Budaya / SeniCerpen

Bola dan Mata – Cerpen Ruly R

NUSANTARANEWS.CO – Kakekku adalah pendongeng yang handal. Saat aku kecil, sering sekali dia bercerita tentang kisah si kancil dan kisah-kisah Abu Nawas. Saat aku mulai menginjak bangku SMP dan SMA dia tinggalkan dongeng-dongeng itu. Kakek lebih suka bercerita soal pengalaman masa mudanya. Dan satu hal yang tidak pernah lepas dari pengalaman kakek adalah tentang bagaimana dulu dia begitu piawai memainkan si kulit bundar.

Umur kakek mungkin sekarang sekitar delapan puluh tahun. Aku bilang mungkin karena sewaktu kutanya berapa umurnya, kakek hanya bercerita sewaktu dulu proklamasi kemerdekaan digaungkan, jari telunjuknya diarahkan pada anak tetanggaku yang saat ini usianya sekitar delapan tahun.

Kakek memang sudah renta tapi jika disuruh bercerita tentang pengalamannya masa dulu, dia dengan semangat mau membuka ingatanya yang masih tajam benar. Untuk hal itu aku sendiri heran bagaimana mungkin kakek masih ingat masa-masa mudanya. Bukan hanya ingatannya saja yang seakan masih segar tapi tubuh kakek juga tampak sehat padahal kakek adalah seorang perokok berat. Untuk rahasia tubuh sehat kakek, mungkin aku tahu jawabannya. Setiap hari kakek selalu bangun sebelum azan subuh berkumandang, dia minum air  sumur barang satu gelas atau dua gelas. Kakek juga selalu berjalan setiap pergi ke masjid padahal jarak masjid dari rumah kira-kira dua kilometer. Begitulah mungkin yang menjadi rahasia awet sehat milik kakek.

Seantero desa tentu mengenal kakek. Kakek dikenal bukan karena kemampuannya bermain sepak bola pada masa mudanya, dia dikenal karena kemampuanya memprediksi sebuah duka atau kematian yang akan datang. Masih aku ingat bagaimana di suatu sore saat aku sedang nonton siaran sepak bola di televisi tiba-tiba kakek mengatakan padaku, “Akan ada saatnya kapten tim harus meninggalkan lapangan dan ban kapten disematkan pada pemain lain.”

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Aku tidak mengerti kenapa kakek mengatakan hal itu. Kata-kata kakek kurasa aneh karena kapten kedua tim tidak ada yang di kartu merah wasit.. Tidak ada keinginan bertanya apa maksud ucapan kakek saat itu. Malam harinya sekitar pukul sepuluh, sebuah kabar duka hinggap di rumahku. Ibuku meninggal karena dia kecelakaan saat pulang kerja dari pabrik. Setelah kematian ibu, kakek lebih banyak diam dan bicara seperlunya saja. Berbeda dengan kakek yang dulu selalu mau dan pandai bercerita.

Dalam kesempatan lain kakek mengatakan hal yang aneh padaku bahwa dalam sepak bola ada sebuah perjuangan besar, akan ada pemain yang tidak kuat lagi bermain dan menyerah lalu meninggalkan lapangan. Aku sama sekali tidak mengerti maksud kakek dan jawabannya aku temukan keesokan harinya. Keponakanku menelpon dan mengatakan bahwa pamanku bunuh diri. Alasan pamanku bunuh diri karena usahanya bangkrut dan dia terlilit utang yang banyak.

Setelah kematian paman, Kakek masih juga tidak suka bercerita padaku. Dia hanya mau bicara seperlunya saja, bukan lagi kisah pengalaman hidupnya yang dia ceritakan padaku padahal aku rindu saat kakek bercerita tentang pengalaman-pengalamannya dulu.

Sore hari kakek biasa bersantai di depan rumah sembari menghisap kretek dan menikmati kopi yang biasa kubuatkan untuknya. Aku mengingat tiba-tiba kakek memanggilku dan mengatakan bahwa gelandang pekerja keras adalah salah satu pemain yang penting dan sentral dalam sebuah pertandingan meski namanya tak bakal setenar pencetak gol atau kapten tim. Tak lama berselang, kira-kira dua hari setelah kakek mengatakan hal itu ayahku meninggal karena sakit jantungnya kambuh saat bekerja. Ayah dilarikan ke rumah sakit tapi semuanya sudah terlambat.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

***

Pada hari Minggu di pertengahan bulan, Aku berangkat ke Jogja karena ada study tour dari sekolah. Pada suatu sore, sebelum keberangkatanku kakek tiba-tiba memanggilku dan mengajaku pergi ke lapangan desa untuk melihat anak-anak bermain sepak bola. Ada sebuah keraguan dalam diriku karena saat itu aku berpikir apalagi yang akan dikatakan kakek padaku. Aku takut jika nanti yang dikatakannya adalah sebuah kabar duka lagi karena kupikir selama ini yang dikatakan oleh kakek tentang duka tidak pernah meleset. Setidaknya itu tiga kali terjadi kepadaku.

Sampai di lapangan kakek hanya duduk dan memandangi riangnya anak-anak bermain sepak bola. Sesekali kulihat kakek tersenyum. Senyum yang benar-benar lepas. Kakinya diayunkan berkali-kali. Aku justru bingung kenapa kakek mengajaku ke lapangan tapi tidak mengatakan apapun, baik itu saat perjalanan menuju lapangan dan kini di lapangan itu sendiri. Aku juga kesal karena bagaimanapun aku harus menyiapkan barang bawaan untuk study tour besok.

“Sudah hampir maghrib. Ayo pulang!”, sebuah ajakan dari kakek yang membuyarkan batinku yang masih memendam kesal.

Saat itu mataku tiba-tiba menemu mata kakek dan ada getar yang berbeda di hatiku. aku langsung berdiri dan bergegas pulang bersama kakek. Di perjalanan pulang, tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut kakek.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

***

Candi Prambanan tampak bertambah gagah tersorot jingga sore. Aku memandangnya dari dalam bus yang kunaiki. Tiba-tiba disekitaran kawasan Prambanan bus mogok. Sopir dan kondektur turun mengecek apa masalahnya. Semua penumpang berhambur keluar tak terkecuali aku. Diantara penumpang yang keluar aku melihat seorang guru nyerocos dan mengomel tiada henti. Ada juga guruku yang memaki dan mengelurkan segala sumpah serapah pada sopir dan kondektur. Saat itu aku duduk saja di trotoar sembari jariku dari tangan kananku memainkan ponsel sembari bercengkrama dengan kawan-kawanku. Ponselku tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan masuk datang dan lawan bicaraku di ujung telepon memberi sebuah kabar. Kabar itu adalah tentang mata yang pernah menemu mataku di suatu sore yang tak pernah bisa kulihat lagi. Segala sesal berhimpit di dadaku, kenapa aku tak bisa mengerti bahwa mata yang kutatap kemarin mungkin ingin berkata bahwa ia ingin bermain sepak bola lagi, tapi di tempat lain. Yang bisa aku ingat hanya cerita dan senyum lepasnya di suatu senja.

Candi Prambanan yang gagah kini menatap mataku yang membeku dan layu berhias senja yang memberi duka.

 

Ruly R, Tergabung dan aktif di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4). Menyukai puisi dan cerpen. Bisa dihubungi lewat e-mail : [email protected]

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,078