API PERAWAN MADURA TAK PERNAH PADAM
Untuk sahabat: Mahwi Air Tawar
Kuciumi lekuk tubuhmu
Yang lahir dari dekapan benua hingga punggung khatulistiwa
Menyusuri lautan madu bagi hidup segala
Dari sisa-sisa payudara dan rahim-rahim cintamu
Sumenep, kabarkanlah pada angin sakal
Sebelum Wiraraja habis kekuatan
Sebab, apa arti sebuah makna
Tanḍhu’ majâng serta Olle-Ollang
Setelah pasir Legghung mulai dirambat tambak udang
Kelak, dimana upacara petik laut di laksanakan
Pamekasan, di taji lancormu kuselipkan nyanyian gerbang salam
Sedalam hisapan linting tembakau
Sebelum para petani pergi dengan dada kerontang
Sebab hanya kita yang paham
Garis tubuh dan batas cakrawala sebelum datang si tuan jalang
Sampang, ini bukan sajak penghabisan
Lantaran didih garammu adalah pamor-pamor kerinduan
Sebagaimana pertemuan lelaki nelayan dengan ibu-ibu penjual ikan
Dan Pasar Tanjhung hanyalah riwayat kenangan bagi mereka yang berpulang
Bangkalan, kutenun batik lesapmu
Hingga balut putih tulang, melarungkan sulur-sulur impian
Mari bergegas, singsingkan lengan baju
Menyambut derap sepatu pelancong dan para tetamu
Jadi, siapa hendak menjadi arang
Bagi setiap desah api perawan
Sementara kerapan-kerapan doa
Empat tugu semesta raya
Begitu mengalif ke ubun-ubun langit
Bung, karena laut tak pernah kering, lautkah aku?
Pamekasan 2017
TEGAK LURUS DENGAN AREK LANCOR
Untuk Ar
Maka, kubiarkan tubuh ini mengendarai malam
Seperti penjual kopi, perlahan mulai mencemaskan pelanggan
Barangkali inilah caraku meluruskan kerinduan
Di tugu arek lancor, ke arah jam sembilan
Kau di sana, aku di sini
Pohon tidak tumbuh tergesa-gesa, ucapmu
Aku tak tau mana lebih sunyi
Dering telepon atau sajak-sajakku
Sebab, di sepertiga malam kau sanggup menubuh dengan waktu
Ada yang tak biasa malam ini
Tentang jejak petualangan yang makin samar
Hingga beberapa sketsa mimpi yang belum dirampungkan
Ternyata, tak ada yang lebih tabah dari kesendirian
Hanya di dalam kalbu
Perjumpaan kau dan aku terasa menggebu
Kemudian kita tak pernah menyangka
Jarak adalah batas kepastian
Sebelum kita melancor di tugu yang sama
Ar, Pukul 02.00 dini hari
Wajahmu makin tengelam ke dasar kopi
Pamekasan 2017
MEMBACA TANDA-TANDA
Kepada Guru: Mamat Ruhimat
Membaca tanda-tanda dirimu
Barangkali tak perlu kuselami debur ombak di lautan
Melihat usia yang meranggas dari keriput arimu
Juga sisa-sisa angka kalender
Yang jatuh di halaman rumahmu
Aku masih teringat saat membaca koran waktu itu
Tentang seorang lelaki sederhana
Yang terus menggadaikan mimpinya
Di kota-kota, di desa-desa, menunjuk ke langit, lalu ke bumi
Tanpa jaminan, pada mimpi yang ditebusnya dengan doa airmata
Barangkali kau sudah tau
Usia memang bukan patokan untuk menggadaikan kesetiaan
Seperti katamu; segala yang datang pasti akan pergi
dan setiap kepergian akan singgah di tempat lain lagi
Dan kini,
Ketika matahari tenggelam ke ujung paling langit
Segala riwayat dan kesaksian para malaikat
Kau senantiasa diberangkatkan oleh cahaya yang sama
Ulama, umaro’ lebur dalam satu
Pamekasan 2017
Sugik Muhammad Sahar lahir di Pamekasan, 30 Mei 1985 Desa Polagan Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan 69382. Alumnus Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Madura. menulis puisi menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa madura beberapa cerpen, artikel kebudayaan madura. Karya-karyanya dipublikasikan di: Radar Madura, Jawa Post, Sastra Sumbar, Mimbar Pendidikan Agama Islam dan lainnya. Antologi bersama penyair lain: Kumpulan Puisi Penyair Empat Negara “Pasie Karam” Meulaboh Aceh Barat 2016, Kumpulan Puisi “Kopi Penyair Dunia” Tekangon Aceh Tengah 2016, Anugerah Penerbit Mayor “Lusi Keluar Kota” 2010 dan Pada tahun 2009 memenangkan Lomba Cipta Puisi Spontan Tingkat Mahasiswa se Madura yang diadakan oleh Teater Akura (Universitas Madura).
Saat ini mengabdi di MA/MTs Al-Hamidy Banyuanyar Putri. Email [email protected] (0853-3648-6688).