NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Beberapa hasil survei lembaga-lembaga survei masih menyebut-nyebut nama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai sosok yang memiliki tingkat keterpilihan kendati tak seberapa besar persennya.
Ambil contoh misalnya hasil survei Indikator Politik Indonesia. Dalam sebuah pemaparan hasil survei, peneliti lembaga survei ini Burhanuddin Muhtadi menyebut keterpilihan Ahok berada di level 0,5 persen. Bahkan lembaga survei ini mengklaim elektabilitas Ahok masih 16 persen untuk dipilih sebagai cawapres Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang.
Burhanuddin menilai, tingginya elektabilitas Ahok itu tidak lepas dari pengalaman Jokowi dan Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2014 yang hanya berusia dua tahun karena Jokowi memilih lebih dahulu menuju istana lewat Pilpres 2014. Dua tahun dianggap cukup untuk menilai duet Jokowi-Ahok sukses memimpin Jakarta kendati akhirnya Ahok sendiri tumbang di Pigub DKI Jakarta 2017.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia bisa dibilang memang cukup mengejutkan. Bagaimana bisa Ahok yang notabane tidak bersih dalam catatan hukum di tanah air justru terpilih kuat sebagai pendamping Jokowi pada Pilpres 2019?
BACA JUGA:
- Survei Indikator Posisikan Elektabilitas Jokowi Masih Teratas
- Fahri Hamzah Tak Setuju Nama Ahok Kembali Diungkit untuk Pilpres 2019 Mendatang
Upaya Indikator Politik Indonesia melambungkan kembali nama Ahok untuk menghadapi Pilpres 2019 ditentang Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Ia bahkan meminta untuk tak lagi membawa-bawa nama Ahok dalam konstelasi perpolitikan nasional dua tahun ke depan, apalagi sebagai cawapres Joko Widodo.
Fahri mengatakan, Indonesia tak kurang sosok pemimpin. Indonesia masih banyak sumber kepemimpinan yang mengerti tentang masa depan NKRI. Baginya, Ahok sudah menjadi beban untuk bangsa Indonesia di masa lalu menyusul dirinya yang kini tengah meringkuk di balik penjara karena terbukti menista ajaran umat Muslim. Waktu itu, Ahok secara terang-terangan menyebut bahwa Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 51 sebagai dalil yang membohongi masyarakat. Suatu pernyataan keji yang agak sulit dimaafkan. Namun, penjara telah menjadi jawaban dari kelatahan Ahok ini.
“Ya, tak usah diomong-omongi lagi. Dia menjalani sebagai narapidana ya mohon maaf ya nggak enak disebut. Indonesia itu banyak jagoan-jagoan. Banyak orang yang tidak bicara, yang bekerja diam diam, orang yang jago di dalam dan luar negeri, jadi percayalah sumber kepemimpinan itu banyak. Jadi Indonesia harus bisa bicara tentang konsep kepemimpinan yang meringankan beban kita. Yang sudah menjadi beban, ya sudahlah,” kata Fahri, Jakarta, Jumat (13/10).
Artinya, menjelang Pilpres 2019 ada pihak-pihak yang sudah mulai bergerilya menaikkan elektabilitas Ahok untuk kembali masuk dalam lingkaran pemilihan pemimpin setelah nanti keluar dari penjara. Fahri sendiri mengendus gelagat ini sehingga dirinya meminta agar pihak-pihak tertentu tidak melakukan manuver politik dengan cara menarik kembali Ahok ke kancah kepemimpinan nasional.
Di sisi lain, juga terkesan ada pihak yang memang masih dendam dan tidak terima dengan hasil Pilgub DKI Jakarta yang memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Atau, tidak terima dengan keputusan pengadilan yang menjatuhkan vonis 2 tahun penjara terhadap Ahok dalam kasus penodaan agama Islam.
Bagi Fahri, bangsa Indonesia sudah harus menatap ke depan. Dan pemimpin yang akan dipilih pada Pilpres 2019 adalah dia yang imajinatif untuk berpikir tentang masa depan dan membebaskan bangsa Indonesia dari dosa masa lalu.
“Kita nggak ingin ada pemimpin ditarik kakinya ke belakang, sehingga pemimpin itu bisa melangkah lebih jauh,” katanya. (ed)
(Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews)