NusantaraNews.co – 16 Oktober 2017 Jakarta akan melantik Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Riuh pilkada rasa pilpres telah berlalu namun seperti tsunami Aceh (2004), ada puing-puing bangunan yang harus dibangun kembali. Bangunan keharmonisan yang telah runtuh karena perbedaan pilihan pilkada.
Selain bangunan kebhinnekaan, bangunan lain yang cukup menyedot energi bahkan melibatkan penguasa pusat, adalah soal reklamasi. Proyek besar ini menyeret penguasa pusat untuk membela kepentingan Asing. Perang tak seimbang ini bakal memakan korban, Anies-Sandi berpeluang menjadi korban pertama.
Belajar dari proyek Meikarta yang terus berlanjut walaupun Dedy Mizwar mempertanyakan keabsahannya. Apa daya, penguasa pusat memiliki regulasi yang lebih tinggi dari daerah. Kasus yang sama juga pernah terjadi di Aceh, Pasal 571 UU Pemilu yang mencabut dua pasal UUPA yakni pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), ayat (4).
Dengan demikian akan tipis sekali peluang Anies-Sandi melawan penguasa pusat. Harus diakui bahwa pusat lebih memihak kepentingan Asing dari pada anak negerinya sendiri. Pemerintah pusat ngotot reklamasi harus dilanjutkan. Begitu bernafsunya pusat agar reklamasi dilanjutkan pastilah ada tujuannya.
Publik cepat lupa dengan video Ahok dan Tomy Winata yang membahas reklamasi. Apakah berarti reklamasi disponsori orang-orang kuat, mereka-mereka yang selama ini menjadi donatur kampanye Jokowi menuju RI-1? Satu hal yang pasti, pengembang reklamasi merupakan para Taipan.
Anies-Sandi memang menolak reklamasi namun mereka belum tentu bisa menghentikan reklamasi. Ada dua hal berbeda, menolak dan menghentikan reklamasi. Tugas berat Anies-Sandi untuk menjelaskan kepada konstituen mereka, benar dalam kampanye mereka berjanji akan menghentikan reklamasi namun kekuasaan mereka terbatas.
Saat ini sekalipun Anies-Sandi sudah menolak reklamasi, setelah dilantik akan menghentikan. Namun demikian, publik harus sadar bahwa kekuasaan Jokowi diatas Anies-Sandi. Publik harusnya mendesak Jokowi menghentikan reklamasi bukan mendesak Anies-Sandi. Tampaknya publik termakan isu para pendukung Ahok yang kecewa, mereka menghembuskan reklamasi sebagai tugas Anies-Sandi semata.
Anies-Sandi bisa saja menghentikan proyek reklamasi bila mereka pemerintah pusat. Namun mereka hanya kepala daerah yang merupakan bawahan kepala negara. Mereka boleh saja aksi bersama rakyat menolak reklamasi akan tetapi keputusan tetap di tangan kepala negara. Wewenang mereka dibatasi regulasi, melebihi itu mereka akan melakukan inkonstitusional.
Konstituen Anies-Sandi harus sadar bahwa pemerintah Jokowi ingin reklamasi berlanjut. Siapapun Gubernur DKI Jakarta, yang dapat menghentikan reklamasi hanya Presiden. Itu artinya jangan salahkan Anies-Sandi bila mereka gagal menghentikan reklamasi. Bila ingin salahkan maka salahkan pemerintah pusat, mereka yang begitu bergelora melanjutkan reklamasi.
Perda tidak akan mampu mengalahkan UU, perppu, keppres, maupun regulasi diatasnya. Itu artinya sehebat apapun Anies-Sandi tidak akan mampu menghentikan reklamasi. Lalu bagaimana dengan janji kampanye? Mereka berjanji karena itu keinginan mereka dan keinginan rakyat. Mereka akan laksanakan janji itu dengan menentang keberlanjutan reklamasi, akan tetapi mereka dipastikan tidak akan mampu menghentikan reklamasi kecuali Jokowi setuju hentikan.
Jokowi sangat lihai, urusan reklamasi dia serahkan pada Luhut B. Pandjaitan. Jokowi paham, reklamasi akan menurunkan elektabilitasnya, sebagaimana Ahok pada pilkada yang lalu. Saat yang sama Jokowi juga tak ingin tercoreng namanya, dia ingin menyenangkan hati para pengembang proyek reklamasi.
Reklamasi cukup menguras energi Anies-Sandi, sesuatu yang diluar kuasa mereka namun dipaksakan harus berhenti. Sementara banyak program lain yang akan terbengkalai karena kesibukan mengurus reklamasi. Publik yang begitu berharap reklamasi dihentikan akan berteriak, mereka kecewa pada Anies-Sandi. Situasi itu semakin memojokkan Anies-Sandi, riuh itu membuyarkan fokus pada program-program lainnya.
Saat itu terjadi, Anies-Sandi harus sadar bahwa program mereka bukan hanya menghentikan reklamasi. Banyak program mereka yang harus dilaksanakan selama 5 tahun pemerintahan. Terus berfokus pada reklamasi sementara yang dihadapi Presiden, hanya akan membuat Anies-Sandi tersandera reklamasi. Dilema ini akan dihadapi Anies-Sandi setelah mereka dilantik, sebagai pelayan warga Jakarta mereka harus berhadapan dengan dua kekuatan besar; Presiden dan warga Jakarta.
Anies-Sandi butuh langkah cerdas dalam menghadapi problema tersebut. Bisa saja Anies-Sandi menerima reklamasi dengan mengatakan bahwa reklamasi diluar kuasa Gubernur. Jawaban ini tentu saja mengecewakan bagi yang tak paham regulasi. Namun demikian, hal itu lebih realistis dari pada terus memberi harapan palsu. Mengapa? Jelas sekali bahwa reklamasi berlanjut merupakan kehendak Presiden. Anies-Sandi tak akan mampu melawan secara regulasi.
Berbohongkah Anies-Sandi saat kampanye akan hentikan reklamasi? Tidak, mereka jelas tidak berbohong dengan niat mereka, hanya saja yang memilih mereka karena isu reklamasi kurang cerdas. Bagaimana mungkin Gubernur bisa menang melawan Presiden, logika sederhananya begitu. Situasi ini memang sulit dipahami, namun konstituen Anies-Sandi harus sadar bahwa negara kita bukan federal akan tetapi negara kesatuan berbentuk republik.
Usaha paling kuat yang bisa dilakukan Anies-Sandi mengajukan judical review atas regulasi reklamasi. Selain tidak ada, jalan terbaik bagi konstituen Anies-Sandi ialah memahami situasi. Jangan ikut-ikutan pendukung Ahok menghardik Anies-Sandi yang nanti tidak mampu melawan Jokowi. Butuh pergantian kepemimpinan nasional untuk menghentikan reklamasi. Selamat bertugas Anies-Sandi, pastikan rakyat Anda sejahtera dan peganglah amanah secara istiqomah.
Penulis: Don Zakiyamani, Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Islam (JIMI)