Daya Beli Menurun, Ratusan Ribu Buruh akan Tuntut Upah Layak di Hari Pahlawan

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal/Foto: dok. Wartabuana

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal/Foto: dok. Wartabuana

NusantaraNews.co, Jakarta – Ratusan ribu buruh Indonesia dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berencana aksi unjuk rasa besar-besaran di seluruh Indonesia pada hari Pahlawan, 10 November 2017 nanti.

“Beberapa provinsi yang akan melakukan aksi adalah Aceh, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gotontalo, Kalimantan Selatan, dan sebagainya,” tutur Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta, Jum`at (27/10/2017).

Said Iqbal mengatakan, pada tanggal 10 November nanti, khusus di Jabodetabek aksi akan dipusatkan di Istana Negara, Jakarta, dengan melibatkan kurang lebih 20 ribu orang buruh. Sementara di daerah-daerah lain, aksi besar-besarean dipusatkan di kantor Gubernur masing-masing daerah. “Di seluruh Indonesia, aksi ini akan diikuti lebih dari seratus ribu buruh,” katanya.

Dalam aksi ini, lanjut Said, para buruh menuntut kenaikan upah minimum tahun 2018 sebesar 50 dollar atau setara dengan 650 ribu. Selain itu, buruh menuntut agar Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015) dicabut.

“Kami menuntut upah naik 650 ribu, karena upah murah saat ini tidak relevan lagi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Akibatnya daya beli menurun yang berimbas pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor,” katanya.

Pria yang juga menjadi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) ini mengatakan, upah buruh saat ini tidak sebanding kebutuhan hidup. Dia mencontohkan, untuk bayar kontrakan, listrik, dan kebutuhan perumahan di Jakarta buruh harus mengeluarkan Rp 1.300.000. Untuk transportasi Rp 500.000. Untuk sekali makan 15 ribu. Jika sehari makan 3 kali, maka sebulan Rp 1.350.000. Itu saja totalnya sudah Rp 3.150.000.

“Ini belum untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain seperti pakaian, pendidikan, dan sebagainya.”

Hal ini diperparah dengan daya beli buruh yang semakin turun, misalnya akibat kenaikan harga listrik. Jika sebelumnya buruh membayar listrik sebesar 200 ribu. Sekarang setelah kenaikan listrik, buruh harus membayar 300 ribu. 100 ribu lebih mahal dari harga biasanya. Pada saat yang sama, upah buruh tidak ada kenaikan. Akibatkan, 100 ribu yang biasanya bisa digunakan untuk konsumsi atau membeli barang yang lain, harus digunakan untuk membayar listrik. Dengan kata lain, daya beli buruh turun 100 ribu.

“Oleh karena itu, kenaikan upah sebesar Rp 650.000 dilakukan agar upah pekerja menjadi layak dan daya beli buruh semakin meningkat yang akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi,” kata Said Iqbal.

Lebih lanjut dia menjelaskan, kenaikan upah sebesar itu juga untuk mengejar ketertinggalan dengan negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Bahkan upah DKI Jakarta masih lebih rendah dari upah Karawang dan Bekasi.

“Pendapatan driver ojek online saja bisa mencapai 6 juta sebulan. Masak buruh terus-terusan dibayar murah. Ini tidak masuk akal,” kata Said Iqbal.

Sebagai pemanasan, kata Said Iqbal, buruh se-DKI Jakarta akan melakukan aksi di Balaikota DKI Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2017. Dalam aksi tersebut, diperkirakan akan diikuti 5 ribu orang buruh dari berbagai serikat pekerja.

“Aksi di Balaikota untuk menuntut janji kampanye Anies – Sandi agar tidak menggunakan PP 78/2015 dalam menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2018, dan menaikkan UMP DKI Jakarta sebesar kurang lebih 650 ribu,” pungkasnya.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Exit mobile version