NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Anggota Komisi II DPR RI, Lukman Edy mengatakan Komisi II telah melakukan pemetaan mengenai potensi konflik yang akan terjadi dalam Pilkada Serentak 2018, maupun Pilpres 2019.
“Kami (Komisi II) sering melakukan kunker (kunjungan kerja-red) memantau persiapan Pilkada, termasuk pendataan persiapan Pilkada untuk menginventarisasi potensi konflik serta rencana penanganan,” ujar Lukman Edy di Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Politisi PKB ini mengungkapkan setidaknya ada beberapa poin yang telah dicatat oleh DPR RI Komisi II terkait potensi konflik yang akan terjadi pada Pilkada Serentak 2018 mendatang.
Pertama, konflik yang muncul akibat kurang massifnya sosialisai tentang UU Pilkada, Peraturan Bawaslu, dan PKPU. “Ternyata kekurang-pahaman terhadap PKPU, tidak hanya di masyarakat tetapi di tahap pelaksana Pemilu pun mengalami hal serupa. Sehingga diperlukan sosialisasi yang masif,” katanya.
Karenanya, Lukman Edy menyarankan agar pihak-pihak terkait melakukan sosialisasi secara massif. “Saran saya masif kan sosialisasi melalui bimtek di KPU kab/kota baik menggunakan forum tertutup atau media lain,” imbuhnya.
Lukman melanjutkan, potensi konflik yang dilakukan oleh incumbent atau petahana. Menurutnya incumbent, punya konflik besar di tingkat kab/kota karena incumbent rawan menyalahgunakan kekuasaan dan berpotensi membuat praktek-praktek kecurangan sehingga ada pasal khusus dalam UU Pilkada terutama pasal 71 larangan terhadap incumbent.
“Saran saya sosialiasi pasal 71 harus masif dilakukan KPU dan Bawaslu,” ucapnya.
Lukman melanjutkan, potensi Konflik yang lain adalah keterlibatan ASN, TNI/Polri. Menurutnya. Potensi ASN yang terlibat menolong kandidat yang mencalonkan diri kembali sebagai bakal calon cukup kuat.
“Solusi harus ada MoU, Bawaslu, Kemendagri, BKN, KASN dan Menpan RB bagi ASN yang melanggar wajib dieksekusi keputusan Bawaslu. Lalu keterlibatan TNI/Polri juga begitu nyata sejak Pilkada Serentak 2015. Inilah sumber potensi konflik terbesar,” kata Lukman Edy.
Selain itu, potensi konflik selanjutnya adalah konflik yang diakibatkan adanya politik uang. “Konflik akibat politik uang semisal beli suara secara eceran (langsung) maupun grosiran (dilakukan di TPS) saat pemilihan. Solusinya, Panglima (TNI) dan Kapolri bikin peraturan bersama,” lanjutnya.
Selanjutnya menurut Lukman, konflik akibat salah hitung dan rekap hasil suara. Ini menuntut ditingkatkannya sistem pengawasan dengan menggabungkan penghitungan manual dengan elektronik.
Selain itu, potensi konflik yang lain adalah konflik akibat KPUD yang berpihak terutama kabupaten dan kota, bahkan sampai tingkat TPS pun rawan keberpihakan.
Kemudian potensi konflik yang lain adalah konflik akibat Bawaslu yang tidak adil, apalagi Bawaslu diketahui memiliki kewenangan yang sangat luas.
“Bawaslu bisa bertindak sebagai Polisi dengan menyelidik, Bawaslu bisa sebagai Jaksa dengan menuntut, dan Bawaslu bisa menjadi hakim dengan memutus perkara pemilu,” katanya.
Hal lain yang juga jangan sampai luput adalah konflik yang ditimbulkan akibat pelanggaran kampanye. Ambil contoh misalnya isu SARA serta konflik antar parpol dan dan kandidat. Karenanya, Bawaslu yang memiliki wewenang cukup luas harus mampu menjaga keadilan Pemilu.
“Bawaslu untuk rakyat, demi menjaga keadilan pemilu,” pungkasnya.
Reporter: Syaefuddin Al Ayubbi
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews