Kolom

Presiden Soekarno vs Jenderal AH Nasution dan Pergolakan Politik Besar

NUSANTARANEWS.CO – Setelah Gerakan 30 September 1965, Jendral AH Nasution masih memegang jabatan Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjatan (Kasab). Juga merangkap Wapangsar KOTI (Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi). Oleh dinamika politik pasca G30S, Presiden Soekarno yang saat itu masih pro PKI, ingin “menendang” Jend. AH Nasution dari lingkar kekuasaan karena dianggap sebagai tokoh kuat anti PKI.

Inilah memoar beliau yang saya petik dan sedikit edit bahasa, dari buku beliau Memenuhi Panggailan Tugas, Jilid 6, hal 352, 356, 376.

“Dalam bulan Pebruari 1966 Presiden Soekarno memutuskan reorganisasi KOTI (Komando Tertinggi). Menurut beliau konfrontasi merosot, karena KOTI mengurus juga soal lain (sosial politik ekonomi). Pada waktu Kepala Staf Koti Jen Soeharto menyampaikan rencana pembatasan tugas KOTI itu, Presiden menentukan juga bahwa Staf Angkatan Bersenjata (SAB) yang saya pimpin harus dibubarkan, karena dianggap mencampuri bidang operasi, walaupun Kepala Staf Koti menegaskan ketidakbenaran pendapat Presiden itu dan bahwa SAB hanya mengurus adminitrasi dan tetap diperlukan dalam organisasi ABRI.

Akhirnya diakui oleh Presiden bahwa soalnya sekarang agar saya dihentikan atas alasan tertentu, antara lain karena tidak membantah berita berita luar negeri yang melebih lebihkan saya daripada Presiden.Pernyataan Presiden demikian itu disampaikan kepada Kepada Kas Koti tanggal 16 Januari 1966, yang kemudian oleh Kas Koti diteruskan ke saya tanggal 19 Februari 1966.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Pada tanggal 21 Pebruari 1966 Presiden mengumumkan resuffle kabinet. Oknum oknum yang anti PKI dipecat. Dimasukkan unsur-unsur yang terkenal pro PKI.

Ketika saya dipanggil ke Istana oleh Presiden, saya tidak dapat lagi memenuhi panggilan itu. Ketika para Menteri yang ditugaskan mengoper tugas saya datang ke saya, kepada mereka saya katakan bahwa saya tidak dapat melaksanakannya. Saya instruksikan ke Staf Angkatan Bersenjata untuk tidak melaksanakan sesuatu.

Presiden meneruskan policy yang menguntungkan PKI.
Pimpinan Hankam dan ABRI , khususnya AD, terus mengikis sisa sisa kekuatan PKI.

Suatu hari Letkol Sudharmono SH dari Staf KOTI menghadap saya. Ia memberitahu bahwa Presiden tidak hanya mau mereorganisasi KOTI saja tetapi sekalian akan membubarkan SAB disamping melucuti jabatan saya sebagai Wapangsar (Wakil Panglima Besar) Koti. Berarti saya tidak akan punya Staf dan tidak punya jabatan lagi!.

Saya temui Jendral Suharto, dan saya mendapat konfirmasi bahwa Jendral Nasution diberhentikan karena alasan politik, antara lain karena tidak membantah berita berita luar negeri yg melebih lebihkan Jen Nasution daripada Presiden. Saya katakan kepada Jen Suharto bahwa saya tidak membaca di pers tentang hal hal yg dijadikan alasan politik tersebut.Menteri Luar Negeri Subandrio tdk pernah menyampaikan hal-hal tersebut, mungkin hanya ke Presiden.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Ketika dipanggil oleh Presiden setelah diumumkan pemecatan saya, saya tidak menghadap. Kemudian, Kepada Komandan Korps SAB, Kol Worang, saya perintahkan untuk menjaga jangan sampai papanHankam/SAB diturunkan, kecuali atas perintah saya. Saya tidak mau melakukan serah terima.

Hal-hal tersebut saya beritahukan kepada Jendral Suharto dan pejabat pejabat lain. Saya memperhatikan reaksi teman teman terutama di Pimpinan AD. Mereka merasa terjepit posisinya. Tiada yg mendukung sikap saya, tapi tiada yg menyalahkan sikap saya. Saya simpulkan bahwa mereka tetap menghindari konflik terbuka dengan Presiden, bahkan mereka menginginkan agar saya kelak “demi AD” bisa kembali kerjasama dengan Presiden.

Pada hari hari sesudah itu saya membaca artikel dlm majalah Amerika, TIME, bahwa Jendral Suharto, Jen Sarbini dan jendral jendral lain mendorong saya untuk bertindak terhadap Presiden dan bahwa mereka menunggu komando saya. Ipar saya Broer dan saudara sepupu saya juga mengetahui situasi itu dan merekapun mendesak kapan keluar komando saya kepada ABRI untuk “menyelesaikan” Presiden Soekarno. Mereka tidak faham bahwa dibawah Presiden, hanya Jendral Soeharto yg memegang wewenang untuk mengomando ABRI.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Akhirnya Jen Sarbini dan Jen Mursid datang ke rumah mendesak saya untuk serah terima Hankam. Saya tetap menolak. Sementara teman-teman mengusulkan agar kami sholat Jumat di Hankam dan sebelum pulang ke rumah, melakukan serah terima tanpa upacara yang lazim.

Kepada Menko Pertahanan yang baru Jen Sarbini terpaksa saya mengatakan: “Saya berdosa kalau saya terima begitu saja putusan Presiden yang tidak adil. Hankam tidak saya serahkan begitu saja.”

Dalam kesulitan begitu Menko Pertahanan Sarbini pergi berziarah ke makam Jendral Yani.

Sesudah itu gerakan gerakan Mahasiswa dll yang menolak Kabinet 100 Menteri, meminta pembubaran PKI dll terus marak hingga keluar SP 11 Maret. Pergolakan politik terus memanas hingga Soekarno jatuh. [MHT 22/12/17]

Penulis: M.Hatta TaliwangDirektur Institute Soekarno-Hatta.

Related Posts