Penulis: Soeprapto M.Ed.
NUSANTARANEWS.CO – Prof. Dr. Attamimi dengan merujuk pendapat Prof. Notonagoro, Prof Soepomo dan Hans Nawiasky, dalam disertasinya menyebutkan bahwa dalam Pembukaan suatu Undang-Undang Dasar terdapat yang disebut rechtsidee atau cita hukum yang berisi sistem nilai yang menjadi landasan bagi penyusunan peraturan perundang-undangan.
Cita hukum ini bersifat konstitutif dan regulatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat dari bangsa yang bersangkutan. Bagi bangsa Indonesia cita hukum tersebut tiada lain adalah Pancasila, sehingga prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila harus dipergunakan sebagai dasar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan dan dalam bersikap dan betingkah laku masyarkat dalam hidup berbangsa dan bernegara. Setiap peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan derivat Pancasila harus dihapus dari sistem hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung harus jeli dalam mengadakan judicial review terhadap segala peraturan perundang-undangan.
Salah satu contoh banyak Peraturan Daerah yang menyimpang dari prinsip yang terkandung dalam Pancasila, misal bernuansa keagamaan tertentu atau kedaerahan tertentu. yang harus diluruskan. Sementara itu prinsip bhinneka tunggal ika harus diacu dalam menetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang sangat pluralistik. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang No.10 tahun 2004, bahwa setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia di antaranhya harus berdasar:
- Asas kebangsaan, bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat Negara yang berbhinneka tunggal ika, pluralistik dalam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Asas bhinneka tunggal ika, bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Perlu kita cermati bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bukan agama, apalagi suatu agama tertentu. Ketuhaan Yang Maha Esa adalah suatu konsep religiositas yang mengakui adanya zat gaib tertentu yang diibadati masyarakat sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Religiositas berasal dari kata religious; menurut kamus Webster bermakna relating to that which is acknowledged as ultimate reality, atau manifesting devotion to and reflecting the nature of the divine or that which one hold to be of ultimate importance. Dengan demikian religious berarti berkaitan dengan pengakuan terhadap sesuatu realitas yang bersifat mutlak. Atau dapat pula bermakna sebagai ungkapan persembahan/peribadatan terhadap yang gaib, yang diyakini sebagai hal penting yang mutlak.
Religiositas yang dalam bahasa Inggris religiosity memiliki arti intense, excessive, or affected the quality of being religious. Dengan demikian religiositas berarti senang atau cenderung pada realitas yang bersifat mutlak atau persembahan/pengabdian terhadap yang gaib, yang diyakini sebagai sesuatu yang penting dan bersifat mutlak dalam kehidupan manusia.
Pancasila berpandangan bahwa Tuhan adalah sebagai prima causa , sebagai pencipta segala alam semesta, pemelihara dan pengatur alam semesta, menyantuni segala keperluan ciptaanNya. Maka manusia wajib bertakwa dan beribadah kepada Tuhan. Manusia wajib mensyukuri segala nikmat karunia Tuhan dan menyabari segala ujianNya. Religiositas Pancasila terjabar dalam prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Adapun prinsip yang terkandung dalam Pancasila ialah:
- Pengakuan adanya berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
- Setiap individu bebas memeluk agamanya dan kepercayaannya;
- Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan kepada pihak lain;
- Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;
- Saling hormat-menghormati antar pemeluk agama dan kepercayaan;
- Saling menghargai terhadap keyakinan yang dianut oleh pihak lain;
- Beribadat sesuai dengan keyakinan agama yang dipeluknya, tanpa mengganggu kebebasan beribadat bagi pemeluk keyakinan lain;
- Dalam melaksanakan peribadatan tidak mengganggu ketenangan dan ketertiban umum.
- Peran Pemerintah, Lembaga Masyarakat dan Pemuka Agama dalam penyelesaian Konflik
Pemerintah hendaknya dapat menfasilatasi masyarakat dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang tidak bersifat kontroversial, memihak pada kelompok tertentu baik yang berorientasi keagamaan maupun suku/etnisitas tertentu, serta yang tidak membingungkan masyarakat. Demokrasi hanya akan terlaksana dengan baik apabila golongan minoritas dilindungi dan mendapatkan hak dengan semestinya. Pemerintah harus melindungi golongan minoritas, sehingga tidak menjadi warganegara kelas dua. Sementara itu law enforcementterhadap peraturan perundang-undangan harus ditegakkan. Setiap warganegara memiliki kedudukkan yang sama di hadapan hukum.
Lembaga masyarakat hendaknya menjadi sosialisator dalam rangka masyarakat memahami serta mematuhi peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh Lembaga Negara yang berhak, dengan cara yang etis dengan tidak memihak pada golongan tertentu. Sosialisasi peraturan perundang-undangan dapat dengan cara tradisional dapat dengan mempergunakan media massa tulis maupun elektronik. Dalam melaksanakan tugasnya lembaga masyarakat mendapat bantuan dari pemerintah, misal dalam menyediakan bahan yang diperlukan, penyelenggaraan acara sosialisasi dan sebagainya. Dengan demikian terjadi kerjasama yang sinerjik antara pemerintah dan lembaga kemasyarakatan.
Lembaga Keagamaan hendaknya dapat dimanfaatkan untuk menguji setiap peraturan perundang-undangan bahwa materi atau substansi yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan ajaran yang terdapat dalam agama yang dipeluknya. Bila terjadi hal yang tidak sesuai agar segera disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung untuk diproses lebih lanjut. Lembaga keagamaan tidak mengambil tindakan sendiri bila terjadi suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan ajarannya.
- Metoda Penyelesaian Konflik
Pluralistik adalah sifat untuk menghargai perbedaan, hal ini bukan berarti bahwa perbedaan tersebut untuk dibesar-besarkan. Perlu dicari common platform yang dapat depergunakan sebagai pegangan bersama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Prinsip bhinneka tunggal ika harus dijadikan pegangan dalam menyelesaikan setiap perbedaan dan perebutan kepentingan.
Dengan mengadakan dialog, diskusi, diskursus perlu dikembangkan sikap yang merupakan pencerminan dari Bhinneka Tunggal Ika.
Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap dan perilaku tersebut adalah:
Perilaku inklusif.
Di depan telah dikemukakan bahwa salah satu prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika adalah sikap inklusif. Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
Mengakomodasi sifat pluralistik
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola kehidupan bersama yang disebut pela gadong, suatu pola kehidupan masyarakat yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun, bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya. Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.
Tidak mencari menangnya sendiri
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Musyawarah untuk mencapai mufakat
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyawarah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepakatan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution. Cara votingsedapat mungkin dihindari, karena hanya akan memberikan peluang kepada yang kuat dan besar untuk memaksakan kehendak, sehingga terjadi situasi yang disebut “dominasi mayoritas;” suatu situasi yang tidak tiharapkan dengan berlangsungnya demokrasi.
Dikembangkan rasa kasih sayang dan rela berkorban
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan Bhnneka Tunggal Ika menerapkan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.
Demikianlah gambaran dalam garis besar bagaimana Bhinneka Tunggal Ika diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan cara ini akan terhindar dari konflik yang mungkin timbul akibat kesalah fahaman.
- Pola Pengelolaan Kehidupan Pluralistik berdasar Pancasila
Sifat pluralistik bangsa harus dipandang sebagai suatu karunia Tuhan yang harus dimanfaatkan secara tepat. Dengan berdasar pada Pancasila maka kekuatan yang terkandung dalam keanekaragaman justru akan menjadikan modal bagi pertumbuhan dan kemajuan bangsa. Apa yang tercantum dalam butir-butir di atas merupakan sekaligus pola pengelolaan pluralistik bangsa berdasar Pancasila. Konsep religiositas, humanitas, nasionalitas, sovereinitas dan sosialitas yang terjabar dalam prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus melandasi pola pengelolaan kehidupan pluralistik dimaksud.
Setiap warganegara, utamanya para penyelenggara negara dan pemerintah wajib memahami dengan seksama konsep dan prinsip yang terkandung dalam Pancasila agar mampu menerapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam mengantisipasi kemajemukan bangsa. Berbagai peraturan perundang-undangan telah menetapkan ketentuan tersebut, yang bermakna mengikat setiap warganegara. Tamat. (AS/Soeprapto/LPPKB)