Budaya / SeniPuisi

Firman Jatuh Cinta

'Lukisan cahaya' berpadu selaras dengan panorama alam memesona. (Eric Paré-Bored Panda). Foto via bintang.com
‘Lukisan cahaya’ berpadu selaras dengan panorama alam memesona. (Eric Paré-Bored Panda). Foto via bintang.com

Puisi Futihah Qudrotin

Firman Jatuh Cinta

Dengarlah!
Jika boleh, aku tak ingin pensiun rindu
Aku ingin menjadi angin yang mengelus-elus punggungmu
Aku ingin memeluk tanpa mengenakan lengan juga tangan
Namun kau juga harus mengerti
(Aku benci kalimat ini)

Pernah, malam menyimpan tubuhnya di punggungku,
Yang bisa kutangkap hanya dingin yang menggigit sampai ke tulang
Masih sebentar aku disini, tapi rusukku serasa beku
Saban kuingat
Rupamu yang lekat

Lantas bagaimana pula aku segelisah itu?
Mimpiku tak lagi mendengkur
Kopiku tak lagi pahit!
Wahai dik Fitri,
Maukah kau kupinang menjadi istri?
Di bulan Mei?

Firmanku :
“Aku bersaksi bahwa tiada perempuan selain dirimu”

Jembatan tak Kembali

Terik merebus dedaun yang mengering, padahal tak kemarau. Tertanggal musim hinggap dibawah mendung, merangkul sesayap angin hujamkan kutukan yang bersulang dari deras sungai di matanya, petir berlarian di dadanya, diburu gerbong sejarah yang sembab dan gelap.

Rekaman kenangan terbatuk dalam nasib rabun. Kudengar asin suaramu, beriak. Bagai ombak laut berkecipak. Tergelepar merangkul pantai. “Jangan berhenti ! zaman akan membaca rajah tanganmu, mengheningkan detak yang sungsang dan mungkin, badai akan menghalau suara ke udara, ke bukit, ke nadi sungai. Walau harus engkau lalui jembatan tak kembali dan mengantar masa silam yang mengalir dari jejak-jejak ngilu.”

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Pantun-pantun leluhur menebah ritus sakral menjadi liur. Menghibur dengan nyanyian berlembar igau dari teralimu, puisi atau mantera dan ayat-ayat peneduh yang membakar linting terakhir di bibirmu walau kau masih ingin bicara. Sementara kau terlahir di tanah Jawa yang konon sengaja diciptakan dari dongeng kitab kuno. Bumi merubah nasib; pesta kawin, panen, dan kematian tiba-tiba menjemput. Bumi dijajal !

Saat suara-suara itu kekal, harus kuseka dengan apa air matamu?
Haruskah kutarik awan dan menutup mata airmu?

 

Patung Kekasih

Udan riwis-riwis nggawa angin gumanti
tak kanthi tekanmu ing sak ngisore payung
abot mikul rosoku ing njero ati
kahanan sing koyo mengkene iki atiku kerasa patung

kepungkur pedut wayah esuk
janur kuning pun disawang melengkung
sinden lan dayang-dayange rawuh
pasuryanmu sing kagawa banyu mili turut kali
lumingsiring wengi sliramu tumeking sirna ing ati

Di kelopak mata bulat
pingpong menayang
mayat
Kidung yang tergugat
Bibir mungil mengunci rapat
Hidung bangir menghias ruhbanat
Anggun permaisuri diam ditempat
Kurva pelipisnya melipat penat
Apa yang dirasa syubhat
Jadi musim
Keramat

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Penulis kelahiran Jember, 30 Maret 1995, adalah seorang penulis lepas. Pernah menempuh studi di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jember, aktif dalam kegiatan musikalisasi puisi, dan teater TIANG UNEJ, Karya terakhir yang pernah terbit berupa antologi puisi Jejak Hujan 2015, Penyair Tapal kuda – Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa 2015, Antologi naskah drama Dhadung Kepuntir, dan Menyutradarai pementasan Patung Kekasih karya Simon Hate. Penulis dapat dihubungi melalui akun facebook Futihah Qudrotin, e-mail: [email protected]

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,244