NUSANTARANEWS.CO – Revolusi Arab Saudi menjadi langkah berani dan ambisius Putra Mahkota Kerajaan Mohammed bin Salman (MBS), putra Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud. Raja Salman sendiri dalam waktu dekat akan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada putranya tersebut.
Dengan kata lain, Arab Saudi punya pemimpin baru dan MBS sudah memulai revolusinya dengan menyingkirkan sejumlah pangeran, menteri dan penguasaha kaya raya dari lingkungan kerajaan. Bagi MBS, mereka semua adalah ancaman bagi kekuasaannya kelak.
MBS sedang berusaha membangun nasionalisme Saudi dan menyingkirkan kekuasaan Wahabisme. MBS memandang, Arab Saudi sudah saatnya melakukan modernisasi dan membuka diri dari dunia luar di segala bidang, termasuk sosial dan budaya.
Untuk mencapai ini, Arab Saudi membutuhkan musuh yang kuat. Iran adalah rival paling ideal dari upaya hegemoni Arab Saudi di Timur Tengah. Perimbangan domestik ini setidaknya membantu menjelaskan mengapa Arab Saudi mendapatkan tantangan dan ketegangan dengan Iran kala kedua negara berperang di Irak, Suriah dan Yaman.
Provokasi Iran adalah problem dan hambatan utama Arab Saudi. Bagaimana pun, tentara kerajaan Arab Saudi tentu belum bisa menandingi kekuatan militer Iran. Alhasil, rencana cadangan pun dijalankan, yakni meningkatkan kerjasmama keamanan dengan Israel. Tapi, kerjasama ini tentu bukan jaminan.
Sebelumnya, Kepala Staf Israel, Jenderal Gadi Eisenkot berbicara kepada sebuah surat kabar Saudi tentang banyaknya kepentingan bersama antar kedua negara. Dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu juga telah menegaskan bahwa Israel tidak akan mengizinkan Iran untuk membangun pangkalan militer dan pangkalan angkatan laut di Suriah. Keinginan Isreal ini juga sama persis dengan rencana dan keinginan Arab Saudi.
Namun, keinginan Israel ini dikritik keras oleh mantan menteri luar negeri Israel, Shlomo Ben-Ami. Ia menilai, adalah sebuah langkah bodoh kalau Israel berpikir mereka akan terlibat dalam perang skala penuh di utara perbatasannya hanya untuk kepentingan Arab Saudi.
Dewasa ini, Arab Saudi cenderung hanya ingin memanfaatkan Israel untuk menjadi garda terdepan melakukan aksi-aksi serangan ke basis-basis dan milisi Iran terutama di Suriah dan Lebanon. Sholmo ada benarnya, perang proxy yang tengah dimainkan Arab Saudi di Timur Tengah memang sudah seharusnya disikapi secara kritis dan rasional. Karena memang, sejak awal Israel mencoba untuk berpikir rasional mengikuti kemauan Arab Saudi. Ambil contoh misalnya pada 2012, di mana Netanyahu tidak menindaklanjuti ancaman untuk melakukan serangan terhadap instalasi nuklir Iran. Dan baru-baru ini, Israel juga menolak ajakan Arab Saudi untuk terlibat dan campur tangan dalam perang sipil di Suriah melawan rezim Alawi Bashar Al-Assad. Israel tahu, di belakangan Al-Assad ada kekuatan besar Iran, yang juga disokong Rusia.
Namun begitu, tetap saja, Israel perlahan tapi pasti juga tengah mencoba untuk memperuncing konflik terbuka dengan Iran. Salah satu cara yang ditempuh ialah menyerang dan memerangi kelompok Hizbullah yang kerap berpatroli di perbatasan Suriah dan Lebanon.
Konflik Suriah dan Israel kini tengah berkecamuk di dataran tinggi Golan. Suriah masih berusaha menguasai front utara Golan dan Al-Assad secara agresif telah memerintahkan pasukannya untuk tidak mengundurkan diri dari kawasan tersebut. Sementara Israel telah membentuk garis merah baru di Suriah untuk memberikan perlindungan kepada komunitas Druze di Suriah. Israel mengklaim, warga Druze sangat loyal dan setia kepada Tel Aviv dibandingkan Suriah.
Rencana Israel untuk menyerang Suriah dan Lebanon tampaknya masih belum akan dilakukan dalam waktu dekat. Israel masih sadar diri bahwa kekuatan militernya dianggap belum mencukupi untuk berperang secara terbuka. Saat ini, perang terbuka bagi Israel adalah sesuatu yang tidak masuk akal sampai persiapan benar-benar matang. Sehingga tak heran, Israel kini tengah sibuk melakukan latihan perang dan simulasi evakuasi warga sipil. Apalagi, jika perang pecah, target Israel adalah kemenangan tanpa cela, bukan lagi gencatan senjata atau perjanjian damai.
Namun, Arab Saudi justru bersikap lain. Israel terus didesak untuk segera berperang melawan Hizbullah, sampai pada gilirannya juga akan memerangi Iran. Kekalahan Arab Saudi di Suriah memang harus dibayar mahal, tapi mereka tak mau menyerah begitu saja. Sebagai upaya lanjut, Arab Saudi tengah menggeser peperangannya dari Suriah ke Lebanon.
Lebonon dinilai menjadi sebuah negara yang paling rentan jika terjadi konflik bersenjata. Pasalnya, di sana kelompok masyarakat dan elitnya terbagi ke dalam dua kubu; anti-Suriah (Sunni) dan Hizbullah (Iran/Syiah). Hal itu tergambar dalam diri Presiden Michel Aoun dan Perdana Menteri Saad Hariri. Arab Saudi saat ini sedang mendorong terjadinya konflik sipil di Lebanon.
Artinya, MBS tengah memainkan akrobat politik yang paling berisiko. Dan Amerika Serikat, melalui pernyataan Donald Trump, telah menawarkan dukungan luas kepada Arab Saudi untuk melakukan perlawanan terhadap Iran. Namun yang jelas, kekalahan Arab Saudi dan Amerika di Suriah adalah isyarat jelas bahwa keinginan ambisius mereka telah terkubur menyedihkan dalam peperangan Suriah dan Irak. (red)
Editor: Eriec Dieda
Source: Berbagai sumber