Politik

UU MD3 dan Lonceng Kematian Demokrasi Indonesia

Lonceng kematian demokrasi telah diperdengarkan dalam rapat paripurna yang resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Pengesahan UU MD3 terkesan sangat terburu-buru dan menghasilkan suatu produk hukum yang cenderung prematur.

Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai penolakan dan perlawanan dari masyarakat, ormas, dan termasuk diantaranya Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Berikut adalah 14 poin substansi yang dimuat dalam hasil revisi UU MD3, yaitu:

1. Penambahan pimpinan MPR DPR dan DPD serta penambahan wakil pimpinan MKD.

2. Perumusan kewenangan DPR dalam bahas RUU yang berasal dari presiden dan DPR maupun diajukan oleh DPD.

3. Penambahan rumusan tentang pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau warga masyarakat secara umum yang melibatkan kepolisian

4. Penambahan rumusan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak mengatakan pendapat kepada pejabat negara.

5. Menghidupkan kembali badan akuntabilitas keuangan negara.

6. Penambahan rumusan tentang kewenangan dalam Baleg dalam penyusunan RUU tentang pembuatan laporan kinerja inventarisasi masalah di bidang hukum.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Gelar Paripurna Laporan LKPJ Bupati TA 2023

7. Perumusan ulang terkait tugas dan fungsi MKD.

8. Penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam rapat pimpinan sebelum pengambilan keputusan pada pembicaraan tingkat 1.

9. Pembahasan rumusan mekanisme pemanggilan WNI secara paksa dalam hal tidak memenuhi pemanggilan panitia angke

10. Penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas

11. Penamabahan rumusan wewenang tugas DPD dalam pantau dan evaluasi raperda dan perd/a

12. Penamabahan rumusan kemandirian DPD dalam rumusan anggaran

13. Penambahan rumusan Badan Keahlian Dewan (BKD)

14. Penambahan rumusan mekanisme pimpinan MPR DPR dan alat kelengkapan dewan hasil pemilu 2014 dan ketentuan mengenai mekanisme penetapan

Hasil rapat paripurna akan menjadikan DPR sebagai Lembaga super power yang sulit disentuh oleh proses hukum. Anggota DPR tidak dapat diperiksa tanpa adanya izin Presiden dan pertimbangan dari MKD. Hal itu tertuang dalam Pasal 245. Selain itu, kewenangan DPR diperkuat dalam Pasal 74 yang mengatur wewenang memberikan rekomendasi dan berhak melayangkan hak interpelasi, hak angket, serta hak menyatakan pendapat dan mengajukan pertanyaan bila rekomendasi itu tak dilaksanakan.

Baca Juga:  Tiga Kader PMII Layak Menduduki Posisi Pimpinan DPRD Sumenep

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) juga bisa mengambil langkah hukum apabila ada yang merendahkan kehormatan Dewan atau anggotanya. Anggota, hal tersebut diatur dalam Pasal 122 huruf K. Berikut adalah kutipan pasal tersebut:

“Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.”

Selain itu, DPR juga punya hak imunitas yang diatur dalam Pasal 224 ayat 1 UU MD3, yakni tidak bisa dituntut di depan pengadilan karena pernyataannya, pertanyaan, dan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan atau tertulis di dalam rapat DPR atau di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Beberapa kewenangan diatas sangat bertentangan dengan prinsip negara demokrasi yang menjamin hak rakyat untuk menyampaikan pendapat dimuka umum.

Harus dipahami bahwa hukum yang efektif adalah hukum yang bersumber dari respon publik, dan salah satu respon publik dapat tersampaikan melalui kritik baik itu secara lisan ataupun tulisan. Revisi UU MD3 ini terkesan otoriter dan anti kritik, sehingga cenderung menggambarkan bahwa demokrasi telah mati di republik Indonesia. Kriminalisasi terhadap masyarakat yang kritis, ketimpangan penegakan hukum, adalah fenomena yang akan terjadi dimasa yang akan datang seiring dengan disahkannya Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) pada rapat paripurna, Senin (13/2/2018).

Baca Juga:  DPC PDIP Nunukan Buka Penjaringan Bakal Calon Kepala Daerah Untuk Pilkada Serentak 2024

Akhirnya kami mengajak kepada segenap masyarakat yang peduli terhadap bangsa ini agar mengambil langkah konkrit untuk diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk upaya pemenuhan rasa keadilan yang mulai dikebiri oleh para elit politik yang mulai menutup ruang komunikasi dengan cara mengesahkan UU MD3.

Oleh: Muhammad Solihin S, Ketua DPP IMM. Hikmah

Related Posts

1 of 7