Defisit Migas, Wajah Kegagalan Koordinasi dan Strategi Kebijakan Energi Nasional
PRESIDEN Joko Widodo kembali menegur para menteri yang membidangi ekonomi dan industri. Dan sepertinya, ini teguran yang sudah berkali-kali terkait kinerja ekonomi makro Indonesia. Secara khusus, teguran itu dialamatkan pada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno terkait dengan masih besarnya defisit minyak dan gas bumi (migas) sampai dengan bulan Mei 2019.
Presiden mewanti-wanti masalah ini kepada para menteri ekonomi, terutama kedua menteri tersebut yang dinilai punya peranan kunci untuk mengendalikan defisit migas yang masih besar.
Kata Jokowi, coba dicermati angka-angka ini, kenapa impor begitu sangat tinggi. Migas naiknya gede sekali, hati-hati di migas Menteri ESDM, Menteri BUMN yang terkait dengan ini.
Presiden memang tidak keliru menilai bahwa defisit migas masih menjadi penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebab, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor bahan bakar migas ini masih menyentuh angka US$ 2,9 Miliar pada bulan Mei 2019.
Permasalahan Defisit Migas
Sebenarnya defisit migas yang dialami Indonesia telah terjadi hampir 15 tahun mengacu pada data yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data BPS menunjukkan bahwa defisit migas terjadi sejak Tahun 2004 yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah bisa dibenahi dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun?
Kondisi permintaan dan pasokan minyak dalam negeri bisa dianggap menjadi penyebab utama terjadinya defisit ini. Konsumsi migas di Indonesia rata-rata mencapai 1,4 juta hingga 1,6 juta barel per hari. Sedangkan produksi hanya dapat dihasilkan pada kisaran 750 ribu per hari. Artinya, terdapat kekurangan penyediaan migas untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri sekitar 700 ribu hingga 900 ribu per hari yang mesti diimpor oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi nasional.
Selama bertahun-tahun, alih-alih mengatasi permasalahan defisit migas ini yang terjadi kemudian adalah pembiaran dengan; tak berjalannya pembangunan dan perluasan kilang, kebijakan diversifikasi energi yang bergonta-ganti, dan menerapkan harga murah untuk bensin beroktan rendah, dan hal lainnya yang membuat konsumsi makin tinggi.
Tak ada strategi dan kebijakan energi nasional yang kemudian menjadi program dan kegiatan secara terarah dan terukur dalam upaya mengurangi secara bertahap ketergantungan akan impor migas oleh tim ekonomi pemerintahan, pemangku kepentingan (stakeholders) energi dan terutama sekali adalah Dewan Energi Nasional (DEN).
Persoalan mendasar defisit migas adalah masalah struktural yang tak pernah bisa diselesaikan, dan terjadinya sudah sejak lama. Dan, apabila tidak terdapat penyelesaian secara komprehensif melalui langkah-langkah dan terobosan (breakthrough) yang memadai dan tepat, maka defisit migas ini memang masih akan terus terjadi, tidak akan hilang atau menjadi positif dalam waktu singkat hanya karena kebijakan tertentu. Fluktuasi defisit migas akan terus dialami disebabkan oleh permintaan dan penawaran akan migas serta ekspor dan impor yang harus dilakukan dalam memenuhi kekurangan konsumsi atas produksi yang bisa dicapai di dalam negeri.
Lebih dari itu adalah di bagian hulu migas, produksi terus mengalami penurunan, sedangkan di midstream sampai sekarang belum ada penambahan kapasitas kilang yang signifikan, permasalahan ini ditambah pula oleh bagian hilir migas terkait harga BBM yang masih stagnan melalui kebijakan pemerintah.
Permasalahan mendasar di sektor hulu migas ini semestinya ditangani secara struktural, fundamental dan serius oleh Kementerian ESDM dan BUMN. Sebab, sudah sedemikan lama Indonesia menjadi net oil importer. Bahkan, pada Tahun 2011 kondisi sektor migas Indonesia dalam neraca perdagangan migas selalu menunjukkan tanda negatif, dan jika tidak diatasi sungguh-sungguh, maka semakin lama tentu akan semakin besar negatifnya.
Pertanyaanya kemudian adalah, apakah DEN telah mengerjakan semua permasalahan defisit migas di sektor energi yang akut ini melalui berbagai hasil kajian dan memberikan rekomendasi untuk mengatasinya kepada pemerintah? Dan, apakah penolakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan peserta seleksi calon anggota DEN merupakan sinyal atas kinerja DEN selama ini? Ataukah berbagai kajian dan rekomendasi yang telah dihasilkan oleh DEN di sektor migas dan energi ini yang tidak pernah ditindaklanjuti oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM?
Penurunan Impor Migas
Selama bulan Januari hingga Mei 2019, impor migas memang tercatat menurun hingga 23,77%. Penurunan impor migas itu lebih disebabkan oleh turunnya impor seluruh komponen migas yaitu minyak mentah US$1.766,5 juta (43,74%), hasil minyak US$1.043,1 juta (15,44%) dan gas US$24,2 juta (2,14%).
Walaupun data BPS menunjukkan perbaikan kinerja sektor perdagangan migas yaitu impor migas di bulan Mei 2019 yang mencapai US$ 2,09 miliar atau setara Rp 29,6 triliun turun 6,41% dibanding April 2019 yang menyentuh US$ 2,23 miliar atau setara Rp 31 triliun.
Penurunan impor migas juga lebih dipicu oleh turunnya nilai impor hasil minyak atau BBM sebesar US$ 263,6 juta atau 18,29% dan impor gas turun US$ 59,5 juta atau 18,13%.
Tetapi, faktanya memang masih terdapat impor yang naik secara signifikan yaitu impor minyak mentah atau crude sebesar 38,59%. Impor minyak mentah pada bulan Mei 2019 mengalami kenaikan, yaitu sebesar US$ 645,4 juta dari bulan sebelumnya yang sebesar US$ 465,7 juta.
Upaya perbaikan kinerja sektor migas ini sudah menunjukkan tanda yang cukup positif dalam lima bulan terakhir. Pada empat bulan pertama di 2019, defisit neraca migas hanya sebesar US$ 2,76 miliar, dan sudah mulai mengalami penurunan dibandingkan Tahun sebelumnya (2018) yang sebesar US$ 3,89 miliar.
Penurunan ini terbantu oleh upaya pemerintah dalam menurunkan impor. Misalnya melalui kebijakan yang memberi mandat kepada Pertamina untuk membeli minyak jatah ekspor hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sebelumnya dijual ke luar negeri. Hanya saja, hal ini juga membuat ekspor migas mengalami penurunan.
PT Pertamina (Persero) mencatat hingga Juni 2019 telah membeli 116,9 ribu barel per hari minyak mentah atau crude.
Sementara itu, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan berdalih dan menyampaikan bahwa kondisi defisit migas memang tak bisa dihindari dengan konsumsi yang semakin tinggi, yakni bisa mencapai 1,7 juta barel sehari di tahun mendatang. Sementara, produksi terus merosot yakni tak sampai 800 ribu barel per hari. Jadi sisanya harus impor. Tapi, sekarang kan kita banyak energi terbarukan, katanya.
Masalahnya adalah apologisasi defisit migas ini telah terjadi saat Menko Kemaritiman masih menjabat sebagai Kepala Staf Kepresiden dan sampai saat ini tak ada perubahan apapun, tentu saja hal ini yang membuat Presiden menyimpulkan tak ada kemajuan (progress) yang signifikan serta mempertanyakan efektifitas penyelesaian masalah dalam bidang energi di bawah koordinasi yang bersangkutan.
Permasalahan yang disampaikan oleh Presiden dalam rapat koordinasi di istana Bogor bukanlah berkaitan dengan menurunnya impor migas dalam lima bulan terakhir dan lebih merupakan kinerja yang dicapai oleh BUMN Pertamina, namun mengapa defisit migas tak bisa diatasi oleh tim ekonomi kabinet?
Sekali lagi, pertanyaan presiden pada rapat koordinasi di istana Bogor itu adalah permasalahan defisit migas yang masih terjadi, dan bukan soal menurunnya impor migas. Artinya, pertanyaan presiden dengan jawaban yang telah disampaikan oleh menteri terkait adalah tidak tepat. Kalau pertanyaan itu terkait dengan soal ujian siswa nasional, maka jawaban anda atas pertanyaan presiden adalah salah.
Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi