NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kepolisian RI menolak permintaan Pansus Hak Angket DPR RI terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal penjemputan paksa Politisi Hanura Miryam S Haryani. Miryam yang merupakan tersangka pemberian keterangan palsu di sidang e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto tengah ditahan oleh KPK.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjelaskan penolakan tersebut karena interpretasi hukum acara dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menurutnya tidak jelas. Hal tersebut berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pihaknya.
“Meskipun Undang-Undang MD3 memberikan kewenangan pada DPR untuk meminta bantuan polisi panggil paksa, tapi kita lihat hukum acara dalam Undang-Undang tersebut tidak jelas. Kalau kita lihat KUHP upaya paksa itu sama dengan penangkapan. Itu pro justitia dalam rangka untuk peradilan, sehingga terjadi kerancuan hukum,” ujar Tito di Jakarta.
Namun lanjut Tito, jika pihak DPR RI tetap berkukuh dengan pendapatnya, ia meminta agar mereka dapat mengujinya terlebih dahulu kepada para ahli hukum. Bahkan meminta fatwa dari Mahkamah Agung (MA) perihal aturan tersebut.
“Silahkan ahli hukum sampaikan pendapatnya atau dari DPR minta fatwa ke MA biar jelas, tapi yang jelas dari kepolisian ini hukum acara tidak jelas,” pungkasnya.
Seperti diketahui Pansus Hak Angke KPK berencana memanggil Maryam yang kini jadi tersangka dalam kasus pemberian kesaksian palsu di sidang korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor. Namun KPK tidak mengijinkannya dengan alasan tertentu. Meski demikian, DPR RI tetap berkukuh untuk melakukan pemanggilan. Bahkan akan meminta pihak kepolisian untuk memanggil paksa Miryam.
Reporter: Restu Fadilah
Editor: Romandhon