NUSANTARANEWS.CO – Kepala Pusat Studi Ketahanan Nasional Universitas Nasional (UNAS), Iskandaryah Siregar, mengungkapkan bahwa Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dapat dimaknai sebagai pintu atau gerbang interaksi global antar negara di sektor ekonomi.
MEA sendiri, menurut Iskandarsyah, sedang menjadi perbincangan hangat di seluruh penjuru Asia Tenggara bahkan seluruh dunia, sebagai salah satu proyek utama komunitas negara-negara Asia tenggara.
Sebab, Iskandarsyah menjelaskan bahwa MEA merupakan suatu kontruksi sistem ekonomi yang bertujuan untuk mengintegrasikan perekonomian Asia tenggara yang memiliki keragaman daerah dengan total penduduk sebanyak 600 juta orang, dan sekitar 260 juta orang diantaranya adalah rakyat Indonesia.
Selain jumlah penduduk Asean yang begitu besar, lanjutnya, produk domestik bruto gabungannya pun bisa mencapai US$2,4 Triliun.
“Bayangkan Negara kita dibanjiri oleh puluhan juta Tenaga Kerja Asing yang tentu saja akan lebih diprioritaskan oleh perusahaan asing asal negara mereka yang (sudah terlanjur) membeli izin di Indonesia,” ungkapnya dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Prospek dan Strategi Menghadapi MEA, Membuktikan Cinta Produk Indonesia’ di Gedung Smesco, Jakarta, Senin, (19/9/2016).
Jika tidak siap menghadapi MEA ini, Iskandarsyah menuturkan, bahwa perdagangan dan aset-aset strategis di Indonesia akan dikuasi oleh pihak asing. Alhasil, di negeri sendiri, generasi kita akan menjadi pelayan bagi orang-orang asing.
Secara umum, Iskandarsyah menyebutkan, MEA dapat didefinisikan menjadi empat pilar, yakni menciptakan pasar dan basis produksi tunggal, meningkatkan daya saing, mengembangkan pembangunan ekonomi, dan lebih mengintegrasikan ASEAN ke dalam pusara ekonomi global.
“Dengan mengedepankan aliran bebas barang dan jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil sebagai faktor yang mensinergikan merupakan ekspektasi yang mengarah pada manifestasi pencapaian keberhasilan kelompok asing,” ujarnya.
Sebenarnya, menurut Iskandarsyah, MEA ini merupakan sebuah proyek cetak ulang atau imitasi dari proyek Uni Eropa yang gagal dan rawan bencana. Sementara itu, Asia Tenggara justru malah diusulkan untuk mencetak ulang pola tersebut. “Uni Eropa terkesan hanya melayani kepentingan pemodal-pemodal besar,” katanya.
Untuk itu, Iskandarsyah menyarankan agar sebagai bangsa Indonesia, semestinya membela nasionalisme. Sebab, MEA tidak memberikan arti buat generasi kita ke depan. “MEA merupakan konsolidasi supranasional yang menempatkan mereka (Asing) di podium utama,” ungkapnya lagi. (Deni)