NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Puisi di tangan penyair atau sastrawan mengandung dentuman sunyi yang sublim. Aumnya yang lengking berdenting laiknya orkestra keheningan. Dan keberadaannya menjadi oase bagi jiwa-jiwa yang gersang. Puisi yang lahir dari rahim para penyair, jika ia berupa kritik, pastilah tajam dan tegas. Lalu seperti anak panah menyasar objeknya.
Tetapi bagaimana bila puisi lahir dari kalangan pengamat dan politisi? Tentu saja, puisi itu kaku, penuh intrik, dan menggelikan. Tentu ada maksud di dalamnya. Pesan pun tersurat dan tersirat daripadanya. Tetapi, puisi itu gersang dan sama sekali tak sampai pada yang disebut sentuhan jiwa.
Berikut ini contoh puisi yang ditulis oleh seorang politisi yang kini menjabag sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Hanura.
Malu Kita
Oleh: Inas N. Zubir
Katanya negeri ini masih dicekik ribuan triliun hutang berbunga haram,
apakah ada pemimpin negeri ini yang mampu melunasi hutang itu?
Malu kita, kalau banyak nyinyir tapi gagal berfikir.
Banyak anak negeri yang hanya jadi babu di negeri orang
Mereka, seringkali disiksa dan dianiaya,
apakah ada pemimpin negeri ini yang mampu memulangkan mereka
Memberi pekerjaan layak dan mensejahterakan mereka?
Malu kita, kalau hanya banyak omong tapi otak kosong melompong.
Karanya negeri katulistiwa ini dihampari kekayaan alam yang luar biasa,
tapi nyatanya minyak bumi kita hanya untuk 15 tahun lagi.
Malu kita kalau hanya ngomong kosong tapi isinya berbohong.
Katanya kemiskinan dan pengangguran semakin meluas,
tapi tak punya data dan fakta.
Malu kita, bisanya berkata-kata tapi nol dalam fakta dan data.
Anak negeri tengah terjerembab watak amoral
Narkoba meraja lela
Seks bebas liar menyasar siapa saja
Pornoaksi dan pornografi makin menggila
Malu kita, ketika berteriak baru sekarang,
padahal narkoba, seks bebas, pornoaksi dan pornografi sudah merajalela
ketika tukang mebel itu belum menjadi kepala negara.
Demokrasi korporasi mencengkran negeri ini
Keuangan yang maha kuasa
Korupsi menjadi budaya
Kolusi makin menganga
Kerugian uang rakyat tak terkira.
Malu kita kalau emosi melulu tapi gak mampu ngasih solusi
Lalu gimana dengan puisi lain-nya, yang pasti sih malu-maluin
Di akhir (yang disebut) puisi ini tertulis: #PuisiMenjawabAhmadSastra. Benar memang, tulisan yang dianggap puisi di atas ditulis untuk menjawab puisi berjudul “Jangan Teriak Merdeka: Malu Kita” karya Dr. Ahmad Sastra.
Berikuti ini puisi lengkap yang dimaksud:
JANGAN TERIAK MERDEKA : MALU KITA
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Negeri ini masih dicekik ribuan triliun hutang berbunga haram
Jika negeri ini telah mampu melunasi hutang itu
Silahkan teriak merdeka !
Jika belum mampu, lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Banyak anak negeri yang hanya jadi babu di negeri orang
Mereka, seringkali disiksa dan dianiaya
Jika negeri ini belum mampu memulangkan mereka
Memberi pekerjaan layak dan mensejahterakan
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Negeri katulistiwa ini dihampari kekayaan alam yang luar biasa
Namun dikelola oleh orang lain
Rakyat hampir tak menikmatinya
Jika kekayaan alam ini belum bisa dikuasai negara
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Kemiskinan dan pengangguran semakin meluas
Terasa berat untuk bisa hidup layak
Bahkan harga-harga terus merangkak naik
Ditambah pajak yang kian mencekik
Jika masih meluas kemiskinan
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Anak negeri tengah terjerembab watak amoral
Narkoba meraja lela
Seks bebas liar menyasar siapa saja
Pornoaksi dan pornografi makin menggila
Jika anak bangsa masih amoral
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Demokrasi korporasi mencengkran negeri ini
Keuangan yang maha kuasa
Korupsi menjadi budaya
Kolusi makin menganga
Kerugian uang rakyat tak terkira
Jika perilaku ini masih mewarnai bangsa
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Luas negeri ini dipenuhi potensi sumber daya
Namun garam masih impor
Namun singkong masih impor
Jika negeri ini belum mandiri
Memenuhi kebutuhan bangsanya sendiri
Jangan teriak merdeka !
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Luas negara ini jutaan hektar
Namun lebih dari setengah dikuasai asing
Hingga rakyat tak lagi punya lahan luas
Berdesak-desakan di tanah yang sempit
Jika tanah negara belum mampu direbut kembali
Jangan teriak merdeka !!
Lebih baik diam dan berfikir
Malu kita
Malu kita
Malu kita
Tak berdaya
Tak kuasa
Lumpuh di ketiak penjajah
Malu kita
KotaHujan, 03/08/17 : 09.25
Membaca kedua puisi di atas, nampak lebih terasa gamblang dan lebih mudah ditangkap pesan yang disampaikan. Tetapi, untuk mencapai kedalaman, belumlah ada. Barangkali, lebih tepat ia masuk ke dalam bentuk pamflet seperti yang banyak dituliskan oleh penyair WS Rendra.
Penulis/Editor: Ach. Sulaiman