“…zaman edan (gila dan konyol), tidaklah mudah untuk dimengerti. Ikutan jadi edan tidak sampai hati. Bila tidak ikut edan tidak kebagian harta dan jabatan, akhirnya jatuh miskin dan kelaparan. Namun, sesuai kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, seberapapun keburuntungan yang diraih oleh orang yang lupa diri, jauh lebih beruntung orang yang eling lan waspada…”
Demikianlah salah satu petuah dari Eyang Ronggowarsito, salah satu leluhur agung di Jawa. Petuah tentang zaman edan tersebut memang benar-benar ber-tuah, bagaikan air laut yang terasa asin di zaman saat ini.
Kita mungkin termasuk di antara golongan orang-orang edan yang beruntung menyaksikan secara live kehidupan di zaman edan yang diramalkan oleh Eyang Ronggowarsito tersebut. Sebuah zaman dimana para pemimpin negaranya pada edan, dengan sistem negara yang sangat edan, serta diramaikan oleh orang-orang edan yang berkeliaran mencari korban.
Baru baru ini kita dibuat muak menyaksikan perilaku edan dan konyol dari seorang yang katanya pemimpin negara, yang menempatkan rakyatnya persis seperti objek “klangenan” yang dimain-mainkan.
“Klangenan” dalam bahasa Jawa mengandung pengertian kegemaran atau hobi yang dikaitkan dengan kesenangan untuk memelihara binatang tertentu, seperti kecebong, perkutut, ayam, anjing, kucing, hingga macan.
Mungkin karena rakyat dipersepsikan sebagai “klangenan” yang tak jauh berbeda dengan hewan peliharaannya, maka si pemimpin tersebut dengan wajah sumringah membagikan bingkisannya dengan melemparnya dari dalam mobil, persis seperti memberi makan kecebong dan ayam, yaitu dengan cara ditebar makanannya.
Sebelumnya, si pemimpin negara itu bertindak konyol atau edan, yaitu mengenakan kaos oblong ditengah pejabat negara yang mengenakan baju serba formal, disaat yang bersangkutan meresmikan pengoperasian kereta api bandara.
Sial dan tragisnya, ke-edan-an si pemimpin negara dalam mempercepat pembangunan infrastruktur, untuk tujuan pencitraan, telah menuai malapetaka, korban berjatuhan, lantaran kualitas infrastrukturnya diragukan, selain tentu diduga banyak “copet” di dalam istana, yang sengaja memanfaatkan ke-edan-an si Kepala Negara.
Ke-edan-an si Kepala Negara yang telah menjadi trendsetter mendapat pengikut di daerah. Wali Kota Palu, yang juga seorang penyanyi papan atas, tampil sebagai pejabat daerah dengan gaya edan bin konyol.
Dengan mengenakan seragam Aparatur Sipil Negara (ASB) tampil di sebuah televisi nasional dengan gaya rambut skin fade, persis seperti gaya rambutnya pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un, namun rambutnya si Wali Kota itu lebih edan dan konyol lagi karena dikuncir ke atas.
Kim Jong-un selain sebagai pemimpin tertinggi Korea Utara, dia juga dapat dikatakan sebagai pemimpin generasi millenial di dunia. Kim Jung-un mewakili karakter sebagai generasi millenial, yang bermulut besar mengancam dan nyinyir di medsos dan media massa, tapi tak punya keberanian dalam mengambil resiko memimpin perubahan sosial, alias pengecut.
Jangan pernah berharap perang dunia berkobar dari tangan seorang pemimpin yang berkarakter generasi millenial kayak Kim Jong-un. Demikian juga jangan pernah bermimpi kaum millenial Indonesia mengobarkan sebuah perubahan sosial yang revolusioner.
Tak usah terlalu jauh berharap mereka mengambil resiko politik yang revolusioner, bahkan inisiatif yang moderat saja bagaikan punggung meridukan bulan. Paling banter, hanya berani acungkan kartu kuning, itu sudah sangat disyukuri. Alhamdulillah, masih ada yang berani bersikap, walaupun hanya acungin kartu.
Kembali kepada petuah eyang Ronggowarsito yang sangat bertuah di atas. Ke-edan-an atau kekonyolan kebijakan si Kepala Negara kini juga mendapat pengikut di gedung parlemen, yang kini dipimpin oleh para mantan aktivis mahasiswa yang galak-galak dan tukang kritik.
Bayangkan, melalui UU MD3 yang baru saja disahkan, tiba-tiba mereka tak mau dikritik seperti si Kepala Negara, yang mengkriminalisasi para pengkritik dengan menggunakan pasal karet UU ITE. Mereka tak mau lagi menganggap dirinya sebagai wakil rakyat, yang wajib dikritik dan dicaci oleh rakyat, karena bagi mereka, suara rakyat bukan suara tuhan, suara rakyat telah mereka beli sangat mahal saat pemilu.
Bayangkan, melalui UU MD3, tiba-tiba mereka tak mau tersentuh oleh hukum. Mereka tak mau ditangkap oleh KPK di saat mereka mencuri uang negara. Bagi mereka, menyentuh pribadi mereka sama dengan mengadili institusi negara.
Aku adalah DPR, persis seperti slogan Aku Pancasila. Menyerang aku sama dengan menyerang kehormatan DPR. Mengkritik aku sama dengan menghujat ideologi negara Pancasila. Mereka yang menyerang Aku harus dipidanakan, masuk penjara.
Di tengah mewabahnya penyakit edan dan konyol di kalangan pejabat negara tersebut, muncul pengikut orang-orang edan yang bertebaran di sejumlah tempat, yang menjadikan tokoh agama, ulama, pastor hingga pendeta sebagai sasaran dari ke-edan-an. Sejumlah ulama dan seorang pastor telah menjadi korban dari orang orang edan tersebut. Kita mengutuk perbuatan edan yang mengubur peradaban tersebut.
Demikianlah zaman edan yang diramalkan Eyang Ronggowarsito, bagaikan sebuah ekosistem lingkungan hidup yang membentuk cara hidup makhluk di dalamnya. Ke-edan-an dan kekonyolan saat ini tentu bersumber dari ekosistem reformasi yang edan, yang diperparah lagi oleh perilaku para pejabat negara yang tidak tampil sebagai teladan. Bahkan dari hari ke hari mempertontonkan ke-edan-an atau kekonyolan, yang dibenarkan oleh para pendukung edannya.
Kita berdoa semoga ke-edan-an dan kekonyolan millenial model Kim Jung Un dan Vicky Prasetyo tersebut segera berakhir. Terbit dan berganti dengan sikap revolusioner yang melahirkan generasi yang dipimpin oleh iman dan akal, yang berinisiatif dan berani mengambi resiko (take risk), seperti Soekarno, Hatta, Mahatma Gandhi, Imam Khomeini, Nelson Mandela, dan lain-lain.
Oleh: Haris Rusly, Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998, Yogyakarta