MancanegaraTerbaru

Revolusi Top-Down Arab Saudi Berpotensi Hancurkan Timur Tengah

NUSANTARANEWS.CO – Arab Saudi adalah salah satu negara Arab terbesar secara populasi dan geografi. Kekayaan minyaknya telah menjadi sumber dan simbol kekuatan perekonomian Saudi sehingga menjadikannya sebagai mitra strategis yang sangat diperlukan Barat, utamanya Amerika Serikat.

Ditopang pembangunan infrastruktur selama bertahun-tahun, telah merubah wajah Arab Saudi bergaya Amerika, bahkan sampai ke Mekkah dan Madinah yang merupakan tempat suci bagi umat Muslim sedunia.

Namun di sisi lain, Arab Saudi juga menjadi rumah bagi kelompok konservatif anti-barat. Gerakan reaksioner mereka selama bertahun-tahun telah dikenal dengan sebutan Wahabisme, sebuah doktrin Salafi yang memperngaruhi banyak kelompok Islamis paling radikal dewasa ini.

Di tengah-tengah situasi perekonomian global yang tak menentu, Arab Saudi pun akhirnya terkena imbasnya. Minyak yang telah menjadi sumber utama perekonomian Arab Saudi kini mulai mengalami tekanan hebat sehingga membuat harga minyak terus jatuh.

Daripada membiarkan generasi muda Arab Saudi bergabung dengan kelompok-kelompok ekstremis, Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) rupanya menyimpulkan bahwa negaranya perlu melakukan modernisasi. Anak-anak muda itu harus diberikan pendidikan dan pekerjaan. Alhasil, Arab Saudi membuka diri seluas-luasnya tak hanya dalam bidang ekonomi tetapi juga sosial dan budaya.

Baca Juga:  Pleno Kabupaten Nunukan: Ini Hasil Perolehan Suara Pemilu 2024 Untuk Caleg Provinsi Kaltara

Buktinya, Arab Saudi kini telah mengizinkan wanita mengendarai sendiri mobilnya dan diperbolehkan masuk ke dalam arena olahraga sebagai suporter, termasuk menonton pertandingan sepakbola. Ini merupakan suatu hal yang sangat dilarang di tahun-tahun sebelumnya.

Demi mewujudkan Vision 2030, MBS melakukan revolusi dari atas alias revolusi top-down. Caranya, pemain-pemain lama di lingkungan kerajaan dibersihkan. Puluhan pangeran, menteri, pengusaha kaya raya yang berpengaruh di lingkungan kerajaan disingkirkan, aset-asetnya dibekukan.

Revolusi top-down ala MBS ini ternyata berisiko tinggi. Jika gagal, Salafis radikal akan mengambil-alih kekuasaan di Riyadh. Sebaliknya, jika berhasil maka modernisasi Arab Saudi ini akan menjadi benteng utama dan menyingkirkan kekuasaan Wahabisme lalu menggantikannya dengan nasionalisme Saudi. Untuk mencapai ini, Arab Saudi membutuhkan musuh yang kuat. Iran adalah rival paling ideal dari upaya hegemoni Arab Saudi di Timur Tengah.

Perimbangan domestik ini setidaknya membantu menjelaskan mengapa Arab Saudi mendapatkan tantangan dan ketegangan dengan Iran kala kedua negara berperang di Irak, Suriah dan Yaman. Kini, Arab Saudi sedang memainkan proxy-nya di Qatar dan Lebanon. Sementara Bahrain cenderung sudah tunduk, begitu pula negara-negara lainnya.

Baca Juga:  Sekda Nunukan Buka FGD Penyampaian LKPJ Bupati Tahun Anggaran 2023

Perang proxy di Suriah adalah contoh nyata persaingan Arab Saudi dan Iran, begitu pula di Yaman. Mereka bahkan tak mempertimbangan konsekuensi kemanusiaan yang mengerikan akibat perang proxy tersebut. Perang proxy adalah pilihan paling memungkinkan bagi kedua negara ketimbang konflik militer langsung.

Meski demikian, mantan menteri luar negeri Jerman Joschka Fischer menilai, perang proxy ini pada akhirnya akan berubah menjadi konflik panas dan cepat mengingat perkembangan mutakhir.

Terbaru, Arab Saudi kembali memainkan perang proxy-nya di Lebanon yang ditandai mendesak agar Perdana Menteri Saad Hariri mengundurkan diri dan memerintahkan warganya di Lebanon segera kembali ke Arab Saudi. Di satu sisi, Iran sudah lebih dulu menempatkan pengaruh dan kekuatannya dengan hadirnya kelompok Hizbullah.

Di Yaman, pasukan koalisi yang dipimpin Arab Saudi telah menciptakan kekacauan dan tragedi kemausiaan yang mengerikan. Kelompok Houthi yang didukung Iran terus melakukan perlawanan sengit. Terbaru, Houthi menembakkan sebuah rudal dengan target Riyadh. Untung, rudal itu berhasil dicegat sebelum mencapai sasaran.

Kini, koalisi Arab Saudi tampaknya akan menggeser perangnya ke Lebanon setelah relatif gagal di Yaman, Irak dan Suriah. Pertanyaannya, apakah Saudi akan berusaha melibatkan Israel dan Amerika Serikat untuk perang di Lebanon? Tampaknya, itulah pilihan alternatif Saudi untuk menekan Iran di Lebanon.

Baca Juga:  Oknum BPN Jakarta Timur Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Pembangunan RSPON

Revolusi Arab Spring yang bergulir sejak 2010, telah meluluh-lantakkan Timur Tengah. Arab Spring bertarti juga kebangkitan dunia Arab, merupakan gelombang revolusi unjuk rasa dan protes besar-besaran yang terjadi di tanah Arab. Gerakan yang juga dikenal pemberontakan Arab ini dimulai sejak 18 Desember 2010 silam yang berhasil memicu terjadinya gelombang revolusi di Tunisia, Mesir, perang sudara di Libya, pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, Yaman, protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, Oman, Kuwait, Lebanon, Mauritania, Sudan dan Sahara Barat, bahkan hingga kerusuhan di Israel.

Kali ini, revolusi Arab Saudi yang dimainkan MBS adalah sebuah usaha berisiko tinggi. Salah-salah, keberhasilannya memungkinkan akan disertai peningkatan ketegangan secara dramatis di kawasan regional dan berpotensi menimbulkan perang atau konflik militer langsung. Dan Timur Tengah, kawasan bersejarah umat Muslim di seluruh dunia kini terancam menjadi kawasan tak bertuan. (red)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 34