Berita UtamaFeaturedPolitik

Ajeng Kamaratih Metro TV Mirip Aung San Suu Kyi, Sang Diktator

Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi Hukum DPR).

Penguasa Myanmar gusar besar. “Dunia tidak adil”, kata Aung San Su Kyi, pemimpin ruling party, National League Democratic, menjawab kecaman dunia atas serangan para militernya ke masyarakat sipil Rohingya di Rakhine. Reason Suu Kyi, dunia tak paham mereka. “Faktanya dibalik, hoax”, kata Suu Kyi, menyangkal kecaman itu.

Ngomong apalagi Ajeng Kamaratih ini? Eh, mirip kan? Ajeng Kamaratih penyiar Metro TV dengan Suu Kyi? Lembut, Mustahil ia diktator. Faktanya, seperti Robiespierre, pengacara pembela orang kecil, berubah diktator kala jadi penguasa Perancis, dan mengirim 6.000 orang ke tiang gantungan. Lihat Suu Kyi, lihat Miss Indonesia 2008 Ajeng Kamaratih: kelembutan yang mematikan! Tak menuduh Ajeng diktator, tapi jika ingin tahu Suu Kyi muda, ya Ajeng Kamaratih itu.

“Tak dapat dipahami serangan terhadap polisi, 9 tewas oleh pemberontak ARSA”, kata Suu Kyi membela diri. Absurditas Suu Kyi, polisi diserang orang bersenjata adalah takdir dari sononya. Makanya polisi dikasih senjata juga. Tak urung Suu Kyi kini dijuluki diktator.

Dewan Rohingya Eropa (ERC – European Rohingya Council) meminta internasional melindungi rakyat sipil dari militernya Suu Kyi. Serangan mematikan terhadap pos-pos perbatasan di Rakhine, Myanmar Barat, Jumat (25/8/2017), membunuh lebih 100 Muslim Rohingya, mengusir ribuan penduduk desa, membakar rumah mereka dengan mortir dan senapan mesin. Militernya sudah gila!

Kekerasan di Rakhine antara pemeluk Budha dan Islam sejak konflik komunal meletus 2012. Operasi militer pun dimulai Oktober 2016 di Maungdaw, di tempat Rohingya mayoritas, di situ militer melakukan kejahatan kemanusiaan, pemerkosaan massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, penyiksaan, penculikan brutal. 400 tewas mengutip ERC dan PBB.

Baca Juga:  Kerahkan Baladewa Dukung Khofifah-Emil di Pilgub, Ahmad Dhani: Optimis Menang 60 Persen

Ketika dua tahun lalu, seorang gadis Budhis diperkosa dan dibunuh tiga pemuda Rohingya, berakhir dengan serangan para militer yang gila-gilaan, dunia tak mengecam Suu Kyi sekalipun tak ada yang ia lakukan. Hal itu karena Suu Kyi telah berkuasa, tapi belum berkuasa penuh. Ia diam seribu basa. Dunia berpendapat Suu Kyi butuh waktu mengelaborasi kekuasaannya yang 14 bulan lalu, diambil via pemilu dari penguasa Juncta Militer yang memenjarakannya selama 15 tahun.

Namun fenomena kini, setelah berkuasa penuh, masih sama dengan dua tahun lalu. Tak ada jejak pro demokrasi pada kebijakannya. Adanya pembatasan pers yang dulu membelanya. Suu Kyi adalah Suu Kyi, orang yang tak pantas memimpin demokrasi dan lebih cocok jadi Miss Kecantikan Boston.

Prof Jimly Asshiddiqie menyatakan Suu Kyi adalah produk sistem feodal. Suu Kyi adalah anak mantan Perdana Menteri Pertama Myanmar, pendiri negara itu kayak Megawati. Suu Kyi naik bukan karena pencapaian dirinya. Karenanya Suu Kyi hanya memperjuangkan dirinya, bukan kemanusiaan. Saya setuju Prof Jimly.

Konyolnya, Suu Kyi adalah penerima Nobel Perdamaian karena perjuangan anti-kekerasan untuk demokrasi dan hak asasi manusia. Menyitir Palupi Annisa Aulani mengutip The Guardian 30 Desember 2016, juga terdapat puluhan kecaman penerima Nobel terhadap Suu Kyi sebelumnya. Harian ini menyertakan hyperlink surat terbuka para penerima aneka Nobel yang terhubung ke halaman Facebook Muhammad Yunus—penerima Nobel Perdamaian 2006.

Baca Juga:  Temui Buruh Pabrik Rokok Grendel, Inilah Janji Cagub Risma Untuk Buruh

Di situs pengumpulan dukungan Change, misalnya, juga sudah muncul ajakan untuk meminta pencabutan Nobel Perdamaian dari Suu Kyi, yang diinisiasi oleh Emerson Yuntho dari ICW.

The Advisory Commission on Rakhine State—melibatkan Kofi Annan, mantan Sekjen PBB— sebelum peristiwa kini, sudah ditolak Suu Kyi. Baik pers maupun PBB tak bisa konfirmasi pelanggaran HAM itu hingga kini.

Apapun cacat cela Tun Abdul Razak, harus diakui ada derma yang bagus dari Perdana Menteri Malaysia itu untuk Rohingya. Ia turun ke jalan berdemonstrasi mengecam Suu Kyi yang mengundang kritik Mahatir Mohammad. “Mengapa Razak turun ke jalan? Mengapa ia tak menggunakan kekuasaannya saja untuk menghentikan tragedi kemanusiaan itu?” Benar juga Mahatir. Pernyataan yang sama layak diajukan kepada Presiden Jokowi. Apa kata Razak?

“Mengapa saya harus menggubris etika antar negara Asean kalau hak azasi manusia Asean tidak digubris?” jawab Razak. Wajar retorika Razak, karena Malaysia yang memasukkan Myanmar ke Asean.

Masalah sangat terang benderang. Kediktatoran Suu Kyi adalah masalah rumah tangga Asean. Rohingya ada di meja Asean. Lho, Indonesia ketuanya: bikin saja seperti Sharm El Silkh di kaki Bukit Sinai Selatan, sebuah daerah di bawah Perjanjian Camp David.

Habis, tak ada negara yang mau menerima Rohingya. Itu sama dengan membangun pelanggaran HAM oleh Asean continuously. Beri sajalah Rohingya sebuah Sharm El Sikh di bawah Perjanjian Asean. Beres.

Baca Juga:  Hasto: Wajibkan Cakada dari PDIP Wajib Menang di Pilkada Jatim

God Must Be Crazy

Sensus penduduk Myanmar 2014 mencatat, 87,9 persen pemeluk agama Buddha. Rohingya salah satu suku minoritas di Myanmar. Mereka berada di negara itu selama beberapa generasi di Rakhine, semacam provinsi di Myanmar.

Namun, Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka sebagai warga negara. Mereka menyebut Rohingya adalah imigran Muslim ilegal asal Banglades.

Nasib buruk Rohingya di Myanmar menjadi-jadi sejak juncta militer menguasai Myanmar mulai 1960-an. Pada 1982, diterbitkan UU Kewarganegaraan Myanmar, Burma Citizenship Law, tapi tak memasukkan Rohingya sebagai warga negara. Burma atau Birma, adalah nama lama Myanmar diubah 1989.

Di Myanmar, Rohingya dianggap bagian dari suku Bengali—wilayah Banglades—karena pada 1960-an suku ini pernah mengungsi massal ke wilayah Bengali akibat represi militer.

Namun, tudingan bahwa Rohingya sejatinya orang Bengali pun, tak sejalan dengan sikap Pemerintah Banglades. Negara ini pun tak mau menyambut orang Rohingya sebagai warga negaranya, meski menampung seribuan pengungsi dari suku tersebut.

Konflik Rohingya di Myanmar bukan sekali atau dua kali berujung dengan hilangnya nyawa. Kisah warga kelaparan—termasuk perempuan dan anak-anak—lebih sering muncul.

Selain tak diakui kewarganegaraannya, orang-orang Rohingya tak punya akses untuk segala pekerjaan di Myanmar, kecuali segelintir dari orang-orang yang terketuk hati memberi pekerjaan informal. Mengungsi ke negara-negara lain—tak cuma  Bangladesh, tak diterima. God must be crazy.

Penulis, Mantan Anggota Komisi Hukum DPR. Kini Wakil Sekretaris Pemimpin Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama PBNU

Related Posts

1 of 12