Artikel

Dhandy Dwi Laksono dan Laiskodat, Anomali yang Bikin Geli

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Nama wartawan senior Dandy Dwi Laksono mendadak tranding topic setelah dirinya dipolisikan menyusul tulisannya dituding menyamakan Aung San Suu Kyi dengan Megawati. Setelah membaca, sebenarnya tak sedikitpun ditemukan konten SARA ataupun ujaran kebencian di dalam tulisan mantan wartawan Kompas tersebut.

Janggal memang! Ya memang begitulah kenyataannya. Sebaliknya, tak ada angin tak ada hujan Dhandy tetiba mendapat surat panggilan dari polisi. Mengutip celetukkan seorang kawan yang mengaku heran, “Opo-opoan toh iki?” cetusnya menanggapi kasus pemolisian terhadap Dhandy.

Sebelumnya, Dhandy dilaporkan ke polisi oleh Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) yang merupakan organisasi sayap PDIP dengan pasal menyamakan Megawati dengan Suu Kyi. Tak ayal, situasi ini membuat si Dhandy seperti tersambar petir di siang bolong sekaligus seperti ketiban (kejatuhan) ‘pulung’.

Konsekuensi logisnya, hukum kausalitas pun berlaku dalam konteks ini. Bagaimana tidak, satu sisi Dhandy kini tengah diliputi rasa was-was, lantaran jeruji besi menanti. Namun di sisi lain, ia musti layak ‘bersyukur’.

Baca Juga:  Tak Beretika, Oknum Polisi Polda Metro Jaya Masuk Kamar Ketum PPWI Tanpa Izin

Pasalnya pasca pelaporan itu, kini tulisannya semakin viral dan diburu banyak orang lantaran penasaran. Juga melambungkan namanya pula. Tak hanya itu, berbagai dukungan moril dari berbagai pihak justru mengalir kepadanya. Setidaknya di laman dinding facebook miliknya. Tapi memang benar, Dhandy layak didukung.

Namun bukan itu yang menjadi pokok permasalahannya. Melainkan mengenai sistem penegakan hukum di Indonesia itu sendiri, khususnya pihak polisi. Di mana ketika kasus tulisan Dhandy, polisi begitu tampak ‘garang’. Sementara untuk beberapa kasus lainnya seperti pidato provokatif Ketua Fraksi Partai Nasdem Viktor Laiskodat polisi seolah diam tak bergeming.

Jika dibuat perbandingan antara Dhandy dan Laiskodat maka kita akan menemukan benang merah yang paradoks terkait perlakuan polisi terhadap keduanya. Sebagaimana diketahui, sejak pidatonya di Kupang 1 Agustus 2017 lalu menjadi viral, hingga kini proses hukum terhadap Viktor Laiskodat tampaknya tak sedikitpun disentuh.

Secara konten jelas bahwa tidak hanya ujaran kebencian, pidato Laiskodat juga memuat konten yang bersifat memecah-belah. Berikut isi sebagian pidato provokatif Laiskodat berdasarkan potongan video yang tersebar di jejaring sosial:

Baca Juga:  Mengulik Peran Kreator Konten Budaya Pop Pada Pilkada Serentak 2024

“Catat bae-bae, calon bupati, calon gubernur, calon DPR dari partai tersebut, pilih supaya ganti negara khilafah. Mengerti negara khilafah? Semua wajib solat. Mengerti? Negara khilafah tak boleh ada perbedaan, semua harus solat. Saya tidak provokasi.

Nanti negara hilang, kita bunuh pertama mereka sebelum kita dibunuh. Ingat dulu PKI 1965, mereka tidak berhasil. Kita yang eksekusi mereka. Jangan tolak perppu nomor 2 Tahun 2017.”

Dari hasil transkripan pidato Laiskdoat itu tampak gamblang. Mana konten yang penuh muatan SARA dan pecah belah serta mana konten yang sifatnya mengajak seperti dalam ulasan bernasnya Dhandy. Tentu terkait dua konten tersebut, apa yang dituliskan Dhandy dengan apa yang diucapkan Laiskodat tak perlu diperdebatkan.

Tapi dalam penindakan hukum justru yang didapatkan Dhandy terkesan tak adil. Sementara perlakuan terhadap Laiskodat yang jelas-jelas hate speech seoalah diistimewakan. Apa iya, Dhandy Dwi Laksono harus masuk partai koalisi pemerintah dulu, baru kemudian dapat perlakuan serupa? Inilah anomali penegakan hukum di negeri ini yang bikin geli. Ah sudahlah!

Baca Juga:  Luthfi Yazid dan DePA-RI

Penulis: Romandhon

Related Posts

1 of 31