ArtikelHukumKolomPolitik

Partai Oposisi versus Partai Berkuasa

Apakah dalam sistem pemerintahan NKRI dengan mazhab presidentil dikenal partai oposisi? Dalam prakteknya bagaimana bentuk oposisi yang dilakukan oleh partai yang menyatakan dirinya beroposisi atau tidak ikut dalam penyelenggaraan pemerintahan? Apakah partai oposisi konsisten dengan keoposisiannya dengan tidak ikut dalam kekuasaan pemerintahan?

Berbagai pertanyaan di atas berputar-putar di kepala saya setelah membaca berita-berita di media tentang ketidakterlibatan suatu partai dalam pemerintahan karena merasa sebagai partai oposisi pada masa periode pemerintahan tertentu. Berita tersebut mencuat setelah Setya Novanto terdakwa kasus e-KTP menyanyi di pengadilan Tipikor bahwa ada dua kader partai oposisi yang waktu itu menjabat anggota DPR menerima uang pengadaan e-KTP yang diselenggarakan oleh Kemendagri.

Soal nyanyian Novanto memang masih sangat sumir, karena dia mengatakan sesuai yang disampaikan oleh orang lain yang memang mereka kenal. Selama ini kesaksian dengan nyanyian yang sama tidak pernah didengar dari tersangka lain dalam sidang pengadilan.

Sudah dapat diduga, petinggi partai yang dituding tidak tinggal diam. Adalah pernyataan Hasto Sekjen PDI-P sebagai partai yang sedang berkuasa di mana kedua kader partai yang dituding Novanto berada, membantah dua politisi PDI-P PM dan PA menerima aliran dana korupsi e-KTP. Hal itu disampaikan Hasto menanggapi keterangan mantan Ketua DPR sekaligus terdakwa korupsi e-KTP, Setya Novanto dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (22/3/2018).

Hasto mengatakan, saat proyek e-KTP dijalankan PDI-P sebagai oposisi tidak memiliki menteri di pemerintahan sehingga tidak ikut mendesain. Karena itu, ia merasa saat ini seolah ada upaya menyudutkan PDI-P melalui kasus tersebut.

“Kami bukan dalam posisi designer, kami bukan penguasa. Dengan demikian, atas apa yang disebutkan oleh bapak Setnov (Setya Novanto), kami pastikan tidak benar, dan kami siap diaudit terkait hal tersebut, kata Hasto. Ia menambahkan, saat ini seperti ada upaya seorang terdakwa menyebutkan banyak nama di dalam persidangan agar dijadikan justice collaborator (JC).

Hasto juga mengatakan, PDI-P justru memiliki konsep e-KTP yang berbeda dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu. Ia mengungkapkan, saat itu PDI-P menginginkan agar e-KTP bukan seperti sekarang, tetapi mengintegrasikan data pajak, BKKBN dan kependudukan. Hasil integrasi data lantas divalidasi melalui sistem single identity number. Sistem tersebut juga diintegrasikan dengan rumah sakit, puskesmas, hingga ke dokter kandungan dan bidan.

Advertisment PDI-P, kata Hasto, berpendapat bahwa Menteri Dalam Negeri saat Itu, Gamawan Fauzi, seharusnya memberikan jawaban secara gamblang terkait akar persoalan korupsi e-KTP. “Itu bagian tanggung jawab moral politik kepada rakyat. Mengapa? Sebab pemerintahan tersebut pada awal kampanyenya menjanjikan ‘katakan tidak pada korupsi‘, dan hasilnya begitu banyak kasus korupsi yang terjadi,” papar Hasto. “Tentu rakyatlah yang akan menilai akar dari persoalan korupsi tersebut, termasuk e-KTP,” lanjutnya.

Dengan pernyatan Hasto tersebut, membuat Partai Demokrat sebagai partai berkuasa selama 10 tahun 2004 – 2014 merasa dipojokkan tidak tinggal diam juga. Sekjen PD Hinca Panjaitan membalas bantahan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang menyinggung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kasus korupsi e-KTP. Ia menganggap aneh pernyataan Hasto menyusul apa yang disampaikan oleh terdakwa korupsi e-KTP, Setya Novanto, di persidangan yang menyebut kader PDI-P, PM dan AP, sebagai pihak yang menerima dana korupsi e-KTP. Sebab, pernyataan Hasto justru menyalahkan pemerintahan ketua umumnya, yakni SBY. “Aneh dan menggelikan. Sulit dipercaya pernyataan itu keluar dari sebuah partai politik yang tengah berkuasa sekarang ini karena argumentasinya dangkal, lemah, dan mengada-ada,” kata Hinca.

Baca Juga:  Borong Sayuran Segar, Ribuan Pedagang Sayur Magetan Doakan Cagub Khofifah Menang Pilgub

Hinca meminta Hasto tak mengaitkan korupsi e-KTP dengan Partai Demokrat dan SBY karena tindak pidana tersebut merupakan perilaku perorangan, bukan rezim pemerintah atau partai. Ia pun menilai pernyataan Hasto seolah menunjukkan partai oposisi dipastikan tidak korupsi. Pendapat itu menurut Hinca keliru lantaran korupsi tak mengenal oposisi dan koalisi karena semua politisi bisa melakukannya. Ia menyadari PDI-P berupaya melindungi kadernya yang disebut-sebut menerima aliran dana korupsi, tetapi ia meminta hal itu tak dilakukan secara membabi buta. “Apalagi, jika dengan menggunakan tangan-tangan kekuasaan menghalang-halangi penegakan hukum yang sedang dilakukan oleh para penegak hukum,” katanya.

Ia pun menilai, bantahan Hasto salah alamat karena yang menyebut nama PM dan AP bukan kader Demokrat, melainkan Novanto. Karena itu, menurut Hinca, sebaiknya Hasto fokus membantah Novanto, bukan malah menuduh SBY dan Demokrat. “Kalau membantah dan mengatakan kadernya tidak terlibat, bantahannya harusnya kepada Setya Novanto dan KPK. Majelis hakimlah yang akan memutuskan dalam persidangan yang sah dan akuntabel pada saatnya nanti,” sambung Hinca. Ia pun membantah proyek e-KTP sebagai proyek gagal. Menurut dia, proyek e-KTP merupakan amanah undang-undang yang telah disetujui pemerintan dan DPR.

Hinca menambahkan yang salah bukan proyeknya, melainkan oknum yang mengorup proyek tersebut. “Program e-KTP tidak salah. Oknum-oknum anggota DPR dan pemerintah atau siapa pun yang melakukan korupsi sebagian dana e-KTP itulah yang salah,” ucap Hinca. “Baik apakah pelaku tindak pidana korupsi e-KTP itu bagian dari pendukung pemerintah maupun pada pihak yang beroposisi, di hadapan hukum keduanya sama,” lanjutnya.

Dari kedua statement petinggi partai yang satu pernah oposisi dan kini berkuasa, dan yang satu lagi partai yang pernah berkuasa dan saat ini menyatakan sebagai partai penyeimbang atau lebih tepatnys oposisis setengah hati atau oposisi situasional. Memberikan gambaran kepada kita bahwa pada hakekatnya partai oposisi secara praktek penyelenggaraan pemerintahan tidak ada. Yang ada adalah praktek kepentingan kekuasaan dan menguasai alat-alat kekuasaan yang sebanyak-banyaknya, disemua level penyelenggaraan pemerintahan untuk kepentingan partainya.

Saling tuding, apakah prilaku koruptif hanya dimiliki oleh oknum atau partai politik yang sedang berkuasa, sedangkan partai oposisi tidak dapat melakukannya, tentu kenyataannya berkata lain. Kasus-kasus korupsi selama 15 tahun belakangan ini melanda dan menghantam hampir semua partai tidak mengenal oposisi atau berkuasa. Beberapa partai langsung menyengat Ketua Umumn dan Bendaharanya. Ada partai yang membawa slogan restorasi penyelenggaraan pemerintahan Sekjennya terkena kasus korupsi. Ketua – ketua partai atau pengurus partai daerah yang menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota, digelandang KPK karena OTT.

Baca Juga:  Ketua PERATIN Sulut Ikut Pengambilan Sumpah Advokat di PT Manado

Pola mengungkapkan dengan cara-cara seperti kasus Novanto, dan Nazarudin, dengan menggunakan forum pengadilan untuk menembak seseorang sebagai pihak yang ikut terlibat, apalagi menyangkut oknum petinggi partai, memang dapat meninggikan suhu politik, terutama pada fase-fase Pilkada serentak dan Pilpres yang tidak lama lagi. Apakah ini efektif menimbulkan efek jera, masih memerlukan waktu untuk mengetahuinya. Yang pasti isyu tersebut menjadi konsumsi media dan dikutip berulang-ulang karena menyangkut publik figur dan politisi. Hasilnya ya seperti contoh di atas, saling lempar bola panas antar partai dan nampaknya masyarakat seperti terhibur dan melupakan sesaat persoalan utang yang membengkak dan proyek infrastruktur.

Bagi KPK, ungkapan terdakwa di pengadilan meringankan kerjaan mereka. KPK akan lebih punya alasan yang kuat untuk memanggil orang-orang yang namanya disebut-sebut terdakwa, untuk klarifikasi dan konfirmasi atas kesaksian dipengadilan tersebut. Apakah KPk sudah punya data atau informasi terkait nyanyian Novanto, tentu hanya KPK yang bisa menjelaskan.

Tingginya suhu politik dapat juga dicermati dengan ikutnya Presiden Jokowi mengomentari nyanyian Novanto tersebut. Presiden Joko Widodo angkat bicara mengenai dua menterinya, PM dan PA, yang disebut-sebut menerima uang hasil korupsi proyek e-KTP. Jokowi menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Jika memang ada bukti kuat, ia menyerahkannya ke proses hukum.

Jika memang kedua menterinya terlibat dalam pusaran korupsi itu, Jokowi meminta mereka ikut bertanggung jawab. Meski demikian, Jokowi mengingatkan kembali bahwa proses hukum atas dua menterinya itu jika memang penegak hukum menemukan fakta dan bukti yang kuat terkait praktik korupsi tersebut.

Banyak yang menafsirkan pernyataan Jokowi terserbut, untuk memberikan kesan pada masyarakat bahwa Jokowi tidak akan melindungi Menterinya walaupun dari partai berkuasa, jika memang melanggar hukum. Pesan moral yang mudah ditebak sebagai upaya menjaga moral masyarakatnya bahwa Presiden Jokowi anti korupsi, dan hal tersebut sebagai invest untuk Pilpres 20219.

Pertengkaran Elite Partai

Periode SBY (2004-2014), PDI-P adalah partai yang menyatakan dirinya oposisi. Sikap oposisi ini ditunjukkan oleh Ibu Megawati Ketum PDI-P terhadap kepemimpinan SBY. Di pihak lain SBY sebenarnya ingin mengajak bekerjasama dengan PDI-P melalui lobby dengan Taufik Kiemas. Bahkan kabarnya ada keinginan SBY untuk memasukkan Puan Maharani sebagai Menteri SBY, tetapi Ibu Mega tidak berkenan. Suatu sikap oposisi yang konsisten untuk tidak masuk dalam barisan Kabinet SBY. Tetapi sikap oposisi PDI-P tidak berlaku bahkan turut dalam proses kekuasaan pemerintahan Propinsi dan Kabupaten/Kota. Artinya secara faktual PDI-P juga bagian dari partai politik pemerintah, karena banyak Gubernur , Bupati dan Walikota yang dikuasai PDI-P dan tentu turut bertanggungjawab dalam penyerlenggaraan pemerintahan di daerah.

Baca Juga:  Kemiskinan Masalah Utama di Jawa Timur, Sarmuji: Cuma Khofifah-Emil Yang Bisa Atasi

Saat ini, Presiden Jokowi yang diusung dan merupakan kader PDI-P menempatkan PDI-P sebagai partai berkuasa. Pada posisi strategis kementerian ditempatkan para kader PDI-P dan partai lain pendukung Jokowi. Sedangkan Partai pendukung Prabowo (Gerindra, Golkar, PKS, PAN, dan PPP), tidak mendapat kursi di kabinet, mereka bagi habis kursi pimpinan DPR/MPR dan Pimpinan Komisi DPR. Kasihan PPP, tidak dapat kursi pimpinan di DPR/MPR dan Komisi-Komisi, sedangkan di Kabinet kursi Menteri Agama memang kader PPP, tetapi konon menjadi Menteri bukan representasi PPP.

Kita ketahui bersama dalam perjalanannya, koalisi pendukung Prabowo tidak lagi solid. Golkar balik arah mendukung Pemerintah Jokowi dan dapat bagian satu kursi Menteri Perindustrian, dan PAN diberikan satu kursi Menteri PAN/RB. Sedangkan PPP yang turut balik arah juga tidak dapat kursi Menteri. Itulah dunia politik, apapun bisa terjadi, diduga maupun tidak diduga. Belakangan Jokowi memberikan kursi Mensos yang ditinggalkan Khofifah kepada mantan Sekjen Golkar Idrus Marham.

Kalau dulu PDI-P sebagai partai oposisi sendirian, saat ini yang menjadi partai oposisi yang jelas ada dua yaitu Gerindra dan PKS. Bagaimana posisi Partai Demokrat tidak jelas tergantung apa isunya. Seperti contoh pada saat sidang DPR memutuskan Peraturan Pemerintah Pengganti UU tentang Ormas, sikap Partai Demokrat menerima Perpu menjadi UU dengan beberapa perbaikan. Pada hal DPR itu tugasnya menerima atau menolak. Contoh lain, saat pencalonan Gubernur DKI Jakarta, sudah head to head Anis-Sandi (didukung Gerindra dkk), dengan Ahok-Djarot (didukung PDI-P dkk), ternyata Partai Demokrat mengajukan calon sendiri AHY yang didukug PKB dan PPP. Kesimpulannya Partai Demokrat ingin tampil beda. Efek dari Post Power Syndrome partai yang pernah berkuasa.

Pola pergesan arah kepentingasn politik kedepan ini, sangat mempengaruhi arah kebijakan pemerintahan Jokowi menjelang akhir periode kepemimpinannya. Bukan tidak mungkin pertengkaran elite politik PDI-P dan Partai Demokrat soal nyanyian Novanto di Pengadilan Tipikor terkait e-KTP, isu Indonesia bubar 2030, isu utang yang membengkak, isu cawapres pendamping Jokowi, pertengkaran LBP dengan Amin Rais, bisa menjadi pemicu dan pemacu terjadinya perobahan aliansi persekongkolan partai politik. Ditambah lagi dengan ramenya cubitan-cubitan kecil partai baru seperti PSI.

Pertengkaran elite politik ini, tentunya tidak bermanfaat untuk kehidupan demokrasi Indonesia. Presiden Jokowi harus membangun komunikasi dengan semua pihak. Menenangkan para pimpinan Partai, bahwa kalau kita bertengkar terus bukan tidak mungkin Indonesia bubar. Ibarat main silat, (Indonesia) sudah kacau kuda-kudanya, akhirnya bertengkar terus, kata Cak Nun.

Semoga Republik Indonesia tetap eksis sepanjang masa. Oleh karena itu berhentilah para elite politik bertengkar untuk kepentingan kekuasaan. Berdamailah untuk mewujudkan rakyat yang sejahtera.

Oleh: Dr. Chazali H.Situmorang, Dosen AN FISIP UNAS-Pemerhati Kebijakan Publik

Related Posts