Judul Buku : Candik Ayu Segaramadu
Jenis : Novel
Penulis : Andri Saptono
Penerbit : Senja
Tahun Terbit : 2017
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-602-61159-1-1
Peresensi: Ruly R
“Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang laut tampak.” Begitulah peribahasa yang kurang lebih tentang kecenderungan orang untuk mudah melihat kesalahan atau kekurangan orang lain, namun sebaliknya sulit untuk melihat kesalahan atau kekuranghan dirinya sendiri. Banyak kealpaan dalam diri tak pernah kita sadari. Tapi satu hal yang tak pernah salah dalam diri kita adalah kenangan. Jarak antara sesuatu yang salah dan benar seakan menjadi samar, bahkan tak pasti sekatnya, ketika kita akhirnya harus kembali pada apa yang dinamakan kenangan.
Baca Juga:
- Sketsa Kenangan
- Kenangan yang tak Juga Hilang
- Taman Kala Menumbuhkembangkan Kenangan
- Tradisi Musik Lesung Tinggal Kenangan
Layaknya kita menonton sebuah film dan menemukan sesuatu yang menarik dalam film itu, kita akan terus menontonnya di waktu senggang, menghapal setiap pemerannya, mencatat beberapa kata sakti atau quote yang ada dalam film tersebut. Tentu tidak berhenti di situ saja, kita sedikit demi sedikit mencoba menularkan apa yang kita tangkap dalam film itu, sesekali mencobanya di kehidupan sehari-hari. Karena salah satu alasan kita melakukan semua itu adalah kenangan.
Menukil Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kenangan berarti sesuatu yang membekas dalam ingatan; kesan. Entah kenangan yang baik atau buruk, semua ada pada level yang seimbang, tak ada satu kenangan mendominasi kenangan lainnya. Menjadi pertanyaan, apa kenangan itu? Seberapa penting hal itu?
Candik Ayu Segaramadu bukan ingin mengatakan bahwa kenangan harus dipelihara toh hal itu tidak bisa dilakukan. Kenangan meletup dalam diri tanpa pernah kita sadari sebelumnya. Contoh nyata dalam buku Candik Ayu Segaramadu, ketika tokoh Sanyoto yang bertemu kawan lamanya, Meinar yang sekarang menjadi bakul jamu. Pertemuan itu juga yang pada akhirnya meletupkan konflik batin Sanyoto. Sebuah awal untuk menjajaki perjalanan romantika yang ada di masa lalu.
Kebimbangan dan gejolak hadir setelah pertemuan itu, kehidupan bakul jamu di pabrik gula Segaramadu yang berkonotasi negatif sedikit demi sedikit mengiris batin Sanyoto. Kealpaan dirinya yang baru ia sadari, ketika sebuah keinginan hadir agar Meinar tak terjebak dalam lingkar negatif itu. Sekuat apapun Sanyoto berusaha untuk tetap memerhatikan. Bukan hanya alpa dengan kehidupan rumah tangga karena kesibukan di pabrik gula, tapi juga di pabrik pun Sanyoto ternyata tidak begitu paham dengan kehidupan para tenaga di bawahnya.
Lalu bagaimana kehidupan yang terjadi pada masa kini bisa berjalan dengan kenangan yang ada melekat pada diri kita? Apakah kita akan membuang kenangan itu atau memaksakan kenangan menerobos ke setiap celah pikiran dan hati kita?
Pada kisah hidup yang kita alami tentu tidak pernah kita berdiri sendiri, potongan kisah dan perjumpaan seakan menjadi kepingan-kepingan puzzle yang satu sama lain saling melengkapi. Benar atau tidaknya hal itu mungkin tidak pernah kita sadari, bahkan kita bayangkan pun tidak. Segalanya seakan relativitas dan pada akhirnya kembali pada diri masing-masing, pada hal yang selalu membuat kita merefleksi diri: cinta dan kasih sayang.
Ruly R, Tergabung dan aktif di Komunitas Kamar Kata Karanganyar (K4) dan Literasi Kemuning. Bisa dihubungi lewat [email protected].