KolomOpini

Nestapa Nelayan Lobster

Seputar Kelautan dan Perikanan kembali diterpa isu tidak sedap. Aroma menyengat pengangguran dan modus bantuan budidaya oleh KKP RI kini menjadi soroton. Permen 56 tahun 2015 tentang larangan penangkapan lobster, rajungan, dan kepiting membuat nelayan kini harus menganggur.

NTB, dari sejak tahun 1960-an hingga sekarang tergolong tingkat ekonominya tidak jauh dari Provinsi sahabatnya Papua dan NTT. Namun, kurun waktu 2014-2015 sejak Susi Pudjiastuti menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, ekonomi nelayan NTB dirundung petaka. Permen itu seperti bom Horoshima Jepang yang menghabisi seluruh piranti kehidupan di sana.

Begitu juga nelayan NTB. Permen 01 Tahun 2015 dan permen 56 tahun 2016 bagai benturan batu karang dan kapal yang membuat nelayan langsung nyungsep, tenggelam dan pegangguran. Sekarang ini tak lagi mampu untuk bangkit dari keterpurukan karena stigma pengangguran telah disematkan kepada nelayan. Sekarang mereka hanya mampu berkomat-kamit memarahi penguasa dalam hatinya. Sambil setengah tengadah berteriak “Susi Pudjiastuti menindas nelayan lobster!”.

Walaupun pemerintah Provinsi NTB berupaya memberikan solusi terbaik bagi para nelayan penangkap benih lobster untuk beralih pada sektor lain, namun belum mampu mendorong dan membawa mereka pada jalan keluar yang mestinya mereka dapatkan sebagai hak-hak nelayan.

NTB memang dikenal sebagai salah satu daerah penghasil lobster, terutama untuk benihnya. Dengan alasan dan argumentasi tidak jelas untuk kelestarian dan sumber daya, maka KKP secara sepihak sejak 2015 tanpa bertanya sesatu apapun kepada nelayan, menetapkan larangan penangkapan benih lobster yang ukuran 200 gram ke bawah.

Baca Juga:  Pasukan Prancis Berlatih untuk Berperang dengan Rusia di Rumania

Begitu juga daerah lain. Tempat parah lainnya dampak permen 01 Tahun 2015 dan permen 56 tahun 2016 di daerah Lebak, Tanggerang, dan pesisir Banten. Banyak aduan yang diterima oleh Front Nelayan Indonesia (FNI) mengenai pengangguran yang diakibatkan oleh permen tersebut.

Menurut kebanyak nelayan dalam berbagai wawancara, inti masalah adalah adanya larangan penangkapan dan sekaligus penangkapan nelayan lobster ketika mereka melaut. Padahal mereka sesungguhnya tidak mengerti akan adanya permen tersebut.

Saking lemahnya permen itu, KKP harus merevisi Permen 56 Tahun 2016 tentang larangan penangkapan dan pengiriman benih lobster ke luar wilayah Indonesia. Tentu kebijakan ini berdampak langsung pada mata pencaharian nelayan penangkap benih lobster di NTB yang menurut data pada 2016 tercatat sebanyak 10.123 nelayan, yang tersebar di Lombok dan Sumbawa.

Sementara di lapangan terjadi kecemburuan, saling curiga dan tidak terjalin komunikasi antara nelayan dengan pemerintah. Hal ini KKP tidak bisa memberikan jalan keluar bagi para nelayan. Sementara harapan nelayan untuk kembali menangkap benih lobster sudah sangat sekarat.

Baca Juga:  Memilih Ketua MA di Era Transisi Kepemimpinan Nasional

Pelarangan tersebut berakhir pada meja makan dalam bentuk proyek bantuan dari KKP turun ke Dinas Kelautan dan perikanan di seluruh Provinsi NTB. Melalui modus program proyek pemberdayaan dan perlindungan nelayan benih lobster pada 2017 memperoleh bantuan paket budidaya sebesar Rp 50 miliar.

Kalau Rp. 50.000.000.000,- dikalikan sejumlah 10.123 orang nelayan sama dengan Rp. 49.392.472.58,-. Namun di lapangan hanya menerima Rp. 25.000.000,-. Bantuan ini harus dievaluasi pada proses realisasi. Mengingat banyaknya pejabat-pejabat yang menyunat anggaran tersebut.

Apalagi, dalam program bantuan tersebut tak ada bekas yang terrealisasi, program gagal yang dipaksakan oleh KKP dan Dinas Kelautan dan Pariwisata Prov. NTB.

Bantuan yang diberikan pemerintah pusat sebenarnya difokuskan untuk memberikan pelatihan kepada nelayan penangkap lobster untuk beralih budidaya ikan. Namun, itu hanya bualan dan kebohongan modus proyek dengan berniat membancakan uang negara. Berdasarkan data yang ada, jumlah rumah tangga perikanan (RTP) calon penerima bantuan tercatat sebanyak 2.246 RTP. Sementara nelayan Lobster ada 10.123 orang di seluruh NTB. Sungguh naif cara mengelola kementerian Kelautan dan perikanan.

Jualan KKP dengan Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi NTB adalah pertama; pembekalan dan pelatihan, kedua; penyaluran bantuan secara bertahap. Akan tetapi, dengan cara ini malah nelayan di NTB tidak tertarik sama sekali. Sehingga membuat program budidaya senagai pengganti ini tidak bisa berjalan baik.

Baca Juga:  Fenomena “Post Truth" di Pilkada Serentak 2024

Alasan utama KKP mengeluarkan permen 01 tahun 2015 dan permen 56 tahun 2016 itu karena banyak upaya penyelundupan bibit lobster. Tetapi sekali lagi KKP tidak bisa membuktikan tuduhannya.

Upaya aparat penegak hukum dan instansi terkait untuk memutus mata rantai penyelundupan bibit lobster belum dapat dikatakan berhasil. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan cara-cara memotong dan memangkas penghasilan nelayan lobster sekaligus melarang melaut tanpa ada pertimbangan apapun. Padahal nelayan sesungguhnya korban dari semua peraturan yang Susi Pudjiastuti bikin.

Hanya untuk menindas dengan cara melarang, apalagi menuduh nelayan sebagai kurir penyelundupan, lalu seenaknya polisi, KKP dan Satgas pengamanan laut harus menangkap nelayan. Kalau saja polisi, KKP dan satgas memiliki kemauan kuat untuk menangkap jaringan besar penyelundupan, maka terlebih dahulu yang ditangkap adalah pejabat-pejabat yang terlibat dalam bisnis lobster, baik yang ada di KKP maupun aparat yang berusaha join dalam proses penyelundupan.

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia
Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 11