Cerpen

Bajing Tengik

Ilustrasi tindakan penganiayaan dan kekerasan. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Bajing Tengik

Lelaki itu tampak beringas. Ia berlari meningalkan rumahnya. Matanya terbelalak seolah melihat sesuatu yang aneh. Wajahnya merah padam. Nafasnya tersengal-sengal. Tangannya mengepal erat, urat-uratnya bak cacing yang menggeliat. Derap langkahnya bak petir yang menggelegar, membuat getir orang-orang yang melihatnnya.

Dalam hati, lelaki itu berujar, “Awas kau Parman, kutebas lehermu!”

Baginya ditelanjangi ketika perlombaan, sama halnya menginjak harga dirinya. Lelaki itu semakin tidak terima, sebab selain kambingnya dinyatakan kalah pada saat perlombaan, istirnya yang telah melahirkan satu keturunan kerap kali di ganggu oleh Parman. Secara akal sehat kambingnya memang menang dalam perlombaan antar kampung tempo hari lalu. Tapi mengapa kambingnya harus kalah dari kambing Parman? Ada kenjanggalan yang mengucek tempurung kepalanya, membuat ia harus
menelusurinya.

Jantungnya berdetak kencang, benda-benda mati yang ia temui seolah bergetar. Bahkan kerikil yang ia pijak satu-persatu terlempar laksana di hempas angin. Kemarahannya tak bisa ia bendung, sedang baginya, harga diri tidak bisa ditawar-tawar, karena bagi Rakmin harga diri adalah nyawa, yang bila disakiti harus nyawa pula.

Dikampungnya, lelaki itu sering di panggil Rakmin, mungkin selaras dengan badan yang kerontang. Dan ia tidak terkenal congkak sekali pun musuhnya bajing kelas kakap. Singkat kata, Rakmin tak pernah membedakan atau memilah musuh, sebab dalam matanya ia tak pernah pandang bulu. Karena rasa takut yang ia punya hanya kepada Allah semata.

Hari-harinya, Rakmin mengembala kambing di bukit sejuk penuh rerumput hijau. Beberapa bukit—juga ia datangi—yang tak jauh dari kampungnya. Suatu waktu, ia pernah tenggelam dalam ciptaan Tuhan, hanyut dan lupa pada dirinya sendiri. Di sisi lain karena hanyut dalam kekaguman, ia juga meminta pada pencipta, kalau ia ingin selamat dalam cobaan apapun yang Tuhannya berikan. Saat sampai dihalaman rumah Parman. Rakmin berteriak lantang.

“Kalau kau berani kita tumpahkan darah di halaman ini!”ucap Rakmin seakan urat lehernya hendak putus.

Parman yang mendengarnya hanya menghisap rokok dan sesekali menyeruput kopi yang masih mengepul. Matahari terus merangkak di bukit Tongguh, satu bukit yang setiap pagi menghalangi sinar mentari.

“Parman! Kau dengar ucapku?”tanya Rakmin lantang. Parman berdiri, melangkah ke dalam rumah.

“Kau pengecut Parman!”tambah Rakmin meihat Parman yang masuk ke rumahnya.

Parman bukan pengecut, ia ke dalam hanya mengambil celurit yang menggantung di balik pintu kamar tidur yang setiap malamnya Parman bacakan mantra-mantra. Tak lamam Parman keluar dengan wajah beringasnya di tambah dengan kaos lurik puti-merah dan sodak yang menggulung di kepalanya. Semakin tampak saja kalau ia benar-benar bajingan.

Rakmin tak ciut nyali, ia semakin membusungkan dada, meski tubuhnya ringkih dan tampak jelas nafasnya mulai tak teratur. Celurit yang Rakmin pengang semakin ia genggam dengan kuat sampai tampak bergetar pelan dan kebenciannya semakin menjalaran.

Dikampung itu pula, Parman lebih punya nama, ketimbang Rakmin yang memang bukan apa-apa. Beda dengan Parman, yang sesuai nasab memang keturunan bajing dan dari dulu keluarganya terkenal bengis-bengis, tak melihat musuh dan Parman selalu jemawa terhadap pendahulunya ketika hendak bertarung.

Celurit yang Parman pegang adalah celurit warisan dari kakeknya. Konon, kata kakeknya, celurit itu terlalau banyak menebas leher, bahkan sekarang celurit itu masih bau anyir. Jeritan orang yang tertebas itu terkadang terdengar, apalagi saat Parman hendak mendoakannya. Tapi meski Rakmin tahu kalau celurit yang Parman pegang adalah celurit warisan, ia tetap tak ciut nyali sedikit pun.

Sambil tersenyum sinis Parman berucap, “Apa maumu kesini, apa kau hanya ingin meyerahkan nyawamu saja, sungguh malang nasibmu, Rakmin?”ucapnya di iringi gelak tawa yang menggelegar.

Rakmin tidak ciut sedikit pun. Malah ia semakin geram dan kalimat malah yang Parman lontarkan memantik semangatnya.

“Tentu tidak, aku hanya ingin menagih nyawamu, Parman! Bajing tengik!”Rakmin tidak mau kalah dengan gelak tawa Parman.

Seumur hidup, Rakmin tidak pernah carok, ia terlahir dari keluarga yang agamis, sehingga lungkungannya ramah tamah, tak ada sengketa. Bahkan dalam riwayat hidupnya ia pernah nyantri kurang lebih enam tahunan.

Selama menjadi santri Rakmin juga belajar ilmu kanuraga, meski tidak terlalu mahir. Sehingga banyak yang berangapan bahwa Rakmin alim dalam hal etika dan murah senyum meski ada yang mengejeknya. Tutur bicara yang halus nan lembut, menguatkan dirinya kalau disegani dalam segala hal. Apalagi ketika berpapsan dengan orang, ia takkan sungkan menarik senyum.

Parman mendelik, “Apa kau bilang, dasar anak kencur!” wajah Parman semakin beringas. “Apa kau mau menagih nyawaku, jangan mimpi kau terlalu kerontang, Rakmin?”tambah Parman mengejek fisik Rakmin.

“Aku hanya ingin nyawamu sebagai obat kekecewaanku di perlombaan balap kambing tempo hari,”ujar Rakmin panjang.

“Kau tidak mau mengakui hah!”

“Justru sebaliknya. Mengapa kau tidak mau mengakui kekalahanmu atau kau takut martabatmu terinjak-injak,”kaki kiri Rakmin agak kedepan.

“Apa kau tidak lihat waktu itu ada wasit?”

“Iya, aku melihatnya, karena setiap permainan pasti ada wasit.”

“Lalu?”sergah Parman.

“Lalu kau bersekongkol dengan wasit itu untuk memutuskan bahwa kambing kau yang menang,”jawab Rakmin dengan mimik wajah orang marah.

“Maksudmu? Kau semakin tak masuk akal,”Parman mengecoh pembahasan.

“Bajing tengik, selalu bersilat lidah untuk bersembunyi demi melindungi martabat keluargamu, supaya tidak ternodai, sungguh naif kau Parman,”Rakmin tak henti-henti menyamakan dengan fakta yang benar-benar terjadi tempo hari.

Sewaktu perlombaan, ia melihat ada yang janggal. Ia merasa ketika perlomba belum dimulai. Rakmin melihat Parman berbicara berdua dengan wasit. Sempat ia melihat Parman dan wasit itu menampakkan mimik serius dan gestur tubuh yang seolah dipaksa, ketika ia tatap disamping penggung yang berduaan dengan Parman. Tetapi Rakmin waktu itu hanya menanggapi biasa saja. Karena sesuai ajaran yang telah ia dapat sewaktu di pondok, tidak boleh berprasangka buruk terhadap siapapun, meski itu harus musuh sekalipun.

Benar saja, ketika semua kambing hampir sampai di garis finis yang waktu itu kambing Rakmin berada dipaling depan, dan tak lama kambing Rakmin lebih dulu melewati gari finis dan keluar sebagai pemenang, dan itu jelas. Sedang kambing Parman yang jaraknya tidak jauh hanya mengekori.

Senyum mengembang di bibir Rakmin waktu itu. Wajahnya berseri seolah pelangi yang timbul setelah hujan di sore hari. Tapi, ketika pengumuman pemenang, kambing Rakmin dinyatakan kalah oleh wasit dan kambing Parman sebaliknya. Keluar sebagai pemenang.

Ketika ditanya pada wasit, ia hanya bilang.

“Kambingmu melanggar etika perlombaan,”ucap wasit yang tak lain adalah teman dekat Parman. Rakmin tidak percaya dan alasan yang diberikan sungguh tak masuk akal baginya.

Percakapan di halaman rumah Parman itu semakin panas dan mengalir, serta saling memojokkan satu sama lain.

“Atau semua buyut-mu adalah bajingan tengik!”

“Kurang ajar, kutebas lehermu!”ucap Parman.

Parman berlari dengan celurit yang ia acungkan ke udara. Mulutnya berteriak kencang. Rakmin tak bergerak sedikitpun, ia hanya menatap gerak Parman dan memasang kuda-kuda. Siap menyebat serangan Parman.

Tak lama bunyi besi yang beradu terngiang seketika, membuat bising di pagi itu. Seolah menjadi irama kematian yang tak lama akan bertandang. Burung-burung yang sedari tadi bersiul, kini lenyap, diam dan malah asyik menikmati kematian yang akan segera bertandang.

Pertarungan semakin sengit. Secepat kilat, lengan Rakmin terkena sebetan. Rakmin mengerang kesakitan. Rakmin tidak terima, ia semakin mempercepat gerakan meski lengan kirinya terasa sakit. Satu sebetan mengenai dada Parman. Rakmin tersenyum, “Hanya itu?” ucap Parman.

Rakmin kembali mengayunkan celuritnya. Dan satu sebetan menegnai dada bidang Parman lagi. Sekali lagi Parman hanya tersenyum.

“Celuritmu tumpul anak kencur!”ejeknya menahan sakit.

Darah berceceran membentuk titik di halaman yang gersang. Panas mulai terasa, menyengat kulit yang juga terbakar oleh api cemburu.

Rakmin menggerang panjang. Perut dan dada Rakmin terkena sebetan. Parman tertawa menggelegar. Membuat burung-burung terbang longgar, melintasi cakrawala. Matanya terkena sinar silau celurit Parman. Rakmin mencoba menebas. Tapi naas, silau itu malah membuat celurit yang ia pegang terpental karena tidak kuat menahan serangan Parman dan terbang melayang, tergeletak di bawah pohon siwalan.

Parman tidak menyiakan kesempatan, ia kembali menebas leher Rakmin. Tapi secepat tupai melompat ia bisa menghindar, bahkan naas juga, celurit yang Parman pengang mampu direbut tangan kanan Rakmin dan tanpa pikir panjang, ia balik menyerang, karena kurang siap leher Parman malah tertebas, tak lama Parman terkulai, tarkapar di kaki Rakmin dengan bersimbah darah.

Dari balik pintu, istri Parman menjerit histeris, melihat suaminya terkapar dengan cucuran darah di lehernya, menghancurkan cinta gila pada dunia. Rakmin berkata pada Parman yang sedang tak ada nyawa. Kau terlalu congkak Parman. Ucapnya sambil menahan sakit. Sebelum beranjak Rakmin meludahi mayat Parman. Istrinya semakin histeris, lengkingan tangis sayu yang berirama di hari bau amis.

 

 

 

 

Penulis: Muhtadi ZL, Santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa dan Pengurus Perpustakaan Lubangsa serta aktif di Komunitas Cinta Nulis (KCN) dan Komunitas Penulis Kreatif (KPK).

Related Posts

1 of 3,057
  • slot raffi ahmad
  • slot gacor 4d
  • sbobet88
  • robopragma
  • slot gacor malam ini
  • slot thailand