tampaknya oknum Pengadilan tidak mampu dibendung oleh kesadaran hukum bersifat individu maupun kolektif. Untuk itu, pelatihan hakim berintegritas, bermoral, dan menjunjung tinggi kesadaran hukum merupakan alternatif strategis sebagai salah satu benteng kekuatan yang harus dibangun serta meminta pendapat ahli hukum, praktisi, akademisi, dan organisasi kepemudaan yang bergerak di bidang hukum.
Idealnya tema Degradasi Wibawa Pengadilan ini menunjukkan banyak oknum yang tergolong jabatan hakim, dan panitera, karena itu penguatan integritas, moral, akuntabilitas dan kepercayaan pada masyarakat sangat penting bagi kewibawaan hakim agar tampak terjaga dengan baik, khususnya Pengadilan sebagai institusi yang menaungi jabatan hakim sekalipun.
Sebagai jalan terakhir untuk melancarkan kewibawaan hakim dan Pengadilan, institusi penegakan hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar melakukan koordinasi dengan Kejaksaan, dan Kepolisian, agar semakin efektif penegakan hukum meniru sistem seperti di negara lain. Yakni, dimulai dengan penegak hukum atau institusi penegak hukum.
Penulis: Hasin Abdullah, Dewan Pimpinan Pusat Forum Akademisi Hukum Muda Indonesia (DPP-FAHMI), Jakarta