NUSANTARANEWS.CO – Ada hal menarik dari Candi Sukuh yang terletak di lereng Gunung Lawu Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Berbeda dengan candi-candi peninggalan kerajaan Majapahit pada umumnya, Candi Sukuh ini memiliki gaya yang tak lazim.
Secara arsitektur dan relief-relief yang ada pada bangunan, Candi Sukuh ini memiliki corak fisik nyaris serupa dengan peradaban Suku Inca di Peru dan Suku Maya di Amerika pra-Kolombus.
Bandingan antara Candi Sukuh dengan beberapa bangunan peninggalan suku Inca dan Maya, praksis sulit untuk membedakannya. Menarik untuk dikupas, mungkinkah ini ada kaitannya dengan geneologi bangsa Nusantara dengan Suku Inca dan Maya?
Sebagaimana diketahui bahwa Candi Sukuh dibangun pada abad XV. Saat masuk era Kerajaan Majapahit di bawah raja Brawijaya yang berkuasa di Jawa Tengah. Candi Sukuh dibangun untuk menunjang kegiatan upaca agama Hindu.
Menurut Saraswati dalam makalahnya yang dipresentasikan di Fakultas Ilmu Budaya UGM menyebutkan bahwa struktur bangunan Candi Sukuh disebut menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Dimana bangunan candi di Jawa semestinya harus berbentuk bujur sangkar dan di tengah-tengahnya sebagai tempat paling suci.
Hal ini berbanding terbalik dengan Candi Sukuh yang menyimpang dari aturan tersebut. Banyak pakar sejarah menyebutkan Candi Sukuh dibangun ketika era kejayaan Hindu tengah memudar dan mengalami pasang surut. Saat itu, corak kebudayaan yang ada lebih banyak didominasi kebudayaan dari India (baca agama Hindu dan Budha).
Situasi inilah yang kemudian memicu kebudayaan asli Nusantara terangkat ke permukaan kembali. Yakni kebudayaan pra-historis sebuah kebudayaan Megalitithik. Sehingga mau tidak mau budaya-budaya asli Nusantara tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada bangunan Candi Sukuh.
Dalam catatan sejarahnya, Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan pada tahun Saka 1400 (1478 M). Sementara itu, saat bersamaan pada tahun 1442, bangsa Inca justru sedang gencar melakukan ekspansi jarak panjang di bawah pimpinan Pachacutec, yang namanya berarti ‘pengocok bumi’. Ia membentuk Kekaisaran Inca (Tawantinsuyu), yang akan menjadi kekaisaran terbesar di Benua Amerika pra-Kolumbus.
Uniknya lagi tentang keberadaan Relief Garudeya menggambarkan seseorang dengan sayap di punggung dengan wajah yang tidak menyerepuai manusia, merupakan jenis relief yang jarang dijumpai di candi-candi di Nusantara.
Sementara itu, hal serupa juga ditemui di Candi Panataran. Candi ini berada di kota Blitar. Dimana secara arsitektur di gambar riliefnya secara nyata memiliki corak sama dengan prajurit suku Maya. Ada yang menduga relief yang terpahat di candi ini memiliki kaitannnya dengan Suku Maya. Candi Panataran sendiri pada dasarnya merupakan candi yang dibangun pada masa kerajaan Singosari hingga Majapahit berkuasa.
Selain itu, pada relief bergambar perahu, hingga naga yang ada di Candi Panataran secara fisik mempunyai bentuk seperti kuil-kuil di suku Maya. Relief di Candi Panataran ada yang menggunakan rumbai-rumbai mengingatkan orang pada hiasan orang di Amerika.
Guru Besar Arkeologi UI Agus Aris Munandar berpendapat bahwa soal relief di Candi Panataran, dirinya membeberkan bahwa kemungkinan para pemahat Jawa kuno terinspirasi dari tamu-tamu yang datang ke Majapahit dari Nusantara. Majapahit saat itu sudah menjadi pusat kekuasaan di Nusantara dan banyak mendapat kunjungan dari berbagai utusan.
Dirinya juga beranggapan bahwa di bawah udara yang tropis, bisa saja ada kesamaan relasi budaya. Contoh misalnya anak panah, semua bangsa sama bentuknya seperti itu. Jadi ini namanya inovasi, kreativitas para pemikir lokal. Sehingga soal kesamaan corak kebudayaan Nusantara dengan suku Inca dan Maya, bisa jadi hanya kebetulan. Tapi benarkah itu bisa disebut kebetulan? Atau sebaliknya ada hubungan geneologi antara peradapan Nusantara dengan suku Inca ataupun Maya masa lalu yang tidak terlacak oleh sejarah? Entahlah.
Penulis: Romandhon