Budaya / SeniCerpen

Ibarat Langit, Tak Berbatas

Cerpen Anggoro kasih

Mentari pagi menyinari halaman. Ragil masih mengenakan sarung, duduk di teras sembari menunggu kopinya berkurang panasnya. Terdengar klakson tukang sayur. Ragil memanggil ibunya. Lalu ia menyeruput kopi itu, yang sebelumnya telah dipotret dan diupload di instagram. Sedap! Jangan lupa ngopi biar harimu bahagia ya, Bro!” Captionnya.

Ragil mengambil koran dan menekurinya. BEM UI memberikan kartu kuning kepada Presiden. Di halaman kedua, Delle Alli mendapat kartu merah setelah sleeding kerasnya kepada Firmino. Halaman demi halaman dilihat dan berhenti di sebuah iklan lowongan kerja.

“Sudah dapat belum?” suara ibu Ragil sambil menyapu teras. Ibunya terus bicara tentang harapannya. Harapan agar Ragil bisa segera bekerja. Jika perlu menjadi pegawai kantoran atau pegawai negeri yang bisa membanggakan orang tua.

“Santailah, Buk. Tenang!” sahut Ragil.

Mengerti apa ibu tentang susahnya mencari kerja? Kita kalah dengan sistem nyogok, atau sistem kerabat. Mengerti apa ibu tentang passion? Apakah ibu tahu bahwa pegawai itu budak? Dan aku tidak pernah mau jadi budak. Jiwaku merdeka, pemimpin atas diriku sendiri. Bahwa pemuda adalah agen perubahan. Jika semua orang ingin jadi pegawai, lantas siapa yang akan jadi bosnya? Siapa yang menjadi seniman? Siapa yang menjadi penerus Goodbless? Pemikiran kita terhadap bidang kerja itu harusnya ibarat langit, tak berbatas. Ragil hanya membatin itu karena ia tidak ingin berdebat dengan ibunya, terlebih karena ibunya tidak mau tahu apa yang menjadi keinginannya.

Di atas mejanya tertata beberapa buku dan kertas bergambar. Di sana juga berdiri dua kotak foto. Yang pertama foto dirinya dengan seorang gadis manis berkacamata dengan rambut sepundak. Tangan kanan Ragil merangkulnya. Yang lainnya foto Ragil waktu diwisuda yang diapit bapak dan ibunya yang tampak bangga. Tertulis di bawahnya Ragil Satria Utama S.E.

Di depan meja itu Ragil sedang menggambar sebuah sketsa wajah milik konsumennya. Dengan cara itu Ragil mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya, bahkan dari hasil lukisan itu ia bisa membeli Vespa. Karena itu ia sangat mencintai Vespanya. Ia bahkan tak peduli motor Ninja pemberian bapaknya karena sudah nurut masuk ekonomi. Dari headshet yang dipakai terdengar lagu Sweet Killer. Group band beraliran rock balery yang dibentuk bersama teman kuliahnya dua tahun yang lalu. Ragil memang menyukai musik dan menggambar. Waktu lulus SMA, sebenarnya ia  ingin masuk seni rupa atau seni musik tapi urung karena dipaksa bapaknya masuk ekonomi.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Sore hari, usai mengelap Vespa, Ragil mematikan musik di ponselnya lalu bergegas ke kamar mandi. Selesai mandi, Ragil memilih pakaian yang akan dikenakan. Pilihannya jatuh pada celana jeans warna biru dongker dengan sedikit sobek di bagian lutut sebelah kanan dan kaos hitam polos. Ragil berdiri di depan cermin, menyisir rambut lalu menguncirnya, sembari matanya sesekali menyapu poster di dinding kamarnya. Ada Cobain, ada Oasis, dan masih banyak lagi. Lalu ia kembali menatap cermin “Thats right, Dude!” ucapnya sambil menembakkan telunjuknya ke arah cermin. Pada saat ia keluar kamar tiba-tiba balik lagi, ia hampir lupa dengan jaket jeansnya yang tergantung di balik pintu.

Malam itu jalan ramai, didominasi kawula muda yang berboncengan merayakan indahnya malam Minggu. Ragil memacu Vespanya sambil bersenandung kecil, lalu berhenti di depan rumah berpagar kayu bercat coklat tua. Beberapa menit kemudian pintu dibuka seorang gadis berkacamata Ratna.

“Masuk, aku ganti baju dulu,” ucap Ratna lalu tersenyum. Ragil duduk di sofa. Tak lama muncul ayah Ratna. Ragil menghampiri dan berjabat tangan. Mereka berbincang.

Dari semua yang dikatakan ayah Ratna, satu yang terngiang di kepala Ragil, yaitu saat ayah Ratna mengatakan, ”Kalian berdua sudah dewasa, dan kamu pun sudah lulus. Jika kamu serius dengan Ratna, segeralah cari kerja yang mapan, setelah itu bawa orang tuamu ke sini. Saya sudah tua, saya ingin segera melihat anak kesayangan saya bahagia.”

“Ehem-ehem, baru ngomongin apa nih?” Ratna muncul.

Ragil permisi pada ayah Ratna, begitu pun Ratna pamit ayahnya. Vespa birunya membawa mereka menyusuri jalan Jenderal Sudirman. Di perjalanan Ratna menanyakan perihal apa yang dibicarakan Ragil dan ayahnya. Ragil menjawab, tidak ada apa pun. Ragil tenggelam dalam pikirannya sendiri, terutama tentang ucapan ayah gadis yang dicintainya, yang saat ini duduk di belakangnya. Melingkarkan kedua tangannya di pinggang Ragil. Dilihatnya muka gadis itu dari spion, tampak memesona dengan hidung mungil dan bibir tipis berwarna blooming pink.

Ragil dan Ratna kini sedang menikmati gudeg di salah satu warung lesehan di pinggir jalan Malioboro. Terdengar musik keroncong dari pengamen menambah kenikmatan makan dan suasananya. Suasana yang mudah ditemui di tempat itu. Suasana Yogya memang  romantis. Kesederhanaan, modernitas serta kearifan lokal bisa berjalan beriringan. Selesai makan mereka beranjak ke stasiun Tugu. Menikmati indahnya malam Minggu di sana dengan segelas kopi jos sembari bercerita cinta, keresahan sembari diselingi canda tawa.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

***

Pagi itu, lagu Skid Row, I Remember You mengalun di kamar Ragil. Sementara si empunya kamar masih terkulai di atas tempat tidur. Ragil sedang mengumpulkan nyawanya yang masih tercecer karena baru terjaga dari tidurnya. Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka, ibunya masuk menuju jendela lalu membuka gorden. Sinar mentari berebut masuk ke ruangan dan menerpa wajah Ragil. Dia menggeliat seperti cacing. Ibunya memelankan volume speaker.

“Bangun, sudah siang, Le! Oya, itu rambutmu sudah gondrong kapan dicukur? Segeralah kamu cari kerja? Malu dengan tetangga, sarjana kok nganggur. Masa kalah dengan Bowo yang lulusan Universitas Swasta itu tapi sudah bekerja kantoran.”

“Santai gitu lho, Buk. Kabeh wis enek dalane,” jawab Ragil sambil beranjak pergi.

“Eh la, dikandani malah lungo.”

***

Ragil nongkrong di angkringan, tempat biasa ia mengusir penat. Dia kepikiran perkataan ibunya tadi pagi. Juga teringat perkataan ayah Ratna beberapa waktu lalu. Ragil merasa bahwa keadaan ini seolah memaksanya untuk segera mencari kerja yang dianggap mapan oleh mereka. Sebenarnya Ragil pernah melamar kerja di salah satu dinas keuangan. Bermodalkan IPK di atas tiga dari Universitas Negeri ternama, dia optimis. Namun nyatanya  tak kunjung ada panggilan untuknya. Sementara si Bowo yang tak begitu pandai justru diterima. Tapi akhirnya Ragil tahu ternyata Bowo diterima di sana karena pakdhenya menjabat kepala di dinas itu.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Ragil merasa kekecewaan datang bertubi padanya. Selain kisah lamaran kerja, ada kisah lain. Saat bandnya menawarkan CD demo album ke produser musik dulu. Baru didengar sedikit lagunya, produser itu berucap, “Musik rock di sini tidak laku. Buatlah musik pop, lebih menjanjikan.” Sakit hati yang lain saat dia masih pacaran dengan Sekar. Pada akhirnya Sekar lebih memilih menikah dengan seorang manager bank di tempatnya bekerja.

Malam merayap. Ragil menghisap rokoknya sebelum dibuang. Setelah membayar segelas kopi dan beberapa gorengan ia putuskan pulang. Ia meluncur dengan Vespanya. Rambut panjangnya tergerai keluar dari celah helm jadulnya. Berkendara adalah berfikir tentang beban hidup yang teralibikan.  Matanya menatap jalanan tapi pikirannya menerawang jauh. Ragil menimbang apakah dia harus tetap menjalani apa yang ia senangi atau sebaliknya menjalani apa yang tidak ia senangi demi orang yang ia cintai. Dari heatshet terdengar lagu zona nyamannya fourtwenty. “bekerja bersama hati,kita ini insan bukan seekor sapi.”

Saat Ragil sampai di depan rumah dan masuk rumah, bapaknya yang duduk di kursi ruang tamu bicara, “Ngelayap terus! Bapak sekolahkan kamu agar cepat kerja, bukan malah jadi pengangguran!” Mendengar itu Ragil langsung berbalik, keluar rumah lagi.

“Kemana kamu?”

“Cari angin, Pak.”

“Angin dicari. Cari itu kerja!”

“Iya, besok. Malam-malam begini mau cari di mana” Ragil berlalu pergi membawa gitar dan paralatan gambarnya.[]

 

Anggoro Kasih pemuda asal Karanganyar yang pernah kuliah di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNS. Namun jiwanya yang pemberontak memilih tidak merampungkan kuliahanya. Sekarang sedang giat membaca dan aktif belajar menulis di Komunitas Kamarkata Karanganyar Jawa Tengah.

 __________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 823