Esai

Bicara Indonesia, Bicara Dunia

puisi, doa, diserang rindu, kitab puisi, puisi doa, puisi rindu, rofqil junior, nusantaranews
ILUSTRASI – Buku sastra Indonesia. (Foto: pixabay)

Bicara Indonesia, Bicara Dunia. Kalau ada seniman Indonesia yang mudah menerima dan mempercayai sesuatu tanpa mengujinya terlebih dahulu, maka ia bisa disebut sebagai seniman yang tidak kritis. Seorang yang begitu mudah percaya pada kabar burung, tanpa didukung bukti-bukti relevan, atau argumen yang masuk akal, ia akan mudah dipolitisasi, dimanipulasi atau disesatkan. Ia dapat pula disebut “delusinasi”, karena cenderung mempercayai sesuatu yang bertolakbelakang dengan data dan fakta yang sebenarnya di lapangan.

Setiap orang memiliki kecenderungan untuk mempercayai otoritas tertentu, baik pernyataan politisi, opini publik, bahkan dirinya sendiri. Hal ini diperburuk oleh kenyataan dalam dunia politik kita, bahwa banyak orang dengan salah menggunakan hak otoritas yang dimilikinya untuk memperdayakan pihak lain. Karena itu, seorang ilmuwan atau seniman terkenal, bisa saja terperosok oleh pikirannya yang tertutup, karena menganggap dirinya selalu benar dan mumpuni. Padahal, ia sama sekali belum pernah mengadakan pengujian berulang terhadap ide, pandangan, argumen, dan kesimpulan yang telah dibuatnya.

Seorang seniman yang baik senantiasa berpikir kritis, bahkan tiada henti mempertimbangkan dan menguji karya-karyanya dengan relevansi kenyataan di tengah masyarakat. Seorang yang berpikir kritis selalu sadar bahwa setidaknya ada dua kemungkinan dalam pandangan hidup manusia, yakni benar atau salah. Ia tidak pernah ragu dan malu, bahkan dengan kerendahan hati rela mengakui jika pikirannya salah kemudian mengoreksi pikirannya itu seturut bukti yang ada. Dan semua proses ini dilakukan tanpa mengenal kata akhir.

Jadi, sekuat apapun data-data sejarah yang tertuang dalam karya sastra, semisal novel Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer) tetap ada ruang-ruang terbuka untuk dipersoalkan. Pramoedya dengan legawa menerima kritik dari sejarawan Wertheim (Belanda), dan ia menerimanya sebagai masukan untuk perbaikan pada cetakan berikutnya oleh Penerbit Hasta Mitra, Jakarta.

Pikiran sebagai parasut

“Pikiran bagaikan parasut, keduanya bekerja pada saat-saat terbuka.” Demikian salah satu lirik lagu gubahan Frank Zappa. Pikiran dan parasut sama-sama berfungsi untuk menyelamatkan manusia. Parasut digunakan pada saat terjun, atau sebagai cara menyelamatkan diri pada saat terjadi kecelakaan di udara. Pikiran menyelamatkan manusia dari kebingungan, kekacauan, serta dari bahaya-bahaya penggunaan informasi secara sepihak. Sama halnya dengan fungsi pikiran, syarat bekerjanya parasut adalah keterbukaannya.

Novel Pikiran Orang Indonesia (POI) akan sulit dipahami orang Indonesia yang berpikiran tertutup. Karya sastra itu dihasilkan dari olah pikir dan olah rasa, sebelum dilakukan penulisnya dalam mengolah informasi dan data yang akurat. Ia dilakukan dengan penuh ketekunan dan ketelitian, sebagai bagian dari kegiatan mental di mana elemen-elemen sistem syaraf dapat bekerja dengan baik dan cermat.

Seperti diakui penulisnya, novel itu digarap laiknya pekerjaan jurnalistik, dengan lebih dulu menghimpun informasi yang dapat dipersepsi oleh manusia. Sedangkan kegiatan mengolah informasi meliputi kegiatan menanggapi dan mencipta informasi. Dalam proses ini, POI menanggapi informasi yang dimiliki penulisnya, serta menafsirkan makna dan maksud informasi, menganalisis pengaruh informasi, terutama yang menyangkut pelanggaran HAM di negeri. Penulisnya kemudian menganalisis dan menimbang-nimbang seberapa jauh keterangan-keterangan yang dikandung informasi itu penting bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia pada umumnya.

Ia bukan semata-mata khayalan dan karangan an sich. Proses berpikir dalam penggarapan novel psikohistori itu, selalu berkaitan dengan melibatkan data dan informasi yang kuat. Tanpa informasi, seorang sastrawan akan kesulitan berkarya. Semakin banyak informasi, semakin lancar penulis mengolah pikirannya yang terbuka untuk diaplikasikan ke dalam karya sastra. Kemampuan menyerap informasi mensyaratkan adanya keterbukaan dalam pikiran dan perasaan penulis.

Sedangkan, pikiran tertutup sama halnya dengan parasut tertutup. Meskipun manusia masih dapat berpikir, namun kegiatan berpikirnya lebih menyerupai kegiatan instingtif pada hewan. Kegiatan berpikirnya cuma sekadar pengulangan dari yang sudah dilakukan olehnya atau leluhur dan nenek-moyangnya.

Efek karya sastra

Penyebaran dan pertukaran pengetahuan lebih berkembang pesat melalui karya sastra. Budaya menulis menjadikan hasil karya manusia lebih tahan lama dan memiliki daya jangkau lintas negara dan benua. Dengan karya sastra, manusia mampu menghubungkan masa lalu, masa kini, bahkan menggagas apa yang akan datang. Setiap pembaca sastra dapat belajar dari orang-orang lain yang jauh jarak fisiknya lewat tulisan. Mereka bisa saling menanggapi satu sama lain. Dialog antar manusia, dan antar bangsa, dapat terjadi tanpa harus bertemu muka.

Sampai saat ini, kemungkinan manusia untuk berkembang terus menjadi pengamatan para sastrawan. Meskipun tak dapat dipastikan, tetapi melalui karya sastra, perkembangan manusia terus bisa dipantau dan dianalisis dari kemungkinan-kemungkinan baru yang dapat memacu kemajuan peradaban. Kemajuan yang dicapai manusia saat ini bukanlah sesuatu yang diperoleh dalam waktu singkat. Kemajuan itu dicapai lewat berbagai usaha dan perjuangan keras, tak terkecuali peran sastra melalui kepekaan para penulis dalam menafsirkan gejala alam, perilaku manusia, serta usaha-usaha manusia menemukan dan menciptakan hal-hal baru.

Karya sastra menginformasikan kemajuan-kemajuan yang sudah dicapai manusia dan bangsa-bangsa lain. Para penulis senantiasa belajar dari lingkungan dan pengalaman orang lain. Hasil belajarnya terus meningkat pada kualitas dan dimensi yang makin tinggi. Penulis yang baik senantiasa memliki daya observasi dan daya serap terhadap informasi yang tinggi. Di sinilah keterbukaan pikiran diperlukan sebagai kesiapan penulis untuk menerima dan mengolah pengetahuan-pengetahuan baru, berikut rujukan dan alternatif solusinya dengan baik. Saya kira, atas pertimbangan itulah KH Chudori Sukra merasa berkepentingan memperkenalkan novel Pikiran Orang Indonesia di beberapa harian lokal dan nasional, di antaranya pada opini “Agama Tanpa Akal dan Hati nurani” (Kompas, 21 November 2018).

Karya sastra yang baik memang dapat mengarahkan manusia pada pemahaman tentang kehidupan yang berkualitas. Seseorang akan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di seputar permasalahan yang dihadapinya, termasuk tentang cara-cara yang mungkin digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Penikmat karya sastra akan mengerti intisari masalah dan prinsip-prinsip umum penyelesaian masalah. Ia menyadari bahwa cara yang digunakannya hanyalah salah satu cara – bukan satu-satunya – sehingga ia sanggup membuka diri pada kemungkinan cara lain yang lebih baik. Ia pun sanggup menggunakan cara baru yang lebih bermaslahat, meskipun hal itu tidak (belum) dikenal oleh kebanyakan orang.

Kompleksitas pikiran

Meskipun sebatas kognisi dan afeksi, para pembaca karya sastra mampu mendapat pengalaman dengan menyelami seluk-beluk tokoh dan peristiwa yang terungkap di dalamnya. Ia mampu berempati, bahkan bersimpati pada tokoh-tokoh yang dikaguminya. Karena itu, penikmat karya sastra punya kesempatan untuk berpikir, merasa, dan menghayati dunia dengan menggunakan sudut pandang tokoh-tokohnya. Pengalaman yang memberi kesempatan bertukar peran (role taking) dengan orang yang memiliki latar belakang berbeda, akan meningkatkan kemampuan seseorang dalam menilai sesuatu melalui perspektif yang beragam. Dengan kemampuan melihat masalah dari berbagai sudut pandang, ia dapat melihat berbagai alternatif pemecahan masalah yang dengannya akan meningkatkan kemampuan memecahkan setiap persoalan yang dihadapinya.

Membaca karya sastra yang beragam akan memperkaya ilmu dan wawasan, serta mampu meningkatkan cara berpikir kritis, mempercepat komunikasi dan proses pemahaman nilai-nilai baru. Pertukaran informasi melalui karya sastra, akan menghasilkan pengertian yang menyeluruh tentang pikiran dan perasaan, atau tabiat dan karakteristik khas suatu masyarakat tertentu, sebagai cerminan dari penduduk masyarakat dunia secara keseluruhan.

Demikian diutarakan oleh penulis novel POI pada acara bedah bukunya di kampus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Katanya, manusia memiliki pikiran intersubyektif atau kemampuan untuk mengerti dan memahami pikiran dan perasaan orang lain, serta menyerap informasi-informasi dari orang lain dengan baik. Ia mampu memahami mengapa seseorang mengemukakan suatu pendapat, apa yang melatarbelakanginya, serta untuk tujuan apa. Pemahaman itu mengandung pengetahuan tentang banyaknya pendapat yang berbeda-beda, dan masing-masing memiliki kemungkinan benar maupun salah.

Oleh karena itu, menampilkan beberapa tokoh aktivis HAM seperti Munir, Wiji Thukul, Marsinah hingga Udin Syafrudin (dalam novel POI) bukan semata-mata keinginan atau pertemanan penulis dengan para tokoh, melainkan karena panggilan kemanusiaan, di mana para tokoh tersebut adalah bagian dari generasi bangsa yang sengaja “dihilangkan” oleh sistem kekuasaan. Jadi, bukan semata-mata nilai keindonesiaan yang ditampakkan penulis, tetapi juga menyangkut universalitas karya sastra yang sedang mewakili zamannya.

 

Oleh: Malik Feri Kusuma, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta

 

 

 

 

 

 

 

Catatan redaksi: Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis seperti yang tertera dan tidak mewakili gagasan redaksi nusantaranews.co

Related Posts

1 of 3,051