NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pengamat pertahanan Susaningtyas Kertopati menilai Indonesia memiliki peran strategis sebagai pendulum (bridge builder) untuk mempererat ASEAN.
Menjelang setengah abad usia ASEAN, stabilitas kawasan terbilang relatif aman dan damai. Hal itu tentu tak lepas dari peran Indonesia yang memang sedari dulu mampu menjadi pionir. Piagam ASEAN (ASEAN Charter) adalah kuncinya karena kerjasama ASEAN yang selalu dipegang teguh.
“Kompleksitas ATHG (ancaman, tantangan, hambatan, gangguan) kawasan yang muncul dalam satu dasawarsa ini tentu harus jadi concern bersama ASEAN,” katanya, Minggu (6/8/2017).
Dalam beberapa dekade ke depan, ASEAN diprediksi akan semakin maju dan kuat. Sebab, stabilitas saat ini mahal harganya di tengah ketidakpastian situasi global.
Dewan Kerjasama Teluk (GCC), Asosiasi Kerjasama Regional Asia Selatan (SAARC) dan Uni Afrika (African Union/AU) terus-menerus bergejolak dan dihantam krisis. Sebaliknya, ASEAN stabil, aman dan damai meski ada sedikit percikan di Filipina.
Hanya saja, ambisi China yang hendak menjadi imperium dunia kini tengah membayangi ASEAN. Pengaruh China sudah begitu terasa di sektor ekonomi dan politik, termasuk juga ideologi. Pasalnya, beberapa tahun terakhir negara komunis China terus memperkuat militernya untuk menjaga Laut China Selatan serta mengamankan jalur sutra maritim abad 21 (maritime silk road) yang digagas Beijing.
Laut China Selatan kini terus memanas. Perseteruan geopolitik AS dan China di Laut China Selatan kerap kali mengundang provokasi, perselisihan dan pertikaian. Bagaimana pun, kedua negara tersebut sama-sama memperebutkan pengaruhnya di kawasan Asaia Tenggara. Jika ASEAN abai terhadap dinamika di Laut China Selatan, bukan tak mungkin laut itu akan menjadi medan perang. ASEAN, tentunya memiliki peran sentral untuk stabilitas di kawasan, terutama Laut China Selatan.
“Ini harus dicarikan solusi, sehingga semangat persatuan ASEAN tak terkikis. Juga semakin maraknya ISIS masuk wilayah ASEAN, utamanya di Filipina juga harus ada konklusi yang mapan dan mengikat sehingga pemberantasan ISIS dapat dikerjakan secara holistilk,” jelas pengamat yang akrab disapa Nuning itu.
Menurutnya, sangat penting diadakan forum-forum ilmiah antar negara ASEAN untuk menjaga kohesivitas 10 negara ASEAN. Kita harus terus menguatkan kerjasama menghadapi tantangan keamanan global yang menyangkut ihwal kontra-terorisme dan deradikalisasi,” ujar Nuning.
Lebih spesifik lagi, ancaman serius yang tengah mengintai ASEAN ialah terorisme. Indonesia sendiri menekankan tiga hal pokok yakni; penguatan kerjasama kontra-terorisme, penguatan kemampuan unit anti teror dan counter cyber terorism, dan pengarusutamaan pendekatan soft power melalui pendidikan, peningkatan peran perempuan, civil society serta organisasi kemasyarakatan dan agama.
Untuk isu penanggulangan terorisme, kata Nuning, dalam perspektif teori gerakan sosial fenomena terorisme tidak bisa dipandang hanya sebatas persoalan ideologis semata, tetapi juga persoalan ketidakseimbangan sosiologis.
“Ketidakseimbangan semacam ini mewujud dalam bentuk deprivasi sosial, kesenjangan ekonomi, dan represi politik,” paparnya. (ed)
Editor: Eriec Dieda