NUSANTARANEWS.CO – Hak proregatif tak bisa dibuat untuk mengangkat Kapolri yang sebelumnya belum pernah menjabat Kapolda. Itu padanan KSAU menjadi Panglima TNI tapi belum pernah menjabat Panglima Komando TNI AU.
Tahun 2004 saya ikut dalam Pansus RUU KN (Kementerian Negara). Subtansi UU KN adalah bagaimana proses menngangkat dan memberhentikan Menteri Negara yang sebelumnya merupakan hak prerogatif presiden.
RUU KN harus mengatur pengangkatan dan pemberhentian Menteri Negara. Secara teknik, RUU ini membatasi hak prerogatif presiden.
Pertanyaannya, apa boleh hak prerogatif diatur? Ada dua mazdhab yang kami ambil dan mengerucut ke situ. Yaitu Prof Harun Al Rasyid, dan Prof Ismail Suny.
Harun Al Rasyid berpendapat, “hak prerogatif tak bisa dikurangi”.
Ismail Suny : “Hak prerogatif berhenti ketika muncul hukum yang mengaturnya”.
Pansus mengambil madzhab Ismail Suny, “Hak prerogatif berhenti ketika muncul hukum yang mengaturnya”.
Itu menjadi pedoman di belakang hari mengenai hak prerogatif presiden sampai kini.
Karena RUU KN membatasi hak prerogatif, maka diganti kewajiban presiden melakulan fit and proper test sendiri. Sebab, menteri negara tidak masuk pejabat tinggi yang wajib melalui fit and proper test.
Tadinya, Prof Ryass Rasyid mengusulkan senaat confirmation pengganti fit and proper test bagi menteri negara seperti di Amerika Serikat. Yaitu legalitas hukum publik dari Senaat. Alasannya, karena perilaku menteri negara memberikan pengaruh signifikan kepada negara dan hukum publik. Jadi muncul unstability pemerintahan ketika mereka korupsi, melakukan kejahatan, dan bertingkah aneh-aneh.
Sejak UU ini, menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh UU, dan presiden tak bisa lagi pake suka-suka. Karena rekruit suka-suka terbukti hasilnya ada menteri negara yang terlibat kejahatan, korupsi, infeasible, etc, waktu itu.
Panglima dan Kapolri adalah pejabat tinggi yang wajib melalui fit and proper test. Dalam keadaan normal, Marsekal Hadi mustahil lulus. Yaitu, ada aturan, hukum, yang mewajibkan ia penuhi. Yakni kudu jadi panglima AU 1, 2, 3 sebelumnya, sebagaimana pula disinggung Gatot Nurmantio. Tak bisa main kutu loncat, rusak semua systems. Antree Pak Bro!
Dalam keadaan abnormal, segala memang bisa terjadi, deviasi, kalau main catur: kuda boleh jalan lurus! Suka suka Presiden Jokowi. Kasusnya sama dengan Archandra Tahar ketika diangkat jadi menteri. Suka-suka. Angkat, eh salah. Copot. Agkat lagi. Negara kayak warung kopi.
Diskresi juga tidak dapat digunakan karena tidak ada kekosongan hukum dan masalah memaksa di situ, seperti pada pergantian Kapolri Jenderal Sutarman kepada Badrodin Haiti. Yaitu, ada UU No 34 ditambah aturan di bawahnya, termasuk konvensi (living law) di ketentaraan.
Dalil hukum tata negara (HTN), hak prerogatif berhenti ketika muncul hukum yang mengaturnya adalah sama dengan hak konstitusi. Misal “semua orang berhak atas pekerjaan”. Hak konstitusi itu berhenti ketika muncul hukum yang mengaturnya. Yaitu UU Naker. Hak konstitusi anak-anak untuk bekerja berhenti ketika anak-anak dilarang bekerja oleh UU Naker.(*)
Penulis: Djoko Edhi Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi Hukum DPR, Wakil Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU).