NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Milenium ketiga adalah abad ruang angkasa dengan teknologi satelit sebagai tulang punggungnya. Satelit adalah aset strategis dunia masa depan karena fungsinya ibarat panca indra manusia. Bahkan ibarat sebuah pulau di luar angkasa.
Tak dapat dipungkiri, presiden ke-2 RI Soeharto adalah sosok pemimpin visioner, ahli strategi yang berpikir jauh melampaui zamannya dalam mepersiapkan masa depan NKRI. Buktinya, sejak tahun 1969 Pak Harto telah membangun Stasiun Bumi di Jawa Barat yang dinamainya Satelit Palapa.
Pemberian nama Palapa yang diambil dari Sumpah Palapa pada zaman kerajaan Majapahit itu bukanlah tanpa maksud dan tujuan. Sumpah Palapa yang diucapkan oleh seorang Maha Patih yang bernama Gajah Mada pada abad ke-14 merupakan simbol kekuatan negara dalam menyatukan seluruh wilayah Kepulauan Nusantara.
Baca juga: Satelit PALAPA, Mata Pengintai Indonesia yang Dilumpuhkan
Soeharto bahkan membangun 9 Stasiun Bumi, 1 stasiun kontrol utama dan pengadaan 2 satelit yakni Palapa A1 dan Palapa A2. Total 10 stasiun dibangun Soeharto dalam rentang waktu 17 bulan. Sementara 30 stasiun bumi lainnya juga dibangun untuk dioperasikan Perumtel.
Pembangunan satelit-satelit tersebut yang mulai beroperasi sejak tahun 1976 membuat Indonesia menjadi negara ketiga di dunia yang mengoperasikan Sistem Komunikasi Satelit Domestik dengan menggunakan Satelit GSO. Dengan kata lain, sejak awal tahun 1970-an Indonesia sebetulnya sudah aktif memasuki dunia antariksa dengan Satelit Palapa.
Dan sekadar mengingatkan, Satelit Palapa A1diluncurkan pada 8 Juli 1976 dengan menggunakan roket Delta 2914. Mengutip Wikipedia, Palapa A1 yang telah diluncurkan tersebut beroprasi mulai 9 Juli 1976 hingga 1983 di 83 BT.
Baca juga:
Mengenang Indosat
Indosat Hilang, BRIsat Pun Datang
Dunia kini telah menjelma menjadi sebuah kampung kecil. Teknologi satelit telah menembus batas-batas negara. Status negara bangsa kini telah semakin kehilangan makna digerus oleh eksistensi organisasi-organisasi internasional yang semakin arogan dan bahkan cenderung otoriter.
Perkembangan teknologi satelit komunikasi yang dahsyat merupakan fenomena sangat menarik di abad 21.
Abad 21 adalah abad ruang angkasa dengan teknologi satelit sebagai tulang punggungnya. Satelit telah menjadi teknologi strategis karena memiliki fungsi sebagai indera pendengaran, indera komunikasi, juga indera pengelihatan, bahkan bisa menjadi kaki dan tangan sebuah negara bangsa. Satelit merupakan aset strategis dunia masa depan, bahkan dengan teknologi militer bisa menjadi alutsista yang mematikan. Seperti program Star Wars Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang Dingin (Cold War).
Baca juga: Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia
Satelit merupakan aset negara yang strategis. Satelit telah menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak sehingga harus dikuasai oleh negara. Karena satelit yang terintegrated dengan teknologi komunikasi dan teleskop merupakan pancaindera suatu negara. Satelit dapat dipakai meramalkan iklim, memetakan daratan, memotret lokasi, mengindera sumber kekayaan alam, dan menjadi alat navigasi seperti GPS dan lain sebagainya.
Tanpa satelit, Indonesia menjadi buta dan tuli. Sehingga asing sangat berkepentingan untuk melumpuhkan Satelit Palapa. Peluang itu pun tiba. Tepatnya di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Berkat kepiawaian konsultan Temasek Singapura, Gita Wirjawan, Indosat jatuh ke tangan asing. Dan sejak penjualan itu, Indonesia menjadi ajang penyadapan antek-antek asing.
Hal paling menyakitkan ialah privasi Indonesia sebagai bangsa diketahui orang lain. Bayangkan, seluruh komunikasi, transaksi perbankan dan bahkan rahasia negara bisa dimonitor secara transparan oleh kekuatan asing.
Jadi, memata-matai Indonesia tidak perlu repot-repot mengadakan penyadapan dan operasi intelijen, karena Indonesia memang sudah telanjang, termasuk dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. (red/ed/nn)
Editor: Eriec Dieda & Banyu