Cawapres Intelektual dan Ulama yang Nasionalis

Direktur Institut Soekarno Hatta. NUSANTARANEWS

Direktur Institut Soekarno Hatta

Muhammadiyah didirikan pada tanggal 18 November 1912 oleh Muhammad Darwis, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Haji Ahmad Dahlan. Kelahiran Muhammadiyah merupakan pengejawantahan gagasan-gagasan Kyai Haji Ahmad Dahlan untuk menyemaikan benih pembaruan Islam di Tanah Air. Sementara tujuan dari organisasi massa (ormas) Muhammadiyah adalah mewujudkan masyarakat berkeutamaan, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.

Baca juga: Presiden Soekarno vs Jenderal AH Nasution dan Pergolakan Politik Besar

Berdasarkan basis data yang dimiliki website Muhammadiyah, pada saat ini Muhammadiyah memiliki jumlah kader sekitar 50 juta orang, serta 171 perguruan tinggi dan 1.291 SMA/SMK/MI. Sedangkan berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bahwa Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang telah diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 196,5 juta orang yang dipastikan memiliki hak memilih dalam Pemilu 2019.

Dengan berdasarkan data dari Kemendagri tersebut, berarti Muhammadiyah memiliki potensi sekitar 39%. Jumlah tersebut belum ditambahkan dengan jumlah pemilih potensial yang bersekolah di perguruan tinggi atau SMA yang dikelola oleh Muhammadiyah. Hal ini mengindikasikan kekuatan politik dari ormas Muhammadiyah yang apabila dikelola dengan baik dapat menjadi bargaining politics yang tinggi dalam menawarkan sosok calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) kepada partai politik yang akan mengusung.

Baca juga: Hubungan Letkol Ali Ebram Kepala Intel Pasukan Cakrabirawa dengan Pangkostrad Mayjen Soeharto

Pengelolaan sumber daya sebanyak 39% jumlah kader atau jika diasumsikan separuh saja dari kader Muhammadiyah sudah memiliki hak untuk memilih dan menentukan suaranya di dalam pemilu, berarti masih ada 19% jumlah suara yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Tentu saja hal ini tidak dapat dianggap sepele. Angka 19% ini apabila dikelola dengan baik akan mampu meloloskan seorang sebagai capres atau cawapres terpilih di kemudian hari.

Anggaplah bahwa Presiden Joko Widodo akan mengambil kader Muhammadiyah sebagai pendampingnya (cawapres) di pemilu nanti, sementara pada beberapa survei Presiden Widodo memiliki elektabilitas di bawah antara 40%-47%. Hal ini masih belum dapat dianggap sebagai titik aman seorang petahana untuk melanjutkan kepemimpinannya di periode selanjutnya. Belum lagi isu yang menerpa Presiden Widodo berupa sentimen keagamaan hanya dapat diredam apabila mengambil pendampingnya yang memiliki latar belakang keagamaan kuat.

Baca juga: Kompleksitas Ancaman Demokrasi Rezim Saat Ini

Apabila merujuk kepada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, seorang capres dan cawapres dapat terpilih apabila memenuhi jumlah suara 50% + 1, dan bila elektabilitas Presiden Widodo dan ditambahkan dengan jumlah kader Muhammadiyah yang memilik hak memilih di pemilu, maka Presiden Widodo sudah dapat mengamankan kursinya untuk periode selanjutnya.

Namun hal ini juga akan berdampak signifikan terhadap elektabilitas Prabowo sebagai capres yang diusung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada 2019 nanti. Bahwa Prabowo pada beberapa tahun belakangan ini amat dekat dengan para tokoh Islam. Pada Pemilu 2014 yang lalu, Prabowo mengusung seorang cawapres dari partai Islam, yakni Hatta Rajasa. Selain itu, cawapres dengan basis Islam akan semakin menguatkan posisi Prabowo akan konsistensinya sebagai seseorang yang memiliki keberpihakan pada umat Islam. Hal ini dilihat dari beberapa Aksi Bela Islam yang didukung oleh Prabowo.

Baca juga: Indikator Kekeroposan Pilar Demokrasi Indonesia

Selain itu, pengelolaan kader ataupun simpatisan yang berasal dari Muhammadiyah dapat dilakukan dengan menanamkan pemahaman kepada kader mengenai ideologi yang diusung oleh Muhammadiyah serta melakukan pemberian pembekalan guna meningkatkan loyalitas kader untuk mendukung setiap kebijakan organisasi. Pemberian pembekalan akan menekankan pentingnya Muhammadiyah memiliki representasi di pemerintahan guna mewujudkan cita-cita dari Muhammadiyah yang telah dicanangkan oleh Ahmad Dahlan.

Figur Cawapres

Menilik yang selama ini terjadi di dalam lingkungan Muhammadiyah, bahwa Muhammadiyah kurang tertarik dalam menawarkan kadernya untuk diusung sebagai capres ataupun cawapres. Sehingga Partai Amanat Nasional (PAN) yang diasumsikan sebagai perpanjangan tangan dari ormas Muhammadiyah lebih sering mengusung kader di luar Muhammadiyah untuk diajukan sebagai capres atau cawapres. Melihat pada fenomena pemilu 2009 dan 2014, bahwa PAN mengusung cawapres Hatta Rajasa. Melihat latar belakang Hatta, dia tidak pernah sekalipun terikat dengan ormas Muhammadiyah.

Kemudian melihat pada fenomena kekinian dari saudara muda Muhammadiyah, yakni Nahdlatul Ulama (NU), dengan kepentingan politik praktisnya direpresentasikan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) justru malah acapkali mengusung para kader yang memiliki keterikatan dengan ormas NU. Semisal pada Pemilu Presiden 2019 mendatang, PKB sudah mengambil ancang-ancang untuk mengusung Muhaimin Iskandar sebagai cawapres.

Melihat fenomena yang terjadi di Muhammadiyah, bahwa acapkali Muhammadiyah secara kasat mata tidak terjun langsung untuk melakukan politik praktis seperti lobi untuk menawarkan kandidat capres atau cawapres kepada partai untuk diusung. Hal ini amat disayangkan melihat banyaknya kader yang memiliki potensi.

Din Syamsuddin merupakan tokoh yang amat lengkap, selain memiliki kompetensi, dia juga merupakan sosok ulama. Din adalah seorang doktor dalam bidang Politik Islam dari University of California (UCLA), Los Angeles, salah satu universitas terkemuka di Amerika Serikat. Selain itu, Din pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode berturut-turut, 2005-2015. Din Syamsuddin tdk hanya milik Muhammadiyah tapi juga umat Islam, karena pernah menjabat sebagai Ketua Umum MUI (2014-2015) dan skrng menjadi Ketua Dewan Pertimbangan MUI.

Oleh karena itu, Islamic Credentiality-nya tidak diragukan. Dia di kenal dekat dengan semua kelompok dan dapat menjembataninya. Sebagai mantan Ketua IPNU di kampung halamannya, Din Syamsuddin juga dikenal luas dan dapat diterima di kalangan Nahdhiyin. Jabatannya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI yang mengoordinir ormas-ormas Islam, membawanya diterima di semua ormas Islam.

Di kalangan umat agama-agama lain, Din Syamsuddin juga cukup dikenal, baik karena jabatan dan kegiatannya dalam dialog antar umat beragama. Terakhir Din memprakarsai dan memimpin Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa. Kemudian pergaulan di dunia internasional, Din menjabat sebagai President of Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) yg berpusat di Tokyo, dan Co-President, World Conference on Religions for Peace (WCRP), yang berpusat di New York. Dan masih banyak lagi jabatan internasional lain yang disandangnya seperti Anggota Aliansi Strategis Russia-Dunia Islam, Chairman of World Peace Forum, yang membawanya banyak menerima penghargaan internasional.

Di Dalam Negeri juga dikenal memiliki reputasi positif. Dia dikenal sebagai pemimpin organisasi yang handal. Selain di organisasi Islam seperti Muhammadiyah, MUI dan ICMI, Din juga memiliki spektrum keaktifan di banyak organisasi. Bahkan, dia memprakarsai berdirinya gerakan lingkungan hidup yaitu Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi (Siaga Bumi) di mana ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah, dan Pergerakan Indonesia Maju (PIM) di mana dia menjabat sebagai Ketua Dewan Nasional. Sebagai mantan aktifis mahasiswa dan pemuda (pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah dan Wakil Ketua Majelis Pemuda Indonesia), Din memiliki pengalaman politik.

Baca juga: Sistem Pilpres UUD 2002 Dinilai Melahirkan Boneka Kapitalis dan Taipan

Din pernah menjabat sebagai Ketua Departemen Litbang, kemudian Wakil Sekjen Partai Golkar (1993-2000), yang membawanya menjadi Wakil Ketua Fraksi Golkar di MPR-RI (1999-2000) dan Dirjen Binapenta Depnaker (1998-2000). Semuanya itu mengukuhkan Din Syamsuddin sebagai organisator-teknokrat-intelektual, selain sebagai ulama modern. Pengalaman panjangnya tersebut membuat Din tidak hanya fasih berbicara tentang masalah keagamaan, tapi juga masalah kebangsaan, baik politik maupun ekonomi dan budaya, dan terakhiir banyak bicara tentang globalisasi dan peradaban.

Dengan berbagai fakta yang telah dipaparkan di atas mengenai rekam jejak Din Syamsuddin. Hal yang mendasar dalam personal branding yang kuat menurut McNally dan Speak dalam Haroen (2014) adalah kekhasan, relevansi, dan konsistensi. Mengutip dari McNally dan Speak, untuk personal brand dari Din Syamsuddin adalah sebagai berikut:

Kekhasan

Personal brand yang kuat menjelaskan sesuatu yang sangat spesifik atau khas sehingga berbeda dengan kebanyakan orang. Kekhasan di sini bisa direpresentasikan dengan kualitas pribadi, tampilan fisik, atau keahlian.

Dalam hal ini, Din Syamsuddin memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh kandidat lain seperti Joko Widodo, Prabowo Subianto, dan Agus Harimurti, yakni Din adalah representasi dari umat muslim. Representasi ini didapatkan Din karena pernah menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia, dan Wakil Ketua Dewan Penasihat ICMI Pusat. Hal ini menjadi salah satu kekuatan Din.

Selain itu, Din merupakan bagian dari organisasi massa Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki basis massa kurang lebih 50 juta kader dan belum ditambah dengan siswa yang belajar di lembaga pendidikan yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Kualitas seperti ini hanya dimiliki oleh Din sebagai kandidat calon presiden maupun calon wakil presiden.

Din memiliki tampilan fisik yang baik dan menarik. Begitu pun dengan cara berbicaranya yang menarik. Din juga memiliki pegetahuan yang luas dan menguasai banyak topik pembicaraan, tidak hanya berkutat dalam keagamaan dan politik saja.

Keahlian Din dalam berbagai topik permasalahan menjadi faktor pendukung dalam personal branding-nya. Namun fokus utama Din dalam intelektualnya adalah mengenai kerukunan umat beragama. Kerukunan umat beragama di Indonesia pada saat ini juga menjadi permasalahan masyarakat, melihat banyak konflik yang disebabkan oleh perbedaan keyakinan.

Relevansi

Personal brand yang kuat menjelaskan sesuatu yang dianggap penting oleh masyarakat dan punya relevansi dengan karakter orang tersebut. Jika relevansi ini tidak ada maka akan sulit terjadi penguatan pada pikiran masyarakat.

Relevansi antara personal branding milik Din Syamsuddin dengan yang ada di dalam pikiran masyarakat memiliki kesesuaian dan hampir tidak ada perbedaan. Bahwa personal branding milik Din Syamsuddin sebagai cendikiawan yang memiliki fokus perhatian atas kerukunan umat beragama dan aktivitas yang dijalaninya, serta selalu disampaikan oleh media massa membuat masyarakat tidak memiliki persepsi yang berbeda jauh.

Konsistensi

Personal brand yang kuat adalah buah dari upaya-upaya branding yang konsisten melalui berbagai cara sehingga terbentuk brand equity.

Brand equity atau ekuitas merek adalah seperangkat aset dan keterpercayaan merek yang terkait dengan merek tertentu, nama dan atau simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa, baik bagi pemasar/perusahaan maupun pelanggan.

Kepercayaan terhadap merek atau dalam hal ini adalah kandidat, belum dapat diukur. Proses pengukuran ini dapat dilakukan melalui survei dan dibuktikan dengan menggunakan modal elektoral akseptabilitas.

Dengan demikian, untuk menilai figuritas cawapres dari ormas Muhammadiyah yang direpresentasikan oleh Din Syamsuddin, maka penilaian atas rekam jejak serta kedekatan dengan lembaga yang direpresentasikan sudah dapat dikatakan baik atau malah luar biasa, sebab amat jarang sosok seperti Din yang memiliki rekam jejak luar biasa.

Baca juga: Mengapa Serba Cawapres?

Selain itu, menilik dari modal elektoral dari Din Syamsuddin dinilai dari tiga aspek yakni elektabilitas, popularitas, dan akseptabilitas. Dari aspek elektabilitas, Din sudah dapat dikatakan memiliki jumlah suara 19% dari total pemilih di Indonesia, ini dilihat dari jumlah kader Muhammadiyah yang memiliki hak suara.

Dari aspek popularitas, Din memang dirasa kurang untuk melakukan publisitas dengan intens. Padahal Din adalah Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban. Din memerlukan publisitas yang mampu meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya lebih baik lagi.

Dari aspek akseptabilitas, Din adalah seorang muslim yang mana di Indonesia adalah mayoritas, sehingga hal ini berimplikasi terhadap tingkat penerimaannya yang tinggi. Selain itu, Din juga pernah belajar di pesantren NU dan aktif di dalam organisasinya. Din pernah menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, selama periode jabatan tahun 2005-2015.

Pernah menjadi anggota dan berperan penting di dalam organisasi besar di Indonesia menjadi nilai lebih terhadap tingkat akseptabilitas dari Din Syamsuddin.

Oleh: M. Hatta Taliwang, Direktur Institut Soekarno Hatta

Exit mobile version