FRAGMEN LELAKI PARUH BAYA
Depan rumah bambu menghadap ke laut
Di atas sebuah bukit kering tanpa kabut
Lelaki paruh baya berdiri bertudung masa silam
Menyaksikan ombak menghempas ke karang hitam
Lelaki paruh baya tersenyum, nyaris tertawa
Membayangkan dirinya karang hitam berwibawa
Lalu berjalan menuruni tangga batu
Dengan langkah anggun layaknya ratu
Berjalan seorang diri
Direnggut gundah dan sakit hati
Lelaki paruh baya berhenti
Istirah, mengumpulkan kembali tenaga
Meski tak tahu juga harus ke mana
Bersandar pada sebatang pohon
Berlindung pada rimbun daun-daun
Sengat serangga beracun membuatnya terbangun
Dari duduk ngungun, dari indahnya melamun
Ia hisap buru-buru sebatang rokok kretek kesukaan
Seperti menghisap setiap yang mengkhawatirkan
Ia takut pada tubuh yang dibaringkan
Ia cemas pada kaki yang dilumpuhkan
Terkulai lemas di atas rumput
Ia teringat apa yang membuatnya kalut
“Laki-laki ini pincang, tapi beristri dua,” tetangganya berkata
“Yang pertama mati karena tumor ganas,”kata yang lainnya
“Mungkin yang ke dua juga akan bernasib sama.
Sebab Si Pincang itulah tumor ganasnya.”
Seperti dilecut cambuk ia bangkit meradang
Ia tendang semua yang menghalang
Racun serangga membuatnya lemas
Racun mulut tetangga membuatnya ganas
Berjalan cepat sepenuh tenaga
Tak peduli cara jalannya memantik tawa
“Tak pernah terbetik di benakku. Membiarkan mati istri sendiri
meski kumadu. Aku telah berusaha sekuat tenaga, sekuat bantuan
pemerintah juga. Tapi kenapa mereka menyalahkanku?” umpatnya
Terus berjalan menyusur pantai seorang diri
Ia berdengung seperti lebah, memaki-maki
Hitam tubuhnya terbakar matahari
Terbakar geram dan sakit hati
“Hidup memang pincang, seperti kakiku.”
Langit temaram. Matahari segera sirna
Laki-laki itu masih terus berjalan entah ke mana
Esok hari, ketika matahari sempurna mengusir gelap
Laki-laki itu masih sempurna bermuka gelap
“Aku miskin. Itulah, satu-satunya, kesalahanku,” tegasnya
Dan kalimat itu menghiburnya, melebihi sandiwara
Sebab di tengah riuh gemerlap dunia, ia asing dan terluka
Ia tetap saja asing dan terluka, meski beristri dua
Tiga tahun kemudian terbukti kata orang
Istrinya yang ke dua juga bernasib malang
Diseruduk truk gandeng penuh muatan
Saat gegabah menyeberang jalan
“Lalu lintas di sini memang sadis!” umpat sang lelaki
Sesaat sebelum tubuhnya limbung tak tegak lagi
Sehabis pemakaman, ia tersedu di kamar pengap
Di tengah hidupnya yang mendadak gelap
Gerah di luar gerah di dalam, ia ingin mandi
Membersihkan diri dari debu dan duri
Dilepaskannya celana dan baju
Dilepaskannya beban duka kelabu
Namun sebelum sempat guyurkan air
Ia mengaduh sakit seperti disengat petir
Seekor laba-laba memagut kelaminnya
yang menempel dinding. Menyuntikkan bisa mematikan
ke tubuh yang kini dingin. Ia ingin berteriak tapi tak bisa
Ia ingin kembali berdiri tapi tak bisa
Lalu, ia pegangi kelaminnya
Hanya itu yang ia bisa
Di kamar mandi itu
Ia mendengar suara azan bertalu-talu
Ia masih memegangi kelaminnya yang kini biru
Ia mendengar suara mengaji di rumah tetangga
Ia masih memegangi kelaminnya yang kini luka
Ia mendengar isak tangis istrinya yang pertama
Ia masih memegangi ujung kelaminnya yang kini beda
Ia mendengar gelak tawa istrinya yang ke dua
Ia masih memegangi pangkal kelaminnya yang kini bara
Ia ingin mengucapkan kata-kata tapi tak bisa
Ia ingin seseorang datang membantunya tapi tak ada
Di ujung senja itu
Di kamar mandi tua tanpa lampu
Di ceruk duka kematian istri ke dua
Sesuatu menyentuhnya, dan ia
Tidak lagi memegangi kelaminnya
2014
CATATAN KECIL 3
Apa lagi musti dikatakan?
Setelah pedih penantianku diulur janji
Aku tak lagi berharap atau bermimpi
Lumpur kenyataan ini lebih pahit
dari kemiskinan dalam sebuah bait
Siapapun engkau yang mengerti aku
jangan mendekat dengan senyum palsu
atau menghibur dengan niat baikmu
tebal selimut duka yang membungkusku
tak akan pudar dengan slogan dan mantramu
Badai yang melemparku ke dasar jurang
tak mungkin henti oleh pikiran yang curang
Aku menghuni bagian terburuk dari imajinasi
mencari negeri dengan pahlawan tak pernah mati
2015
CATATAN KECIL 4
Apa lagi musti dikatakan?
Setelah tak ada lagi Puisi di tengah negeri
di kerumunan besar badut dan belantik sapi
dan sejarah mendadak ingkar dan melukai
Aku telah kehilangan kata atau cerita
yang bisa terus kusimpan di kepala
Aku hanyut dalam buaian berita
dan lagu dangdut, atau menyisih
ke dalam dekapan sinetron sedih
menyaksikan negeri tanpa Puisi
tanpa pohon penahan erosi
kata-kata mati
laku tanpa hati
2015
TANGAN PUSTAKAWAN
:Bersama Labibah Zain
Seumpama tongkat bagi si buta, tangan pustakawan adalah pemandu jalanmu di tengah rimba. Ia beri kau peta agar kau tahu di mana musti berada. Ia pelihara sepenuh jiwa apa yang kau malas merawat dan menjaganya. Tangan pustakawan adalah tangan karib para ilmuwan. Ia hargai ilmu pengetahuan lebih tinggi dari ia dihargai orang. Ia tak memandangmu sebelah mata, sebab semua pemustaka adalah tamu istimewa. Ia mungkin tak mempunyai apa yang kaucari, tapi ia tahu ke mana kau harus mencari. Ia mungķin bukan pelaku kebudayaanmu, tapi suka mendokumentasikan apa yang perlu, termasuk kebudayàanmu. Ia dekatkan padamu buku-buku, sebab ia ingin hidupmu lebih bermutu. Ia sajikan untukmu menu pengetahuan, sebab ia ingin hidupmu selamat dari bencana kebodohan. Ia bahagia melihatmu memetik buah dari hasil kerjanya, seperti petani bahagia saat panen raya. Seperti tàngan bidan membantu para ibu saat persalinan, tangan pustakawan membantu cerdik-pandai melahirkan kebijaksanaan. Beri ia kesempatan dan ia akan membuat pengetahuan yang terserak jadi bergunam. Beri ia kemudahan dan ia akan membuat kunci pembuka harta karun peradaban dunia. Tangan pustakawan adalah Tangan Pengetahuan. Satu yang ia mau: menyalakan lampu di kelam alammu, membebaskanmu dari belenggu.
2 Agustus 2016
*Aly D Musyrifa, alumnus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karya-karyanya tersiar di berbagai media massa baik lokal maupun nasional seperti Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Wawasan, Pikiran Rakyat, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Bernas, Jogja Pos, Rindang, Hai, Nona, Pelita, dll. Buku puisi terbaru mantan ketua Teater Eska ini adalah “Burung-Burung di Tiang Duka” (Interlude, 2013). Penyair yang menulis puisi sejak remaja ini juga dikenal sebagai seniman batik di The House of Poetic batik. Ia pernah tergabung dalam kelompok SAS (Studi Apresiasi Sastra). Bersama Hamdy Salad mendirikan MMPI (Mari Membaca Puisi Indonesia).