NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Juru Bicara PSI Bidang Ekonomi, Industri dan Bisnis Rizal Calvary Marimbo mengatakan, neraca perdagangan Uni Eropa dengan Indonesia periode Januari-Juli 2018 mengalami defisit sebesar USD 3,09 miliar.
Menurutnya, defisit tersebut disebabkan oleh neraca migas sebesar US$ 6,6 miliar, lebih tinggi dari sebelumnya sebesar US$ 4,62 miliar. Peningkatan itu didorong oleh kenaikkan harga minyak dunia. Sedangkan dari neraca nonmigas terjadi surplus sebesar US$ 3,56 miliar atau lebih kecil dari tahun sebelumnya sebesar US$ 12,0 miliar.
“Hal ini disebabkan terjadi peningkatan impor barang modal untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur. Defisit ini membuat rupiah terus terdepresiasi, selain faktor sentimen global,” kata Rizal melalui keterangan tertulis, Jakarta, Minggu (2/9/2018).
Rizal menyebut pada tahun 2017 lalu perdagangan Uni Eropa-Indonesia mengalami surplus. Di mana, nilai total perdagangan Indonesia-Uni Eropa pada 2017 mencapai US$ 25,2 miliar, dengan ekspor Indonesia ke Uni Eropa sebesar US$ 14,5 miliar dan impor sekitar US$ 10,7 miliar sehingga surplus di angka US$ 3,8 miliar.
“Sementara itu, nilai investasi Uni Eropa di Indonesia tahun 2016 sebanyak US$ 2,6 miliar dengan jumlah 2.813 proyek,” ujarnya.
Di tengah nilai tukar rupiah yang terus terseok-seok saat ini, dia menilai pemerintah harus mempercepat perundingan dengan negara-negara eropa. Pasalnya, perundingan CEPA antara Indonesia dengan Uni Eropa sudah berlangsung lama.
“Perundingan perdagangan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership (IEU CEPA) ini sudah berlangsung lama. Memang akan lebih lama sebab melibatkan sekitar 38 negara Eropa, sedangkan dengan Australia, lebih bilateral,” ucap Rizal.
Meningkatkan volume perdagangan ke Eropa sangat penting untuk mendorong ekspor nasional guna menghentikan defisit neraca perdagangan dan membuat rupiah terus terdepresiasi, kat Rizal.
“Mengerem impor hanya solusi jangka pendek. Sebab toh yang diimpor barang-barang modal bersifat produktif untuk infrastruktur dan industrilisasi. Berarti di dalam negeri ada pergerakan ekonomi yang masif. Hanya saja ada ketidakseimbangan baru. Sebab itu, dalam jangka panjang harus diperkuat ekspor, sehingga rupiah bisa kembali perkasa,” ucap dia.
Selanjutnya, IEU-CEPA dinilai Rizal dapat menjamin akses pasar dan preferensi yang terbaik bagi pelaku usaha Indonesia. Salah satu penyebab masih banyaknya produk Indonesia susah diterima adalah belum tercapainya CEPA antara Indonesia dan Eropa. Padahal satu-satunya cara agar produk Indonesia dapat diterima di Eropa adalah melalui CEPA.
“Kita jangan kalah donk dari beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Malaysia. Produk mereka leluasa masuk Eropa sebab sudah CEPA. Ekspornya bagus,” katanya.
Dia menambahkan, jika CEPA dengan Eropa tercapai, Indonesia dapat menaikkan ekspornya sebesar 300%. Sebab dengan CEPA, beberapa hambatan yang selama ini mengganjal produk dalam negeri masuk ke Eropa akan berkurang. Beberapa produk Indonesia yang berpeluang dapat digenjot ekspornya ke Eropa adalah crude palm oil (CPO), produk tekstil, sepatu, makanan dan minuman. (eda/gdn)
Editor: Gendon Wibisono