NUSANTARANEWS.CO, JAKARTA – Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) mencatat, perjalanan panjang sejarah pemberantasan korupsi pasca Reformasi 1998 bertujuan menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi sepanjang era Orde Lama dan Orde Baru. Tapi fakta data terkini, KKN malah semakin menggila merajalela di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hingga mengakibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara kian terpuruk akibat perilaku korup elite.
Berawal dari lahirnya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang kemudian dituangkan menjadi UU Nomor 28 Tahun 1998 yang terus bertransformasi hingga terbit UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana korupsi menjadi ancaman serius negara yang harus dilawan dengan membentuk KPK berdasarkan persetujuan Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Secara spesifik Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) ProDEM Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Marthen Y. Siwabessy menyebut bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbentuk dari semangat reformasi untuk meningkatkan kinerja lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah ada sebelumnya yakni kejaksaan dan kepolisian.
“Tapi seiring perjalanan waktu, konflik antara KPK dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan lembaga negara lainnya kerap terjadi hingga menguras energi publik serta viral di media massa dan media sosial. Yang terbaru kasat mata adalah pertengkaran terbuka antara KPK dengan Pansus Hak Angket KPK yang dimotori Komisi III DPR RI. Benturan kepentingan yang muncul, seakan-akan KPK merupakan kepanjangan tangan dari penguasa untuk menghantam lawan politiknya!” tutur Marthen Y. Siwabessy kepada media, Senin (21/8/2017).
Ia menyatakan, ProDEM menilai tugas, wewenang dan kewajiban dari KPK tidak bisa berjalan dengan sendirinya dan harus melakukan kerjasama harmonis sinergis antar lembaga negara. Ibarat “Rumah Kaca” yang di dalamnya semua orang dapat melihat dan pandangan tidak terhalang, apa yang dilihat dari luar tidak ada perbedaan ketika di dalam.
“Begitulah kira-kira pandangan dan harapan masyarakat terhadap KPK karena di beberapa kasus apalagi yang begitu menyedot perhatian masyarakat KPK seakan tumpul keberaniannya, Contohnya; kasus BLBI, Century, Pelindo II, RS Sumber Waras, reklamas, penetapan bunga hutang obligasi dll,” imbuhnya.
Dalam Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002, ungkapnya, disebutkan bahwa KPK adalah lembaga independen yang bebas pengaruh dari kekuasaan manapun, sementara Tugas, Wewenang dan Kewajiban KPK tersurat dalam Bab II Pasal 6 hingga Pasal 15, yakni berkoordinasi dengan instansi terkait (penegak hukum lainnya), supervisi, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan hingga besaran kerugian negara minimal Rp. 1.000.000.000,- (1 milyar rupiah). Tapi kini, banyak hal terjadi tak sesuai yang seharusnya dalam Undang-undang hingga kerap menimbulkan tanda tanya publik luas.
“Banyak kasus-kasus besar di KPK yang belum dan atau lamban diproses secara hukum, yang artinya KPK telah melakukan tebang pilih terhadap kasus-kasus korupsi. Padahal seharusnya KPK gesit, trengginas dan transparan sesuai harapan rakyat yang makin muak terhadap korupsi yang banyak dilakukan para elite dan penguasa di Jakarta hingga pelosok daerah. Apakah artinya KPK telah melakukan pengkhianatan terhadap TAP MPR RI dan Undang-undang yang lahir dari tuntutan rakyat?” kecam Marthen.
Perjalanan KPK selama ini, lanjut dia, sudah cukup baik dalam penanganan tindak pidana korupsi dengan banyaknya koruptor yang ditangkap, diadili dan dipenjarakan. “Namun seharusnya, KPK lebih perkuat sisi pencegahan dan pendidikan publik sehingga mampu menumbuhkan budaya antikorupsi ke seluruh lapisan masyarakat,” katanya lagi.
Terkait perseteruan KPK dengan Pansus Hak Angket DPR, aktivis 98 yang bekerja sebagai advokat di Jakarta tersebut, melihat ada disharmoni antara KPK dengan Komisi III DPR RI, sehingga tarik menarik dan adu kuat kepentinganlah yang berada di atas permukaan. Seolah-olah KPK merasa dizalimi oleh DPR melalui hak angketnya, sementara DPR RI merasa bahwa KPK harus dievaluasi guna memperkuat kelembagaan sesuai dengan mekanisme dan aturan hukum yang ada dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Seandainya semua bersatu padu gotong royong memberantas korupsi, mungkin masa depan koruptor di Indonesia akan habis dan NKRI akan sejahtera. Ayo KPK jangan tebang pilih berantas korupsi, ayo DPR RI lepaskan kepentingan politik mari ciptakan KPK yang kuat dan berintegritas. Demi NKRI, berani jujur hebat,” pungkas Marthen Siwabessy.
Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman